• West Java Kingdom


    Kerajaan di Barat Jawa
    Penelusuran Sejarah antara Legenda dan Fakta

  • West Java Kingdom

    Search of the History between Legend and Fact

  • West Java Kingdom

    Seni, Tradisi, Budaya, dan Wisata Sejarah

Posted by Unknown
2 comments | 3:02 PM
Pada mulanya, kerajaan ini hanya berupa sebuah padepokan yang mengajarkan agama Budha. Padepokan tersebut didirikan oleh Sudayosa. Tokoh ini merupakan anak dari Suryadewata (putera dari raja Sunda ke-29, yang bernama Prabu Ajiguna Linggawisesa). 

Sudayosa merupakan penganut agama Budha aliran Sarwastiwada. Padepokan agama Budha tersebut terletak di daerah Gunung Bitung (sekitar Majalengka), oleh karena itu Sudayosa dikenal dengan julukan Batara Gunung Bitung

Batara Gunung Bitung memimpin padepokan selama 2 windu. Dalam menjalankan padepokannya, Batara Gunung Bitung membangun pembangunan prasarana jalan perekonomian yang dibuat sepanjang kurang lebih 25 kilometer (tepatnya Talaga - Salawangi di daerah Cakrabuana). Bidang Pembangunan lainnya yaitu perbaikan pengairan di Cigowong yang meliputi saluran-saluran pengairan (semuanya di daerah Cikijing sekarang). Semakin hari padepokan itu semakin maju dan berkembang.

Batara Gunung Bitung memiliki 6 orang anak, yaitu Sunan Cungkilak, Sunan Benda, Sunan Gombang, Ratu Panggongsong Ramahiyang, Prabu Darmasuci, dan Ratu Mayang Karuna.

Kemajuan semakin terlihat, ketika padepokan Budha ini diteruskan kepemimpinannya oleh puteranya yang bernama Darmasuci. Saat itu penganut agama Budha semakin banyak, dan akhirnya Darmasuci mendirikan kerajaan yang bercorak Budha dengan nama Kerajaan Talaga, dan termasuk kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda saat itu dipimpin oleh Prabu Anggalarang. 

Kerajaan yang berdiri sekitar abad ke-14 ini, memiliki daerah kekuasaan yang meliputi Talaga, Cikijing, Bantarujeg, Lemahsugih, Maja dan sebagian Selatan Majalengka, sedangkan pusat pemerintahannya diperkirakan di Desa Bobos (wilayah Majalengka sekarang). 

Pada perkembangan selanjutnya, ketika kekuasaan Sunda dibagi dua, Talaga menjadi kekuasaan kerajaan Galuh. Saat di “pusat” terjadi penyatuan kekuasaan Sunda-Galuh kedalam satu nama yaitu Pajajaran, akhirnya Talaga kemudian menjadi bawahan Pajajaran. 

Kemudian setelah dominasi Cirebon – Banten (dibantu oleh Demak) menguasai barat Jawa, Kerajaan Talaga yang berpaham Budha akhirnya menjadi Islam di bawah pengaruh Kesultanan Cirebon (mulai tahun 1528).

Dalam seni pantun banyak diceritakan tentang kunjungan tamu-tamu dari beberapa daerah seperti Jawa Tengah, Jayakarta, dan Pajajaran ke Talaga. Peninggalan dari kerajaan ini masih bisa disaksikan di sebuah rumah tua di dekat kantor Kecamatan Talaga. Peninggalan yang berupa perkakas dan hiasan keramik, gamelan, benda-benda atribut kerajaan seperti keris, harnas atau baju besi, tombak, pistol, senapan, meriam dan lainnya, serta catatan silsilah dari raja pertama hingga yang terakhir  itu kini dirawat oleh keturunannya.

Berikut ini merupakan raja-raja dari Kerajaan Talaga :

1.         DARMASUCI
Darmasuci merupakan raja Talaga pertama dengan gelar rajaguru. Beliau juga dikenal sebagai Pandita Perabu Darmasuci. Dalam pemerintahan raja ini, agama Budha berkembang dengan pesat. Kerajaan Talaga pun menjadi pusat agama Budha di barat Jawa dan sering dikunjungi oleh umat Budha yang berasal  pulau Jawa dan Sumatera.
Beliau wafat dengan meninggalkan 2 orang putra yaitu Bagawan Garasiang  dan  Sunan Talagamanggung.

2.         BAGAWAN  GARASIANG
Saat raja ini berkuasa, pusat pemerintahan berpindah dari Talaga ke daerah Cihaur Maja.
Karena beliau sangat mementingkan kehidupan Kepercayaan sehingga akhirnya tak lama kemudian tahta diserahkan kepada adiknya Sunan Talagamanggung.

