• West Java Kingdom


    Kerajaan di Barat Jawa
    Penelusuran Sejarah antara Legenda dan Fakta

  • West Java Kingdom

    Search of the History between Legend and Fact

  • West Java Kingdom

    Seni, Tradisi, Budaya, dan Wisata Sejarah

Posted by Unknown
No comments | 3:23 PM
Kesultanan Islam Cirebon dengan pelabuhan Muara Jati, aktivitasnya berkembang sampai kawasan Asia Tenggara. Pada awal abad ke-16 Cirebon dikenal sebagai kota perdagangan terutama untuk komoditas beras dan hasil bumi yang diekspor ke Malaka. Seorang sejarawan Portugis, Joao de Barros dalam tulisannya yang berjudul Da Asia bercerita tentang hal tersebut. 

Meskipun sebagai pusat kerajaan Islam, Kesultanan Cirebon merupakan kerajaan yang terbuka. Secara turun-temurun kesultanan ini selalu menjalin hubungan antar bangsa baik dalam hubungan dagang maupun politik. Bukti keterbukaan itu terlihat di Keraton Pakungwati, dimana dinding-dinding singgasana keraton banyak ditempel panel-panel keramik buatan Cina maupun Eropa (Belanda) yang menggambarkan pernik-pernik budaya dua negara itu. Bahkan di dinding itu pula tertempel panel kisah kelahiran sampai penyaliban Yesus Kristus. 

Persahabatan antarbangsa juga digambarkan secara nyata dalam bentuk kereta kerajaan yang bernama Kereta Singobarong. Kereta tersebut memiliki bentuk tubuhnya seperti buroq, berkepala gajah dan bermahkotakan naga. Kereta antik ini memiliki ukiran sangat halus yang mencerminkan paduan tiga budaya, yaitu budaya Cirebon terkenal dengan relief khas mega mendung, dan budaya negara sahabat Kerajaan Cirebon tempo dulu yaitu Thailand dan Mesir. Kereta buatan abad ke-15 ini masih tersimpan rapi di Museum Kereta.

Satu lagi contoh peninggalan dari kebesaran Kesultanan Cirebon adalah Pedati Gede. Letak pedati ini kini tidak tersimpan di dalam keraton, melainkan di tengah perkampungan. Pedati Gede ini pernah pernah menjadi andalan transportasi di Jawa tempo dulu. Mungkin ini merupakan pedati terbesar di dunia. Panjang total dari pedati ini adalah 8,6 meter,  dengan tinggi 3,5 meter dan lebar 2,6 meter. Pedati itu memiliki enam roda besar berdiameter 2 meter dan dua roda kecil berdiameter 1,5 meter. Panjang jari-jari roda besar 90 cm dan panjang jari-jari roda kecil 70 cm. Pedati Gede adalah rancang bangun teknologi pada zamannya. Roda pedati ini dihubungkan oleh semacam as yang terbuat dari kayu bulat berdiameter 15 cm. As ini kemudian dimasukkan ke dalam poros yang dipasang di setiap roda, yang juga terbuat dari kayu. Agar pertemuan as bisa licin bertemu dengan poros, digunakanlah pelumas yang menggunakan getah pohon damar. Pedati ini juga dapat dibongkar pasang sesuai kebutuhan daya angkut. Misalnya pedati ini membutuhkan rangkaian pedati yang lebih panjang lagi, maka secara cepat dapat dipasang rangkaian pedati tambahan di belakangnya (seperti kereta api). Pedati Gede ini dulu ditarik kerbau bule yang diyakini punya kekuatan lebih dibanding kerbau biasa. Pedati ini dibuat pada masa pemerintahan Cakrabuana di Cirebon dan masih dipakai hingga saat pemerintahan Sunan Gunung Jati. Penggunaan pedati seperti Pedati Gede ini makin berkembang sampai pada pemerintahan Panembahan Ratu I. Hal ini dikarenakan rakyat biasa yang ingin mencontoh teknologi Pedati Gede, diperbolehkan untuk membuat pedati sendiri sebagai alat transportasi. Pedati Gede teruji sebagai alat transportasi andal ketika kereta ini menjadi alat angkut bahan-bahan bangunan saat pembangunan Masjid Agung Ciptarasa tahun 1522.  Selain sebagai alat transportasi, pedati-pedati ini juga bisa menjadi tameng dari serbuan-serbuan musuh.