3.         SUNAN  TALAGAMANGGUNG
Sunan Talagamanggung merupakan raja yang sangat terkenal bagi rakyat Talaga. Masa kekuasaannya sezaman dengan Prabu Dewa Niskala (raja Galuh).
Dalam memerintah, sikap beliau sangat adil dan bijaksana serta sangat memperhatikan terhadap perkembangan agama Budha, pertanian, pengairan, kerajinan serta kesenian rakyat.
Saat Sunan Talagamanggung berkuasa, Kerajaan Talaga menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan tetangga hingga kerajaan yang besar, seperti misalnya Kerajaan Majapahit, Kerajaan Pajajaran, maupun Kerajaan Sriwijaya.
  Sunan Talaga Manggung memiliki dua orang anak, yaitu Raden Pangrurah (kemudian menjadi bikshu) dan Ratu Simbarkancana.
Ratu Simbarkancana merupakan puteri yang sangat cantik, sehingga diibaratkan sebagai bidadari yang bermukim di negeri Talaga. Karena kecantikannya itu Ratu Simbarkancana banyak yang meminang. Akhirnya Sunan Talagamanggung mengadakan sayembara untuk mendapatkan puterinya. Sayembara tersebut diadakan selama 3 hari dengan mempertandingkan adu senjata (tombak, gada, keris) sambil menunggang kuda, lomba keterampilan dalam jumlah menangkap harimau dan babi hutan liar di dalam hutan, dan terakhir dipertandingkan lomba memanah bunglon yang ekornya digantung.
Sayembara tersebut akhirnya dimenangkan oleh Sakyawira (Menteri Urusan Laut Kerajaan Palembang). Sakyawira pun berhak untuk menikahi Ratu Simbarkancana dan diangkat sebagai Patih Utama Kerajaan Talaga.
Sebagai seorang yang berasal dari daerah yang berbeda tradisi, Sakyawira sering terlihat tidak menampakan etika budaya yang religius di Talaga. Kegemarannya berburu, rupanya mempengaruhi pada perilakunya sehari-hari yang kejam dan tak bisa mengontrol nafsu. Ditopang dengan jabatan sebagai Patih Utama, Sakyawira banyak melampiaskan nafsunya kepada gadis-gadis baik dari kalangan rakyat biasa maupun anak dari penghulu desa di sekitar Talaga.
Pembesar kerajaan Talaga sebenarnya telah mengetahui perangai buruk dari Sakyawira, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena segan pada mertua Sakyawira yang bertindak sebagai penguasa Talaga.
Ketamakan Sakyawira kemudian merembet pada urusan kekuasaan, dia ingin sekali menjadi raja Talaga. Dia tidak tahan menunggu lama untuk menerima warisan kepemimpinan dari mertuanya, karena itu dia bekerjasama dengan Patih Citrasinga untuk menyingkirkan Sunan Talagamanggung.
Seorang Bhayangkara (pasukan pengawal raja) yang bernama Centrabentang diperintahkan untuk membunuh sang raja. Centrabentang berhasil menjalankan tugasnya dari Sakyawira dengan baik. Sunan Talagamanggung tewas dengan tombak yang tertikam di dadanya. Centrabentang kemudian melarikan diri ke dalam hutan belantara setelah lolos dari sergapan prajurit Bhayangkara lainnya.
  Dibalik kemahsyuran Sunan Talagamanggung, beliau harus  turun tahta dengan sangat tragis. Dengan upacara resmi keagamaan, jenazah Sunan Talagamanggung dikremasi dan dihadiri oleh para pembesar kerajaan tetangga dan ribuan umat Budha di Kerajaan Talaga.

4.         SAKYAWIRA
Sakyawira akhirnya berhasil mewujudkan ambisinya untuk menduduki jabatan tertinggi di Kerajaan Talaga. Kaki tangannya, yaitu Citrasinga kemudian diangkat sebagai Patih Utama.
Untuk menutupi aibnya, Sakyawira mengutus Citrasinga untuk mencari dan membunuh Centrabentang agar rahasia busuknya tetap terjaga. Tetapi tempat persembunyian Centrabentang tidak ditemukan. Setelah Citrasinga tidak berhasil, Sakyawira akhirnya harus turun tangan sendiri dalam mencari tempat persembunyian itu, namun usaha kerasnya tetap  tidak membuahkan hasil.
Di lain pihak, berita tewasnya Sunan Talagamanggung telah sampai ke Galuh. Untuk melindungi kerajaan bawahannya, Prabu Dewa Niskala sebagai penguasa Galuh menugaskan Kusumalaya / Ajar Kutamangu untuk mencari si pembunuh.
Berbeda dengan usaha Sakyawira, kecermatan dari Kusumalaya berhasil menemukan Centrabentang. Ketika diinterogasi, Centrabentang mengaku telah membunuh Sunan Talagamanggung atas perintah Sakyawira. Centrabentang merasa kecewa tehadapa Sakyawira yang tidak menepati janjinya untuk memberikan pangkat dan harta baginya.
Karena Kusumalaya merasa tidak berhak untuk memberikan putusan bagi si pembunuh, akhirnya Centrabentang secara sembunyi-sembunyi dibawanya untuk dipertemukan dengan Ratu Simbarkancana (isteri Sakyawira).
Di hadapan Ratu Simbarkancana, dengan rasa penuh penyesalan Centrabentang membocorkan kebusukan dari Sakyawira dan ia pun rela untuk dihukum mati.
Tidak beberapa lama kemudian, Ratu Simbarkancana yang merasa sangat kesal terhadap perlakuan suaminuya, akhirnya membunuh Sakyawira dengan tusuk konde sewaktu tidur. Tusuk konde tersebut dihunjamkan sebanyak 3 kali ke arah tenggorokan Sakyawira, dan Sakyawira pun tewas seketika.
  Dengan tewasnya Sakyawira, kemudian Ratu Simbarkancana menikah dengan Kusumalaya, yang telah banyak berjasa terhadap mengungkap misteri pembunuhan ayahnya.

5.         RATU  SIMBARKANCANA
Beliau memerintah sekitar awal abad XIV Masehi. Dalam tampuk pemerintahannya, agama Islam menyebar ke daerah-daerah kekuasaannya yang dibawa oleh para Santri dari Cirebon.
Ratu Simbarkenacana juga memindahkan tahta pemerintahan waktu itu ke suatu daerah disebelah utara Talaga bernama Walangsuji dekat kampung Buniasih.
Dari pernikahannya terdahulu dengan Sakyawira, beliau tidak dikaruniai anak, sedangkan melalui pernikahan keduanya dengan Kusumalaya, Ratu Simbarkancana melahirkan 8 orang anak. Anak sulung mereka bernama Sunan Parung, sedangkan anak laki-laki lainnya adalah Batara Sakawayana / Sunan Corenda yang kemudian menikah dengan ratu yang bernama Nyi Mas Ratu Patuakan (penguasa Kerajaan Geger Hanjuang).
Setelah Ratu Simbarkancana wafat, tahtanya kemudian digantikan oleh Sunan Parung.

6.         SUNAN  PARUNG
Hal yang penting pada masa pemerintahannya adalah sudah adanya Perwakilan Pemerintahan yang disebut Dalem, antara lain ditempatkan di daerah Kulur, Sindangkasih, dan  Jerokaso Maja.
Pemerintahan Sunan Parung tidak lama, hanya beberapa tahun saja. Sunan Parung mempunyai puteri tunggal bernama Ratu Sunyalarang / Ratu Parung.