Mesjid Agung Ciptarasa (mesjid terua ke-2 di wilayah Cirebon) sampai sekarang masih berdiri megah, artistik dan antik di sebelah kiri bangunan Keraton Kasepuhan, meskipun Masjid Agung Ciptarasa ini tidak dibuat dengan fondasi yang modern. Di samping mesjid ini (oleh masyarakat sering disebut  Kaum) terdapat sumur tua sedalam kira-kira 10 meter yang digali oleh para santri murid Syarif Hidayatullah. Air sumur ini tak pernah surut meskipun di musim kemarau dan sangat jernih.

Mesjid yang dibangun dengan tiang dari serpihan kayu jati ini dibuat atas prakarsa Syarif Hidayatullah. Keunikan yang lain dari bangunan ini adalah waktu pembuatannya yang hanya 1 malam (bersamaan dengan Mesjid Demak). Pembangunan mesjid ini dilakukan semalam suntuk oleh Syarif Hidayatullah dan dibantu oleh para santrinya. Pada saat mesjid ini dibangun, terdapat gangguan dari Menjangan Wulung (mahluk halus yang berwujud seekor binatang, yang menyebarkan penyakit kuman, racun hingga salah satu dari pekerja mesjid ini meninggal dunia). Untuk mengusir mahluk ini, Syarif Hidayatullah menyuruh 7 orang muazin (pengumandang adzan) untuk melakukan adzan bersama-sama. Setelah dikumandangkan adzan tersebut (dikenal dengan istilah adzan pitu), Menjangan Wulung terbang ke angkasa dan tak berani lagi menyebarkan kuman penyakit kepada para pekerja mesjid. Adzan Pitu ini sampai sekarang masih dikumandangkan setiap Shalat Jum’at.

Di samping negara yang terbuka, Cirebon juga sudah mengenal tata pemerintahan dan jabatan-jabatan dalam struktur pemerintahan yang jelas. Masyarakat kecil yang jumlahnya 20 somah dipimpin oleh Ki Buyut. Beberapa Ki Buyut dipimpin oleh seorang Kuwu, beberapa Kuwu dipimpin oleh Ki Gede, dan beberapa Ki Gede dipimpin oleh bupati adipati atau Tumenggung. Masing-masing pejabat diberi gaji tanah (palungguhan) yang ukurannya sesuai dengan jabatannya masing-masing.  

Menurut Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari (1720) yang ditulis oleh Pangeran Aria Cirebon disebutkan bahwa :

Asal mula kata "Cerbon" adalah "Caruban" yang artinya campuran. Campuran disini untuk menandakan bahwa wilayah ini sangat banyak pendatang dari berbagai etnis seperti Sunda, Jawa, Cina, Arab. Tidak hanya etnis yang bercampur, akan tapi berbagai agama juga disini bercampur. Kata “Caruban” mengalami proses perubahan lagi menjadi "Carbon", lalu berubah menjadi kata "Cerbon", dan akhirnya kini menjadi kata "Cirebon". Para wali menyebut Carbon sebagai "Pusat Jagat", negeri yang dianggap terletak ditengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat setempat menyebutnya "Negeri Gede". Kata ini kemudian berubah pengucapannya menjadi "Garage" dan berproses lagi menjadi "Grage".

Sedangkan menurut P.S. Sulendraningrat, sebagai penanggung jawab sejarah Cirebon, menyebutkan :

Munculnya istilah tersebut dikaitkan dengan pembuatan terasi yang dilakukan oleh Pangeran Cakrabumi alias Cakrabuana. Kata "Cirebon" berdasarkan kiratabasa dalam Bahasa Sunda berasal dari "Ci" artinya "air" dan "rebon" yaitu "udang kecil" sebagai bahan pembuat terasi. Perkiraan ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa dari dahulu hingga sekarang, Cirebon merupakan penghasil udang dan terasi yang berkualitas baik.