7.         RATU  SUNYALARANG  /  RATU  PARUNG
Sebagai puteri tunggal beliau naik tahta menggantikan ayahnya. Ratu Sunyalarang ini kemudian menikah dengan Raden Rangga Mantri / Prabu Pucuk Umum (cicit Prabu Jayadewata / Prabu Siliwangi).
Pada masa pemerintahannya agama Islam sudah berkembang sangat pesat. Banyak rakyat Talaga yang memeluk agama tersebut hingga akhirnya Islam berpengaruh besar ke daerah-daerah kekuasaannya antara lain Maja, Rajagaluh dan Majalengka.
Saat itu hubungan antara pemerintahan Talaga dengan Kesultanan Cirebon maupun Kerajaan Pajajaran sangat baik sekali. Sebagaimana diketahui Prabu Pucuk Umum adalah cicit dari Prabu Siliwangi karena dalam hal ini ayah beliau yang bernama Raden Munding Sari Ageng merupakan cucu dari Prabu Jayadewata (Prabu Siliwangi).
Hal terpenting pada masa pemerintahan Ratu Sunyalarang adalah Talaga menjadi pusat perdagangan di bagian Selatan.

8.         RADEN  RANGGA  MANTRI / PRABU  PUCUK  UMUM TALAGA
Di  masa kekuasaannya penduduk Talaga dan wilayah sekitarnya (semuanya termasuk wilayah Majalengka sekarang), hampir sebagian besar telah beragama Islam.
Menurut sumber lain, diceritakan bahwa Raden Rangga Mantri / Prabu Pucuk Umum ini masa kekuasaannya sejaman dengan Prabu Jayaningrat di Galuh dan Prabu Surawisesa di Pakuan. Pada saat kekuasaan Kerajaan Galuh dijatuhkan oleh Kesultanan Cirebon pada tahun 1528, Prabu Jayaningrat dan beberapa pembesarnya melarikan diri ke Kerajaan Talaga. Pada tahun itu juga, Kesultanan Cirebon kemudian mengalihkan serangannya ke Talaga sebagai benteng terakhir Kerajaan Pajajaran, akhirnya melalui pertempuran sengit, wilayah Talaga jatuh ke tangan Kesultanan Cirebon. Diceritakan Prabu Jayaningrat tewas dalam pertempuran, sedangkan Raden Rangga Mantri melarikan diri ke hutan di lereng gunung  Ciremai.
Dari pernikahan Raden Rangga Mantri dengan Ratu Sunyalarang, mereka dikaruniai  5 orang putera yaitu Prabu Haurkuning, Aria Kikis / Sunan Wanaperih, Dalem Lumaju Agung, Dalem Panuntun, dan Dalem Panaekan
Sebelum Prabu Pucuk Umum wafat, beliau telah menunjuk putra-putranya untuk memerintah (setingkat bupati) di daerah-daerah kekuasaannya, antara lain :
·         Prabu Haurkuning, hanya sebentar meneruskan tampuk kekuasaan Talaga, kemudian beliau pindah ke Ciamis dan kelak keturunan beliau banyak yang menjabat sebagai Bupati.
·         Aria Kikis / Sunan Wanaperih memegang tampuk pemerintahan Kerajaan Talaga di Walangsuji ; 
·         Dalem Lumaju Agung di kawasan Maja ;
·         Dalem Panuntun di Majalengka ;
·     Dalem Panaekan di Walangsuji kemudian berpindah-pindah menuju Riung Gunung, Sukamenak, Nunuk Cibodas dan Kulur.
  Prabu Pucuk Umum wafat dan dimakamkan di dekat Situ Sangiang, Kecamatan Talaga.

9.         ARIA  KIKIS /  SUNAN  WANAPERIH
Pada masa pemerintahannya, seluruh rakyat di Talaga telah memeluk Agama Islam. Pusat pemerintahannya di Walangsuji.
Sunan Wanaperih memiliki 6 orang anak, yaitu Dalem CageurDalem Kulanata, Apun Surawijaya / Sunan Kidul, Ratu Radeya, Ratu Putri,  dan  Dalem Wangsa Goparana.
Diceritakan bahwa Ratu Radeya menikah dengan Arya Salingsingan. Sedangkan Ratu Putri menikah dengan Sayid Ibrahim Cipager (putra Syech Abu Muchyi dari Pamijahan).
Sedangkan putranya yang bernama Dalem Wangsa Goparana pindah ke Sagalaherang Cianjur. dan merupakan penyebar agama Islam di Subang.
Anak dari Dalem Wangsa Goparana yang bernama Jayasasana, adalah Bupati Cianjur pertama (1640 – 1686)  dengan gelar Aria Wiratanu I.  Beliau sebelum tiba di Cianjur, hanya merupakan  seorang  sentana  dari  Kerajaan   Talaga    yang menimba ilmu agama Islam selama delapan tahun di Kesultanan Cirebon. Setelah menimba ilmu, beliau diembani tugas oleh penguasa Cirebon saat itu untuk membuka wilayah Cianjur (sebagai bupati utusan Kesultanan Cirebon) sekaligus menyebarkan agama Islam.
Konon di kalangan dunia supranatural, berkembang cerita bahwa Aria Wiratanu I menikah dengan Dewi Arum Sari yang merupakan putri Jin dari Kerajaan Jin Tengger Agung.  Pernikahan ini terjadi karena Raja Jin yang bernama Syekh Jubaidi merasa takjub dengan ketakwaan Aria Wiratanu I tersebut. Dari pernikahan dengan bangsa jin itu, konon Aria Wiratanu memperoleh 3 orang keturunan yaitu Raden Suryakancana (penguasa Gunung Gede, Cianjur), Indang Kancana ( menemani ibunya untuk menguasai Gunung Ciremai, Kuningan), dan Andaka Wirusajagat (penguasa Gunung Kumbang, Karawang). Ketiga anaknya itu akhirnya kembali ke dunia jin ketika mereka masih anak-anak beserta ibunya. Mereka masing-masing diberi daerah kekuasaan oleh Syekh Jubaidi. Wallahu’alam.
Aria Wiratanu I yang setelah wafat terkenal dengan sebutan Dalem Cikundul (karena makamnya terletak dekat sungai Cikundul), mewariskan kekuasaannya sebagai bupati Cianjur kepada anaknya yang bernama Raden Wiramanggala / Aria Wiratanu II (anaknya dari istri manusia).