Berikut ini merupakan urutan raja-raja yang memerintah di Kesultanan Cirebon :

SYARIF  HIDAYATULLAH   (1522 - 1568)
( SUNAN  GUNUNG  JATI )
Saat penobatan Syarif Hidayatullah sebagai sultan Cirebon pertama dan digelari Susuhunan Jati Purba Wisesa atau Sunan Jati atau Sunan Caruban, acara itu dihadiri oleh para wali dan Sultan Demak.
Ketika selesai penobatan, Pasukan Demak disiagakan di Cirebon untuk mengantisipasi akan datangnya serangan dari Pajajaran. Pendeklarasian Kesultanan Cirebon yang merdeka ini memang tanpa sepengetahuan dari Pajajaran. Tentu saja sebagai kerajaan besar yang mendominasi seluruh wilayah di barat Jawa, Pajajaran yang saat itu telah dipimpin oleh Surawisesa merasa “dilangkahi” oleh peristiwa itu.
Pada saat pemerintahan Syarif Hidayatullah, terjadi peristiwa yang cukup menyedihkan bagi Cirebon. Putra Syarif Hidayatullah dari Nyi Lara Baghdad yang bernama Prabu Bratakelana tewas setelah bertempur dengan bajak laut yang berada di wilayah Cirebon. Peristiwa itu berawal ketika Pangeran Bratakelana yang bermaksud pulang ke Cirebon dari Demak, tiba-tiba rombongannya dihadang oleh Bajak laut di daerah Gebang.
Syarif Hidayatullah kemudian mengerahkan sekitar 2.700 pasukan yang dipimpin oleh Dipati Keling, Pangeran Cerbon, dan Ki Gedeng Bungko. Bajak Laut akhirnya dapat ditumpas habis, sedangkan jenazah Pangeran Bratakelana ditemukan di tepi pantai Mundu sebelum akhirnya dimakamkan di sana. Atas peristiwa itu, Pangeran Bratakelana kemudian dikenal dengan nama Pangeran Seda Ing Lautan (Pangeran Sedang Laut). Sedangkan istrinya yang bernama Ratu Nyawa, kemudian dinikahi oleh Pangeran Pasarean.
Selain perluasan wilayah, di masa kekuasaan Syarif Hidayatullah, Kesultanan Cirebon sangat gencar dalam hal penyebaran agama Islam. Penyebaran Islam tidak hanya di wilayahnya saja tetapi sudah menjamah hingga ke daerah-daerah sekitarnya bahkan telah sampai juga ke ibukota Pajajaran.
            Usaha penyebaran Islam yang dilakukan oleh Syarif Hidayatullah semakin gencar karena usahanya itu didukung oleh para wali lainnya (termasuk Syarif Hidayatullah, dikenal dengan istilah wali songo / 9 wali).
Pada saat penyebaran agama Islam di barat Jawa terjadi, di Demak terjadi penyebaran aliran yang dianggap sesat oleh Syekh Siti Jenar. Beliau mendirikan Kerajaan Pengging yang beraliran Wihdatul Wujud / Manunggaling Kawula Gusti (ajaran Syekh Siti Jenar) dan melepaskan diri dari pengaruh Demak yang bermazhab Syafi’i. Syekh Siti Jenar kemudian dianggap beraliran sesat dan menjadi buronan Kesultanan Demak. Syekh Siti Jenar kemudian bersembunyi di wilayah Kerajaan Cirebon Girang. Namun Senapati Demak yaitu Sunan Kudus akhirnya berhasil menangkap Syekh Siti Jenar di Cirebon Girang untuk kemudian diadili di Masjid Agung Ciptarasa, Kesultanan Cirebon.
Peristiwa pengadilan yang dipimpin oleh Sunan Kalijaga, berlangsung ricuh akibat Syekh Siti Jenar (bersama para pengikutnya) dan para wali yang beraliran Syafi’i masing-masing mempertahankan keyakinannya masing-masing. Untungnya, Syarif Hidayatullah / Sunan Gunungjati sebagai tuan rumah dapat mengatasi huru hara ini dengan mengerahkan pasukan pengamanan. Akhirnya melalui kesepakatan para wali yang populer disebut Wali Songo, Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati dengan Syarif Hidayatullah / Sunan Gunungjati sebagai eksekutornya.
Setelah peristiwa itu, Syarif Hidayatullah dan wali lainnya bermaksud untuk menghabisi dan menumpas semua pengikut Syekh Siti Jenar. Tetapi, Raden Walangsungsang kemudian meredakan emosi mereka. Melalui kewibawaannya, Raden Walangsungsang memutuskan untuk membebaskan para pembesar Kesultanan Cirebon untuk memilih aliran kepercayaan sesuai dengan keyakinannya (di Cirebon pengikut Syekh Siti Jenar dan pengikut Mazhab Syafi’i sama banyak). Berkat Raden Walangsungsang pula, jenazah Syekh Siti Jenar  yang dimakamkan di Kemlaten kemudian dipindahkan ke makam keluarga keraton di Gunung Sembung. Hal ini dilakukan untuk mencegah pemujaan yang berlebihan dari pengikut Syekh Siti Jenar terhadap makam guru besarnya itu.
Bukti lain dari hubungan yang akrab antara Kesultanan Banten dengan para wali yang tergabung dengan Wali Songo adalah peran Sunan Kalijaga yang juga dikenal dengan sebutan Sunan Panggung. Sunan ini menyebarkan agama Islam dengan melalui pendekatan kesenian. Untuk wilayah Cirebon, Sunan Kalijaga memperkenalkan bentuk kesenian yang disebut Tari Topeng. Tarian ini mempertontonkan dua karakter dari penarinya. Pada bagian awal tarian, karakter lemah lembut  yang ditunjukkan oleh gerakan penari tanpa topeng secara perlahan. Tetapi pada saat sang penari wanita mengenakan topeng di wajahnya, gerakan tarinya berubah seketika menjadi gerakan yang menghentak, mengekspresikan bentuk karakter yang diwakili oleh topeng.
 Tujuan Cirebon yang menginginkan menjadi Kesultanan yang merdeka kemudian meningkat lagi dengan keinginan untuk mendominasi wilayah barat Jawa, sedangkan secara geografis wilayah Cirebon berbatasan langsung dengan Kerajaan Pajajaran (sebagai kerajaan yang menguasai seluruh wilayah barat Jawa), maka untuk  mencegah  hal-hal  yang  tidak  diinginkan akibat dari sikapnya “pembangkangan” ini, Kesultanan Cirebon mengadakan kerjasama dengan kerajaan Demak. Pasukan Angkatan Laut Demak yang terkenal kuat disiagakan di Pelabuhan Cirebon untuk menjaga kemungkinan datangnya serangan dari Kerajaan Pajajaran.
Pajajaran rupanya telah habis kesabarannya dengan “ulah” dari Kesultanan Cirebon ini, tak lama serangan dari Pajajaran itu menjadi kenyataan. Tumenggung Jagabaya (Panglima perang Pajajaran) beserta 60 anggota pasukannya dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon. Karena pihak Pajajaran tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak telah berada di sana, Tumenggung Jagabaya beserta pasukan kecilnya tidak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Akhirnya Jagabaya menyerah dan masuk Islam.
Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Prabu Surawisesa. Pasukan besar untuk membalas kekalahan segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi keraton) Ki Purwa Galih yang merupakan semacam penasehat dari Prabu Surawisesa, sehingga pertempuran   yang  lebih   besar   saat itu dapat   terhindarkan. 
Perang antara Cirebon - Pajajaran berlangsung sekitar 5 tahun lamanya (1526 – 1531). Pasukan Cirebon dan Demak hanya berhasil menguasai kota-kota pelabuhan. Cirebon hanya mampu menjamah wilayah timur Citarum (kekuasaan Pajajaran), sedangkan untuk masuk masuk lebih ke barat selalu gagal karena dihadang oleh pasukan dari Pajajaran. Walaupun hanya menguasai bagian timur saja, tetapi Cirebon merasa kedudukannya telah mapan.
Perlu dicatat, perang antara Cirebon dan Pajajaran bukan merupakan perang antar agama, tetapi lebih berkaitan dengan perebutan wilayah kekuasaan. Pajajaran (penerus Kerajaan Sunda) sebagai kerajaan Hindu sejak zaman kekuasaan Prabu Anggalarang, tidak pernah mempermasalahkan urusan perbedaan agama di wilayahnya, bahkan banyak kebijakan-kebijakan dari raja Sunda / Pajajaran yang melancarkan penyebaran agama selain Hindu di wilayahnya.
Peperangan pertama terjadi pada tahun 1526 ketika armada Demak dibantu Cirebon menyerang pelabuhan Banten milik Pajajaran. Armada yang berkekuatan 1.452 orang tersebut dipimpin oleh Fadillah Khan dibantu oleh Pangeran Cerbon, Dipati Keling, dan Dipati Cangkuang.
Tahun 1528, Kerajaan Galuh yang dipimpin oleh Prabu Jayaningrat mengirimkan surat peringatan kepada Kesultanan Cirebon. Isi surat tersebut adalah agar Cirebon memberikan upeti kepada kerajaan atasan Galuh (Pajajaran). Galuh yang merupakan kerajaan setia terhadap kerajaan Pajajaran akhirnya menyerang Cirebon setelah Syarif Hidayatullah tidak mau mengabulkan permohonan tersebut. Pasukan Cirebon yang dipimpin oleh Adipati Kuningan Suranggajaya tidak dapat menghadang pasukan besar dari Galuh pada pertempuran yang terjadi di Palimanan. Tetapi 700 pasukan Demak kemudian didatangkan untuk membantu dan dipimpin oleh Fatahillah. Pasukan Fatahillah bergabung dengan pasukan Cirebon yang dipimpin langsung oleh Pangeran Walangsungsang. Akhirnya karena strategi yang jitu dari Raden Walangsungsang, akhirnya Kerajaan Galuh dapat dilumpuhkan. Mulai saat itu Kerajaan Galuh jatuh ke tangan Kesultanan Cirebon. Raja Galuh (Prabu Jayaningrat) kemudian menghimpun kekuatan di Kerajaan Talaga untuk bersiap-siap menghadapi Cirebon.
Serangan Kesultanan Cirebon terhadap Kerajaan Talaga menjadi kenyataan. Prabu Jayaningrat (raja Galuh), bersama pembesar Talaga lainnya tidak mampu menghadapi serangan pasukan Cirebon. Akhirnya di tahun 1528, Kerajaan Talaga menjadi bawahan Kesultanan Cirebon.
Pada tahun 1529, Raden Walangsungsang wafat dalam usia 106 tahun. Kepergian tokoh sepuh dan kharismatik ini sangat membuat seluruh rakyat Cirebon larut dalam kesedihan. Sehingga pada tahun itu, Kesultanan Cirebon tidak dulu mengeluarkan kebijakan-kebijakan penting, untuk menghormati wafatnya tokoh pendiri Kesultanan Cirebon ini. Tokoh ini kemudian dimakamkan di Bukit Sembung di Dukuh Pasambangan (sekarang menjadi bagian kompleks makam Syarif Hidayatullah).
Pada tahun 1530, Kerajaan Geger Hanjuang berhasil “direbut” oleh Kesultanan Cirebon. Tercaploknya wilayah ini tidak melalui peperangan, akan tetapi melalui pernikahan. Pangeran Santri (keturunan kerabat Keraton Cirebon) menikah Ratu Satyasih / Pucuk Umum Sumedang (penguasa Geger Hanjuang). Setelah peristiwa ini, nama Geger Hanjuang berubah menjadi Sumedanglarang, yang merupakan wilayah bawahan Kesultanan Cirebon.
Tahun 1531 tercapai perdamaian antara Prabu Surawisesa dan Sunan Jati. Kedua pihak mengambil jalan terbaik dengan berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing. Dari pihak Cirebon, yang ikut menandatangani naskah perjanjian terebut antara lain Pangeran Pasarean (putera mahkota Cirebon), Fadillah Khan dan Hasanudin (Bupati Banten).
Sunan Jati  bukan saja mengembangkan Keraton Pakungwati, tetapi juga merencanakan pengembangan wilayah. Namun, tantangan untuk rencana ini dari Pajajaran masih juga cukup besar.
Sunan Jati memiliki strategi politik yang cukup cerdik, yang dia lakukan terlebih dahulu adalah menyerang Banten, wilayah Pajajaran paling barat. Ketika Banten dikuasai, Sunan Jati mengangkat putranya, Hasanuddin (anak dari pernikahannya dengan Nyai Kawungaten), menjadi adipati pertama di Banten. Adipati ini pula yang kemudian menjadikan Banten sebagai kesultanan.
Pada saat itu, Kesultanan Cirebon sebenarnya relatif lemah. Akan tetapi berkat dukungan Demak, kedudukannya menjadi mantap. Namun pada tahun 1546, setelah kedudukan Demak goyah akibat kegagalan serbuannya ke Pasuruan dan Panarukan (bahkan Sultan Trengganu tebunuh), kemudian disusul dengan perang perebutan tahta, maka Cirebon pun turut menjadi goyah pula.
Syarif Hidayatullah turun tahta karena wafat dalam usia 119 tahun, pada tanggal 19 September 1568, setelah wafat beliau beliau dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati karena letak makamnya di daerah Gunung Jati, Cirebon..