 10.       APUN  SURAWIJAYA  /  SUNAN  KIDUL
Saat memerintah, Apun Surawijaya kembali memindahkan pusat pemerintahannya  ke Talaga.
Apun Surawijaya memiliki putra yang bernama Pangeran Ciburuy / Sunan Ciburuy / Pangeran Surawijaya menikah dengan putri Cirebon bernama Ratu Raja Kertadiningrat saudara dari Sultan Sepuh III Cirebon.

11.       PANGERAN SURAWIJAYA / PANGERAN CIBURUY
  Pangeran Surawijaya dianungrahi 6 orang anak yaitu Dipati Suwarga, Mangunjaya, Jaya Wirya, Dipati Kusumayuda, Mangun Nagara, dan Ratu Tilarnagara
  Ratu Tilarnagara menikah dengan Bupati Panjalu yang bernama Pangeran Arya Secanata (keturunan Prabu Haur Kuning).

 12.      DIPATI  SUWARGA
Dipati Suwarga menikah dengan Putri Nunuk dan dikaruniai 2 orang putra yaitu Pangeran Dipati Wiranata dan Pangeran Secadilaga / Pangeran Raji.
Setelah Dipati Suwarga wafat, kekuasaan digantikan oleh anaknya yang bernama Pangeran Dipati Wiranata.

13.       PANGERAN  DIPATI  WIRANATA
Memiliki putra yang bernama Pangeran Secanata.

14.       PANGERAN  SECANATA / ARYA  SECANATA
            Saat Arya Secanata memerintah, pengaruh VOC sudah terasa sekali.

15.       EYANG RAGA SARI
Eyang Raga Sari yang menikah dengan Ratu Cirebon mengantikan Pangeran Secanata.
Posted by Unknown
4 comments | 2:59 PM
Kerajaan Sindangkasih merupakan Kerajaan Hindu Terakhir di wilayah Majalengka. Kerajaan ini berdiri sekitar tahun 1480, di Desa Sindangkasih (3 Km dari kota Majalengka ke Selatan) dengan daerahnya meliputi Sindangkasih, Kulur, Kawunghilir, Cieurih, Cicenang, Cigasong, Babakanjawa, Munjul dan Cijati.
Raja dari Kerajaan Sindangkasih yang terkenal adalah bernama Nyi Ambet Kasih (istri Prabu Sliliwangi) yang masih teguh memeluk Agama Hindu. Kerajaan ini juga merupakan kerajaan bawahan dari Pajajaran.
 Kedatangan Nyi Ambet Kasih dari Pakuan ke wilayah Majalengka ini bermula ketika beliau ingin menemui salah seorang saudaranya yang bernama Raden Munding Sariageng (suami dari Ratu Mayang Karuna anak dari Batara Gunung Picung, Raja Talaga pertama) yang waktu itu berada di Kerajaan Talaga.  Akan tetapi, di perbatasan antara Majalengka - Talaga, Nyi Ambet Kasih mendengar bahwa di daerah tersebut agama Islam telah masuk. Dikarenakan beliau sangat taat pada ajaran Hindu, maka Nyi Ambet Kasih mengurungkan maksudnya untuk berkunjung ke Talaga.
Dari kejadian tersebut, maka Nyi Ambet Kasih memilih menetap di daerah Sindangkasih.  Pemerintahan dari Nyi Ambet Kasih ini sangat baik terutama untuk masalah pertanian. Beliau sangat memperhatikan sektor pertanian, karena itu beliau membangun pengairan secara teratur dari Beledug-Cicurug-Munjul.
Pemerintahan Nyi Ambet Kasih menjadi terjepit oleh pengaruh agama Islam, dikarenakan Dalem Panuntun (putera dari Raden Rangga Mantri, Raja Talaga ke-9 yang sudah Islam) diperintahkan oleh ayahnya untuk menjadi Dalem di Majalengka (lihat Kerajaan Talaga, sub- Raden Rangga Mantri / Prabu Pucuk Umum). Kemudian utusan dari Cirebon yang bernama Pangeran Muhammad dan istrinya Siti Armilah (Gedeng Badori), diperintahkan untuk mendatangi Nyi Ambet Kasih dengan maksud agar Ratu beserta seluruh Kerajaan Sindangkasih untuk masuk agama Islam dan menyerahkan Kerajaan Sindangkasih untuk masuk kawasan ke Kesultanan Cirebon. Nyi Ambet Kasih menolak tawaran tersebut, sehingga timbul pertempuran antara pasukan Sindangkasih dengan pasukan Kesultanan Cirebon. Akhirnya Kerajaan Sindangkasih menyerah dan di-Islam-kan, sedangkan Nyi Ambet Kasih tetap memeluk agama Hindu.
Pada saat Pajajaran runtuh, Kerajaan Sindangkasih beralih statusnya menjadi kerajaan dibawah kekuasaan Sumedanglarang. Namun, pada perkembangan selanjutnya, tepatnya pada tahun 1583, wilayah Kerajaan Sindangkasih diserahkan Sumedanglarang pada Kesultanan Cirebon dikarenakan untuk mencegah pertikaian yang lebih besar antara Sumedanglarang dengan Kesultanan Cirebon (lihat Kerajan Sumedanglarang, sub- Prabu Geusan Ulun).
Posted by Unknown
No comments | 2:57 PM
           Kerajaan Tanjung Jaya berlokasi di wilayah yang sekarang menjadi kota Jakarta Selatan, tepatnya di Kampung Muara, Kelurahan Tanjung Barat. Kerajaan Tanjung Jaya membawahi kota yang bernama Jayakerta. Istana Tanjung Jaya menghadap ke utara di dengan luas sekitar 800 meter. Di depan sumur tersebut terdapat sumur alami dengan berdiameter 35 cm. Sumur tersebut kemudian dinamakan sumur lubang buaya.