FATAHILLAH  /  FADILLAH KHAN  (1568 – 1570)
Pada saat Sunan Jati turun tahta, Kesultanan Cirebon diserahkan sementara pada menantunya yang bernama Fatahillah. Hal ini dikarenakan ketiga putra laki-laki dari Syarif Hidayatullah meninggal lebih dahulu. Sedangkan putra yang masih hidup, yaitu Sultan Hasanuddin (pangeran Sabakingkin), telah terlebih dahulu memerintah di Banten. Selain itu, Pangeran Swarga  (putra dari Pangeran Pasarean) yang merupakan calon kuat pengganti Sunan Jati juga telah wafat pada tahun 1565.
Dari segi kekerabatan, Fatahillah / Fadillah Khan adalah keponakan Syarif Hidayatullah karena buyutnya (Barkat Zainal Abidin) adalah adik dari Nurul Amin (kakek Syarif Hidayatullah dari pihak ayah). Fatahillah juga masih terhitung juga sebagai cucu dari Sunan Ampel (Ali Rakhmatullah) sebab buyutnya adalah kakak dari  Ibrahim Zainal Akbar (ayah Sunan Ampel).
Fatahillah yang lahir pada tahun 1490 di Pasai, pernah tercatat sebagai mantan Senopati Demak  yang berhasil merebut Pelabuhan Kalapa (pelabuhan laut Pajajaran). Akibat keberhasilannya itu, beliau diangkat oleh Sultan Demak sebagai Bupati Kalapa untuk mengatur urusan Pelabuhan Kalapa.
Beliau memperistri Nyi Ratu Pembaya (Puteri Raden Patah yang telah janda karena Pangeran Jayakelana / putra Syarif Hidayatullah wafat). Kemudian Fadillah Khan menikah lagi pada tahun 1527 dengan Nyi Mas Ratu Ayu (puteri bungsu Syarif Hidayatullah yang berstatus  janda dari Sabrang Lor / Sultan Demak II). Dengan demikian, Fatahillah menjadi menantu Raden Patah sekaligus menantu Syarif Hidayatullah.
Dari pernikahannya dengan Ratu Ayu, beliau memiliki 2 orang anak yaitu Nyi Mas Wanawati Raras (puteri ini kemudian menikah dengan Pangeran Swarga / putera dari Pangeran Pasarean), dan Pangeran Sedang Garuda.
Fadillah Khan / Fatahillah yang sehari-harinya dijuluki sebagai Ki Fadil memiliki beberapa sebutan. Joao de Barros menyebut Fadillah dengan Faletehan. Tome Pinto menyebutnya Tagaril. Dalam Carita Parahiyangan disebut dengan Arya Burah. Sedangkan menurut Pustaka Nagara Kretabhumi I / 2 disebut sebagai Wong Agung Pase.
Fatahillah hanya menduduki tahta Kesultanan Cirebon selama 2 tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570 dalam usia 80 tahun, dan dimakamkan berdampingan (di sebelah timurnya) dengan Sunan Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.

PANGERAN  EMAS /  PANEMBAHAN  RATU  I  (1570 – 1649)
 Sepeninggal Fatahillah, tahta sultan Cirebon jatuh pada Pangeran Emas yang lahir pada tahun 1547, Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I di saat usianya baru mencapai 23 tahun. Beliau merupakan cicit dari Syarif Hidayatullah dan cucu dari Fadillah Khan. Ayahnya bernama Pangeran Swarga (putra Pangeran Pasarean) sedangkan ibunya bernama Nyi Mas Ratu Wanawati Raras (putri Fadillah Khan).
Beberapa saat setelah pelantikan, beliau menikah dengan Nyi Mas Ratu Glampok Angroros / Ratu Mas Pajang (putri dari Jaka Tingkir / Prabu Adiwijaya, Sultan Pajang).
Di saat Panembahan Ratu I berkuasa, Keraton Pakungwati (yang selama ini menjadi  pusat kekuasaan), ditinggalkan dan pusat pemerintahan dipindahkan ke keraton baru yang bernama  Kanoman.
Panembahan Ratu I memilih pindah dari Pakungwati (belakangan disebut Keraton Kasepuhan) ke Kanoman dikarenakan bahwa arsitektur Keraton Pakungwati tidak seutuhnya melambangkan ke-Islaman, sebab masih ada arsitektur berbau pra-Islam. Hal ini jelas bertentangan dengan tradisi Keraton Cirebon yang sangat Islami.
Pada tahun 1596, orang Belanda pertama yang datang ke Cirebon melaporkan bahwa Cirebon pada waktu itu merupakan kota dagang yang relatif kuat yang sekelilingnya dibenteng dengan sebuah aliran sungai.
Pada masa Panembahan Ratu I, perhatian lebih diarahkan kepada penguatan kehidupan keagamaan. Kedudukannya sebagai ulama, merupakan salah satu alasan Sultan Mataram agak segan untuk memasukkan Cirebon sebagai daerah taklukan. Wilayah Kesultanan Cirebon saat itu meliputi Indramayu, Majalengka, Kuningan, Kabupaten dan Kotamadya Cirebon (sekarang).
Pada waktu yang bersamaan dengan masa kekuasannya, di Kerajaan Pajang (penerus Demak) sedang terjadi perebutan kekuasaan antara Panembahan Senapati dengan Arya Pangiri. Saat peristiwa itu, Panembahan Ratu I memihak pada Arya Pangiri. Atas keberpihakannya itu, maka Panembahan Ratu I diberikan “hadiah” seorang puteri yang bernama Puteri Harisbaya yang kemudian dinikahinya. (Cerita mengenai Panembahan Ratu I & Puteri Harisbaya yang lain, lihat Kerajaan Sumedanglarang, sub- Prabu Geusan Ulun).
           Akibat dari perebutan kekuasaan di Pajang, akhirnya pada tahun 1601, kerajaan Pajang terbagi dua yaitu Kerajaan Pajang dipimpin oleh Arya Pangiri dan Kerajaan Mataram dipimpin oleh Panembahan Senapati.
Walaupun Panembahan Ratu I sempat memihak pada Arya Pangiri, namun hubungannya dengan Mataram tetap berjalan baik. Hal itu terjadi karena, Panembahan Ratu I menikah dengan putri (namanya tidak diketahui) dari Panembahan Senapati.
Mulai sekitar 1630-an, saat itu Kerajaan Mataram telah dipimpin oleh Sultan Agung. Mataram mulai melakukan ekspansi ke barat Jawa. Tujuan ekspansi adalah untuk menunjukan bahwa Mataram adalah kerajaan besar yang diperhitungkan di Nusantara, selain itu ekspansi ke barat Jawa adalah untuk mengusir VOC yang mulai merajalela.
Setelah masa kejayaan Pajajaran habis, maka wilayah barat Jawa semula dikuasai oleh Cirebon dan Banten. Namun dengan masuknya Mataram, maka wilayah barat Jawa terbagi oleh 3 kekuasaan besar.
Panembahan Ratu I wafat pada tahun 1649 dalam usianya ke-102 tahun. Penerus Cirebon adalah cucunya yang bernama Pangeran Rasmi. Penunjukan cucunya disebabkan putra mahkota yang bernama Pangeran Seda ing Gayam Panembahan Adiningkusumah telah wafat.