          Kerajaan ini didirikan pada tahun 1333, dengan pendirinya adalah Wangsatunggal (sepupu dari Prabu Ragamulya Luhur Prabawa / raja Sunda ke-30). Pada awalnya kerajaan ini merupakan kerajaan bawahan Kerajaan Sunda, tetapi ketika Sunda-Galuh bersatu dengan nama Pajajaran, maka Kerajaan Tanjung Jaya menjadi wilayah bawahan Pajajaran.

          Raja-raja selanjutnya dari kerajaan ini adalah Ragamulya, Munding Kawati, Mental Buana, Banyak Citra, Cakralarang, dan Kinawati. Kelak Kinawati ini menikah dengan Prabu Surawisesa (raja Pajajaran).

           Kerajaan ini merupakan kerajaan kecil namun sangat ramai, hal ini dikarenakan Kerajaan Tanjung Jaya merupakan kerajaan yang ditugaskan Pajajaran untuk mengatur Pelabuhan Kalapa (salah satu pelabuhan terbesar di Nusantara saat itu). Kejayaan Pelabuhan Kalapa yang merupakan salah satu pelabuhan terbesar di Nusantara, membuat iri Kesultanan Demak dan Kesultanan Cirebon.

Akhirnya pada tahun 1527, kerajaan ini mendapatkan serangan dari pasukan Fatahillah (Demak) dan Cirebon. Maksud serangan ini adalah ingin menaklukan wilayah ini. Seluruh pembesar kerajaan Tanjung Jaya dan pasukannya dibantu sebagian pasukan Pajajaran yang disiagakan disana tidak mampu menahan gempuran yang datang, akhirnya melarikan diri ke ibukota Pajajaran di Pakuan. Kemudian seluruh wilayah Tanjung Jaya termasuk pelabuhan Kalapa jatuh ke dalam kekuasaan Demak. Sedangkan Fatahillah sebagai panglima pasukan Demak, ditunjuk sebagai Bupati Kalapa.

          Setelah berhasil direbut Demak, nama Kerajaan ini diganti oleh Fatahillah dengan sebutan Jayakarta pada tanggal 22 Juni 1527 yang sekarang dijadikan hari jadi kota Jakarta. Nama Jayakarta diambil mengacu pada nama kota yang telah ada di wilayah itu, jadi sebenarnya bukan Fatahillah yang menciptakan nama tersebut. Fatahillah kemudian mendirikan keraton Jayakarta sebagai pusat pemerintahannya.

       Jabatan bupati Jayakarta kemudian berturut-turut dipegang oleh Ki Bagus Angke (menantu dari Hasanuddin), kemudian beralih ke anaknya yang bernama Pangeran Sungarasa Jayawikarta.

Setelah wilayah Jayakarta diserahkan pada Kesultanan Banten, maka penguasa wilayah ini juga ditunjuk oleh Banten. Tapi penguasa-penguasa yang memimpin di Jayakarta sering terlibat perselisihan dengan pusat (Kesultanan Banten) dan kurang disenangi oleh rakyat setempat, sehingga ketika VOC datang menyerang keraton Jayakarta pada tahun 1916, maka keraton ini dapat dengan mudah direbut dan dikuasai VOC.
Posted by Unknown
2 comments | 2:55 PM
Kerajaan ini memang kurang begitu populer di kalangan masyarakat Jawa Barat, karena kerajaan ini memang tergolong kecil. Kerajaan Timbanganten merupakan Kerajaan yang berada dibawah dominasi Kerajaan Pajajaran. Kerajaan ini memiliki cakupan wilayah yang cukup luas, terdiri atas sembilan daerah yang disebut "Ukur Sasanga", yang salah satu wilayahnya adalah wilayah Tatar Ukur (sekarang Bandung) dengan ibukotanya yaitu Tegalluar. Namun setelah Kerajaan Pajajaran runtuh di tahun 1579, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang (penerus Kerajaan Pajajaran).

Berikut ini adalah Raja-Raja Daerah di Kerajaan Timbanganten :

1.    PRABU MARAJAPUTRA
Seorang raja muda belia, merupakan putra dari Prabu Surawisesa (Raja Pajajaran pengganti Prabu Siliwangi). Oleh rakyat Timbanganten, dijuluki Sunan Burung Baok.  Dalam  menjalankan tampuk kekuasaan, beliau dibantu oleh seorang Patih bernama Dalem Pasehan. Prabu Marajaputra tidak lama menjadi Raja Timbanganten, karena ditarik kembali ke Pakuan Pajajaran.

2.    SUNAN PERMANA DIPUNTANG
Sunan Permana Dipuntang diangkat menjadi Raja menggantikan kakaknya (Prabu Marajaputra). Untuk bekal dalam memimpin negara, beliau memperoleh senjata pusaka dari Ayahnya (Prabu Surawisesa), berupa sebilah Keris bernama Ki Rangga Jaruju dan sebuah tombak bernama Ki Candi Upas.
Sunan Permana Dipuntang mendirikan Ibukotanya yaitu Mandalapuntang di kaki Gunung Galunggung.

3.     RATU WIRANATAKUSUMAH
Beliau merupakan anak dari Sunan Permana Dipuntang. Dilihat dari silsilahnya,  Ratu Wiranatakusumah merupakan keturunan ke-6 dari  Prabu Jayadewata / Prabu Siliwangi.
Pada masa kekuasaannya, beliau kemudian memindahkan Ibukota negaranya ke Tambakbaya dan membawa Timbanganten kedalam kesejahteraan sehingga beliau  dikenal  sebagai  seorang  raja  yang bijaksana dan sangat dihormati oleh seluruh rakyatnya.
Ratu Wiranatakusumah memimpin Kerajaan Timbanganten sampai saat Kerajaan Pajajaran mengalami keruntuhan (1579). Karena itu dapat dikatakan, bahwa Ratu Wiranatakusumah adalah Raja Timbanganten terakhir yang bernaung di bawah panji-panji Pajajaran. Setelah wafat, beliau dimakamkan di Cangkuang, Leles dan pada tahun 1989 makamnya dipindahkan ke Makam Leluhur Bandung di Dayeuh Kolot.