PANGERAN RASMI / PANGERAN KARIM / PANEMBAHAN RATU II / PANEMBAHAN GIRILAYA  (1649 - 1667)
           Setelah Panembahan Ratu I meninggal, Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim (lahir tahun 1601, anak dari Pangeran Seda ing Gayam, yang telah meninggal lebih dahulu). Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya yaitu Panembahan Ratu II.
           Pada tahun 1645 , beliau menikah dengan putri (tidak diketahui namanya) dari Sunan Amangkurat I (Raja Mataram pengganti Sultan Agung). Dari perkawinannya tersebut, Panembahan Ratu II memiliki 3 orang anak, yaitu Pangeran Martawijaya, Pangeran Kertawijaya, dan Pangeran Wangsakerta.
           Selain menikah dengan putri Sunan Amangkurat I, beliau juga menikah lagi dengan putri dari Mataram (juga tidak diketahui namanya maupun silsilahnya). Dari pernikahannya kali ini, beliau dikaruniai 2 orang anak yaitu Panembahan Katimang dan Pangeran Gianti. Diperkirakan, dibalik 2 pernikahannya itu dengan wanita asal Mataram terdapat muatan diplomatis. Karena pada saat itu, Cirebon pamornya mulai surut, sedangkan Mataram sedang dalam masa kejayaan.
Sunan Amangkurat I yang memiliki perangai keras, akhirnya menodai persahabatan yang terjalin selama ini. Dia menganggap Cirebon yang dipimpin oleh menantunya sudah bukan lagi kerajaan yang berdiri sejajar. Maka, Sunan Amangkurat I mengingkari kesepakatan tak tertulis, yang menyebutkan bahwa Mataram tidak akan sekali-kali menguasai Kesultanan Banten dan Keraton Cirebon, sebagai wujud penghormatan terhadap kerukunan Kerajaan Demak, Cirebon, dan Banten yang pernah terjadi dahulu kala.
Kegagalan Panembahan Ratu II beserta Mataram untuk penyerangan VOC ke Banten pada tahun 1650 membuat Sultan Mataram merasa kesal, dan akhirnya Panembahan Ratu II dijadikan “tahanan politik” di Mataram. Dari kejadian itu, maka tahun 1650 Kesultanan Cirebon telah resmi menjadi kekuasaan Mataram.
Panembahan Ratu II akhirnya  wafat di Mataram pada tahun 1667 dan dimakamkan di bukit Girilaya, sehingga beliau kemudian dikenal juga dengan sebutan Panembahan Girilaya.

PEMBAGIAN  KEKUASAAN
Sunan Amangkurat I terusik hatinya untuk menguasai barat Jawa. Sunan Amangkurat I memiliki pemikiran bahwa hanya dengan menguasai barat Jawa, VOC bisa terkalahkan. Dari pandangan itulah Mataram akhirnya menguasai semua kabupaten di barat Jawa termasuk Cirebon.
Karena perlakukan Raja Mataram itu, Sultan Ageng Tirtayasa (Sultan Banten saat itu) tidak tinggal diam. Atas bantuan Trunojoyo dari Madura, Banten menyerang Cirebon, tahun 1667.  Akhirnya Mataram menyerah dan pergi meninggalkan Cirebon, bahkan Trunojoyo menyerang ke Mataram langsung yang membuat Mataram kalang kabut. 
Putra bungsu Panembahan Ratu II yaitu Pangeran Wangsakerta, yang sedianya akan menyusul ayahnya menjadi tahanan politik di Kerajaan Mataram, digagalkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Wangsakerta dibawa ke Banten dan dilantik menjadi sultan.
Putra kedua Panembahan Ratu II yaitu Pangeran Kartawijaya, yang turut mendampingi ayahnya saat meninggal di Mataram, cepat-cepat dipulangkan ke Cirebon. Oleh Sultan Banten, Kartawijaya dilantik menjadi Sultan Cirebon menggantikan adiknya Wangsakerta yang sebelumnya dilantik sebagai pejabat sementara.
Namun, beberapa saat setelah Kartawijaya dilantik, pasukan Trunojoyo yang pulang dari Mataram pada tahun 1678, mengantarkan putra sulung Panembahan Ratu II yaitu Pangeran Martawijaya. Sesuai tradisi kerajaan yang berlangsung turun temurun, menyebutkan bahwa yang paling berhak menduduki Keraton adalah putra sulung. Dengan demikian Martawijaya pun dilantik menjadi sultan juga.
Karena ketiganya sudah dilantik menjadi Sultan Cirebon, maka Sultan Banten, Ageng Tirtayasa menetapkan ketiganya sebagai raja. Sebagai anak sulung, Pangeran Martawijaya menjadi Sultan Sepuh I yang berkuasa di Keraton Kasepuhan. Adiknya, Pangeran Kartawijaya diberi gelar Sultan Anom I dan berganti nama menjadi Pangeran Mohammad Badrudin yang berkuasa di Keraton Kanoman dan  Pangeran Wangsakerta diangkat menjadi Panembahan Tohpati tetapi tidak memiliki wilayah kekuasaan dan keraton secara formal. Pangeran Wangsakerta juga dikenal sebagai pustakawan, beliau dan kawan-kawannya telah berhasil menyusun dan menulis beberapa naskah mengenai sejarah Nusantara.
Dari kasus pembagian kekuasaan itu, akhirnya terhitung sejak pertengahan abad XVII di Cirebon ada tiga kesultananan yang menempati keraton yang berbeda, yaitu Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan.
Lambat laun, Kerajaan Cirebon mulai pudar walaupun tak sampai tenggelam. Kharisma Kesultanan Cirebon tidak lagi secemerlang manakala Cirebon dipimpin oleh Syarif Hidayatullah.  Hal inilah yang menyebabkan kedudukan Cirebon terdesak dan bahkan terlampaui oleh Kesultanan Banten di kemudian hari.
Tahun 1684 Cirebon diserahkan Mataram kepada VOC maka otomatis daerah-daerah lain yang tadinya merupakan wilayah bawahan Cirebon masuk menjadi daerah kekuasaan VOC.

Setelah dibagi menjadi 3 kekuasaan, para Sultan yang berkuasa di Cirebon hingga saat ini masih eksis.

0 comments:

Post a Comment

kembali ke atas
Bandung Cyber City
Persib History
Republik Design