4.      DALEM WIRAKARAMA
Setelah Ratu Wiranatakusumah wafat, Kerajaan Timbanganten dilanjutkan oleh putra sulungnya yang bernama Dalem Wirakrama. Sejak Dalem Wirakrama inilah, Kerajaan Timbanganten  memulai hubungan dengan Mataram (di bawah kekuasaan Mataram). Dalem Wirakrama wafat di Mataram.
Pada saat Dalem Wirakrama wafat, putra-putranya belum ada yang dewasa untuk menggantikannya. Karena itu Kerajaan Timbanganten dirajai oleh adiknya yang bernama Dalem Wirawinangun.

5.      DALEM WIRAWINANGUN
Dalem Wirawinangun diangkat menjadi mantri agung (bupati) wilayah Bandung  dengan gelar Tumenggung Wirawinangun oleh Sultan Agung Mataram, untuk mengisi pucuk pimpinan daerah priangan yang saat itu dibagi menjadi tiga wilayah kekuasaan. Bupati Bandung Tumeggung Wirawinangun beserta pengikutnya dari Mataram kembali ke Tatar Ukur, dan kemudian Tumenanggung Wirawinangun bersama rakyatnya membangun Krapyak, sebuah tempat yang terletak di tepi Sungat Citarum dekat muara Sungai Cikapundung, (daerah pinggiran Kabupaten Bandung bagian Selatan) sebagai ibukota kabupaten. Sebagai daerah pusat kabupaten Bandung, Krapyak dan daerah sekitarnya disebut Bumi Ukur Gede.

6.      DALEM WIRAKUSUMAH
Dikarenakan Dalem Wirawinangun wafat dalam usia muda, sedangkan putranya yang bernama Raden Ardikusumah masih kecil dan belum dapat menggantikannya, maka posisi bupati diserahkan pada adiknya yang bernama Dalem Wirakusumah.
Perlu diketahui, meskipun sistem pemerintahan Timbanganten sudah dijabat oleh seorang bupati, tetapi penggantian kekuasaan masih menggunakan sistem kerajaan (bupati digantikan oleh keturunannya). Keadaan demikian akibat kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh Mataram, sehingga bupati yang memerintah saat itu bertindak tak ubahnya seperti raja, antara lain memiliki hak penuh bagi rakyatnya (seperti mengadili, memungut pajak, dan lain-lain).

Kerajaan Timbanganten pun berakhir, dan kedudukan raja digantikan oleh bupati.
Posted by Unknown
8 comments | 2:53 PM
Dimulai pada abad ke VII sampai abad ke XII di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Tasikmalaya, terdapat Pemerintahan Kebataraan di sekitar Gunung Galunggung dengan ibukotanya adalah Rumatak. Kebataraan ini cukup istimewa yaitu dengan memiliki kekuasaan “mengabisheka raja-raja Galuh” atau dengan kata lain Raja Galuh baru dianggap syah bila mendapat persetujuan Batara yang bertahta di Galunggung. Selain itu, Kebataraan ini memberikan amanah yang dikenal dengan Amanah Galunggung, yang isinya memperingatkan kepada raja-raja beserta rakyat (yang menghormati Kebataraan Galunggung) agar setia memelihara kabuyutan (daerah yang dianggap sebgai tempat suci dan ditetapkan sebagai pusat pendidikan). Artinya, apabila tempat suci sudah terjamah musuh, berarti kerajaan sudah runtuh. Salah satu isi dari Amanah Galunggung tersebut adalah mengenai tapa (Kropak 632), yaitu :

...na urang lanang wadwan, iya twah iya tapa, iya twah na urang, gwareng twah gwareng tapa, maja twah maja tapa, rampes twah waya tapa, apana urang ku twah na man beunghar ku twah na mana waya tapa....
... bagi kita, pria dan wanita, ya beramal ya bertapa, itulah perbuatan kita. Buruk amalnya berarti buruk tapanya, sedang amalnya berarti sedang tapanya, sempurna amalnya berarti berhasil tapanya. Adapun kita ini, karena amallah dapat menjadi kaya, karena amal pula berhasil tapa kita…..

Selain bersifat Kebataraan, Galunggung juga membawahi sekitar 12 kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya. Diantara kerajaan-kerajaan bawahannya itu, yang cukup terkenal adalah Kerajaan Kuningan, Kerajaan Kajaron, dan Kerajaan Kalanggara.

Batara / sesepuh yang memerintah di Kerajaan Galunggung antara lain :

BATARA  DANGHIYANG  GURU  SEMPAKWAJA (sampai tahun 729)
Dilahirkan pada tahun 620, beliau merupakan putera sulung Wretikandayun (raja Galuh pertama).  Nama asli beliau tidak diketahui, tetapi kemudian terkenal dengan nama  Sempakwaja dikarenakan giginya ompong. Karena giginya yang ompong, maka Sempakwaja gagal menjadi penerus Kerajaan Galuh dan akhirnya mendirikan Kerajaan Galunggung.
Beliau memiliki permaisuri bernama Pohaci Rababu (berasal dari pertapaan Kendan). Dari pernikahannya itu, Sempakwaja memiliki dua orang putera, yaitu :
1.  Purbasora, lahir tahun 643 kemudian merebut tahta Galuh.
2.  Demunawan, lahir tahun 646.
Di tahun 661, permaisurinya melahirkan seorang anak laki-laki hasil hubungan gelapnya dengan adik Sempakwaja yang bernama Amara, dan kemudian anak tersebut diurus oleh Amara serta diberi nama Bratasenawa. Namun Batara Danghiyang Guru Sempakwaja, merupakan orang yang begitu sabar dan sangat mencintai istrinya itu, sehingga dia tetap mau menerima Pohaci Rababu sebagai istri walaupun dia telah berselingkah dengan adiknya sendiri. (lihat Kerajaan Galuh, mulai sub-Wretikandayun).
Pada saat Purbasora merebut tahta Galuh dari Bratasenawa, dan kemudian tahta tersebut direbut kembali oleh Sanjaya (anak Bratasenawa), Sempakwaja merasa sakit hati kepada Sanjaya yang kala itu memerintah di Kerajaan Sunda. Sejak kejadian itu, Sempakwaja menyerahkan wilayah Galunggung beserta kerajaan-kerajaan dibawahnya kepada Demunawan (anaknya yang ditunjuk menjadi raja Kerajaan Kuningan) untuk bergabung menjadi satu dalam rangka menandingi kerajaan Sunda-Galuh. Suasana panas tak terelakan lagi, dimana antara Kerajaan Kuningan dan Sunda-Galuh selalu berada dalam posisi sama-sama panas. Untungnya, kerajaan-kerajaan yang masih bersaudara itu segera mengakhiri perselisihannya dengan damai.
Danghiyang Guru Sempakwaja wafat pada usia 109 tahun tepatnya di tahun 729. Pada tahun wafatnya itu, keadaan di bagian timur dari barat Jawa sudah dalam masa perdamaian.
Setelah Danghiyang Guru Sempakwaja wafat, Kebataraan Galunggung di bawah kekuasaan Kerajaan Kuningan diperintah oleh Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, dan Batara Wastuhayu.

Masa kekuasaan dari 3 raja tersebut belum diketahui jalan sejararahnya, hingga muncul kembali pada sekitar tahun 1111, di masa akhir kekuasaan dari Resiguru Sudakarmawisesa.

RESIGURU  SUDAKARMAWISESA  (sampai tahun 1111)
            Beliau memiliki permaisuri yang bernama Dewi Citrawati (puteri ke-2 dari Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya / anak Sri Jayabhupati). Setelah menikah dengan Dewi Citrawati, beliau menyerahkan tahta Kebataraan Galunggung pada permaisurinya  itu, sedangkan beliau sendiri memilih jalan hidup untuk mendalami keagamaan.

DEWI CITRAWATI  (1111 - 1152)
Setelah Resiguru Sudakarmawisesa turun tahta dari Kebataraan Galunggung, kedudukannya digantikan oleh Dewi Citrawati yang bergelar Batari Hyang Janapati yang berfungsi sebagai raja daerah / kerajaan bawahan Sunda.
Sebelum Dewi Citrawati menikah dengan Resiguru Sudakarmawisesa, beliau sangat menginginkan untuk menjadi pendamping dari Prabu Langlangbumi (raja Sunda ke-22). Namun hasratnya itu tidak kesampaian, karena sang raja Sunda tersebut telah menikah dengan kakak kandungnya Dewi Citrawati.
Karena itulah, setelah Dewi Citrawati berkuasa di Galunggung, beliau sangat membenci pada kekuasaan Prabu Langlangbumi di Kerajaan Sunda.
Wilayah pedalaman yaitu desa antara Galuh, Sunda, dan Galunggung saat itu sering terjadi perampokan. Daerah rawan tersebut dijadikan konflik antara Galunggung dan Sunda semakin memanas. Dewi Citrawati mungkin menganggap, Prabu Langlangbumi, sebagai raja Sunda yang berkuasa atas 3 kerajaan (Galuh-Galunggung-Sunda) tidak mampu mengatasi gangguan perampok tersebut.
Peristiwa yang semakin memanas itu, membuat Dewi Citrawati selalu cemas dalam menjalankan pemerintahannya. Beliau takut apabila terjadi serangan dari Kerajaan Sunda, karena biar bagaimana pun, Kebataraan Galunggung masih teralu lemah untuk menghadapi Kerajaan Sunda. Meskipun demikian, Dewi Citrawati tetap merasakan dendam kepada Prabu Langlangbumi yang telah mengacuhkan cintanya.
Untuk mencegah adanya serangan dari Kerajaan Sunda, Dewi Citrawati membentuk angkatan perang, membangun parit pertahanan yang kuat.  Agar lebih menguatkan stabilitas pertahanan kota, maka “bentuk pemerintahan” Galunggung mengalami perubahan bentuk dari Kebataraan menjadi Kerajaan. Pusat Kerajaan Galunggung dijadikan sebagai ibukota Kerajaan Galuh. Dengan demikian, saat itu kerajaan Galuh dan Kerajaan Galunggung bersatu untuk mengimbangi kekuasaan dari Kerajaan Sunda.
Pada tanggal  21  Agustus  1111,  tepat setelah membangun ibukota baru, Dewi Citrawati membuat sebuah prasasti di lereng Gunung Galunggung, tepatnya di bukit Geger Hanjuang / kabuyutan Linggawangi (sekarang Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya). Prasasti tersebut kemudian disebut sebagai prasasti Geger Hanjuang dan menjadi koleksi Museum Pusat Jakarta. Pada prasasti tersebut, Dewi Citrawati / Batari Hiyang Janapati menuliskan :

tra ba i gune apuy na-
sta gomati sakakala rumata-
k disusu(k) ku batari hyang pun
“Pada hari ke-13 bulan Badra tahun 1033 Saka, Rumatak disusuk oleh Batari Hyang”

Dewi Citrawati membuat sebuah ajaran yang dikenal sebagai Sang Hyang Siksakanda ng Karesian. Ajarannya ini masih dijadikan ajaran resmi pada jaman Kerajaan Pajajaran (penerus Kerajaan Sunda) yang ber ibukota di Pakuan.
Prabu Langlangbumi yang sebenarnya tidak berniat untuk menyerang Galunggung, akhirnya mengajukan penawaran damai. Melalui perundingan damai di tahun 1152, dicapai kesepakatan yang menyebutkan bahwa wilayah barat Jawa kembali dipecah menjadi 2 bagian, yaitu Kerajaan Sunda di sebelah barat dan Kerajaan Galuh disebelah timur beribukota pusat kota Galunggung, dengan dipimpin oleh Dewi Citrawati. Dengan demikian, Dewi Citrawati memimpin 2 kerajaan yaitu Galuh dan Galunggung.
Pada tahun 1152, untuk mengurus pemerintahan sehari-hari di Kerajaan Galunggung, Dewi Citrawati menobatkan puteranya yang bernama Batara Danghiyang Guru Darmawiyasa sebagai pemegang kekuasaan Galunggung.

BATARA DANGHIYANG GURU DARMAWIYASA (1152 – 1157)
            Beliau menjadi raja daerah Galunggung dibawah kekuasaan Kerajaan Galuh yang dipimpin oleh ibunya.
            Batara Danghiyang Guru Darmawiyasa mempunyai putera yang bernama Prabu Darmakusuma dan Adimurti, putera sulungnya kemudian menjadi penerus kerajaan Sunda setelah menikah dengan Ratna Wisesa (puteri Prabu Menakluhur / raja Sunda ke-23).
           
Di tahun 1157, Prabu Darmasiksa dinobatkan sebagai raja Sunda, maka kekuasaan Galuh kembali berada di bawah kekuasaan Sunda, dengan demikian otomatis Galunggung pun menjadi bawahan Sunda.
Raja-raja selanjutnya Kerajaan Galunggung belum ditemukan datanya, tetapi sekitar abad ke 15, sejarah kembali mencatat raja-raja yang berkuasa disini.

SRI GADING ANTEG
Sri Gading Anteg, diperkirakan masa kekuasaannya  sejaman dengan Prabu Jayadewata (Prabu Siliwangi). Diperkirakan juga, Kerajaan Galunggung saat itu berada dalam kekuasaan Pajajaran.
Sejarah penting yang tercatat pada masa pemerintahannya ini adalah perpindahan ibukota kerajaan dari Rumatak ke Dayeuh Tengah atau disebut juga Sukakerta (sekarang termasuk Kecamatan Salopa, Tasikmalaya).

DALEM SUKAKERTA
Sebagai penerus tahta dari Sri Gading Anteg, Dalem Sukakerta diperkirakan sejaman dengan Prabu Surawisesa (Raja Pajajaran yang menggantikan Prabu Siliwangi). Seperti telah dibahas sebelumnya, bahwa pada masa pemerintahan Prabu Surawisesa kedudukan Pajajaran sudah mulai terdesak oleh gerakan kerajaan Islam yang dipelopori oleh Cirebon dan Demak. Ketika Pajajaran  mulai lemah, daerah-daerah kekuasaannya terutama yang terletak di bagian timur berusaha melepaskan diri, termasuk Kerajaan Galunggung.
Saat itu, agama yang dianut oleh penduduk Galunggung adalah agama Islam dikarenakan peranan daripada Sunan Gunung Jati (sultan Cirebon) yang sangat aktif menyiarkan agama Islam ke seluruh Tatar Pasundan.

DALEM SENTAWOAN / PRABU  RAJADIPUNTANG
Dalem Sentawoan sudah menjadi penguasa Kerajaan Galunggung yang merdeka (lepas dari Pajajaran). Lepasnya kerajaan Galunggung dari tangan Kerajaan Pajajaran, membuat Prabu Surawisesa mengerahkan pasukannya untuk merebut kembali Galunggung pada tahun 1520-an. Menghadapi serangan itu, Prabu Rajadipuntang sebagai raja Galunggung kemudian menyingkir ke arah daerah Linggawangi. Sejak peristiwa itu, tamatlah riwayat kerajaan Galunggung.
Sementara itu, untuk menyelamatkan harta pusaka kerajaan, Prabu Rajadipuntang mengamanatkan harta pusaka tersebut pada anak bungsunya yang bernama Sembah Dalem Singaparana. Untuk melaksanakan tugas itu, Singaparana dibekali ilmu oleh ayahnya yaitu ilmu yang membuat dirinya bisa nyumput buni dina caang (bersembunyi di keramaian).
Sembah Dalem Singaparna kemudian membuka pemukiman baru diantara dua buah bukit dan di sisi Sungai Ciwulan (sekarang masuk kedalam Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Tasikmalaya). Saat itu wilayah pemukiman tersebut masih berupa hutan yang diyakini dihuni oleh roh-roh jahat (dedemit), kemudian melalui ilmu yang dimilikinya, Sembah Dalem Singaparna memindahkan dedemit itu ke hutan yang berada di seberang sungai Ciwulan (bagian timur pemukiman yang didirikannya, kemudian hutan tersebut disebut Leuweung Larangan). Leuweung Larangan merupakan tempat yang sama-sekali dilarang untuk diinjak oleh siapa pun (khususnya bagi penduduk disitu). Jangankan memasukinya, menginjakkan sebelah kakinya di hutan tersebut merupakan pantangan yang sangat keras.
Pemukiman yang didirikan itu kemudian dikenal dengan sebutan Kampung Naga, yang penduduknya merupakan keturunan dari Sembah Dalem Singaparna. Penduduk kampung Naga sampai saat ini merupakan masyarakat Muslim yang secara ketat masih menjadikan adat Sunda sebagai rujukan kehidupannya. Sebagai masyarakat yang berpola agraris, hitungan waktu mereka merujuk pada hitungan sistem hijriah, namun disisipkan dengan kepercayaan lokal mengenai kekuatan kala (makhluk halus yang menempati horison langit) yang dipercaya selalu berpindah-pindah dan posisinya dalam menentukan curah hujan.
Mereka membuat delapan kategori tahun, dengan kategori yang dikenal dalam penanggalan Islam sufi yaitu: tahun alif, tahun he, jim awal, ze, dal, be, wau, dan jim ahir; sekaligus juga memercayai adanya Dewa-dewa Diktekapata, Somamarocita, Angarakata, Budhaintuna, Laspatimariha, Sukramangkara, dan Tumpekmindo. Nama-nama dewa itu bukan untuk disembah, namun diabstraksikan karakternya dan dijadikan pedoman dalam cara bercocok tanam.
Selain itu, di wilayah barat pemukiman, terdapat Leuweung Keramat yang merupakan tempat nenek moyang masyarakat Kampung Naga dimakamkan. Posisi perkampungan tidak secara langsung berhubungan dengan kedua hutan tersebut. Leuweung Larangan dibatasi oleh sebuah Sungai Ciwulan, sedangkan Leuweung Keramat dibatasi oleh masjid, ruang pertemuan dan Bumi Ageung (tempat penyimpanan harta pusaka).

PERKEMBANGAN  SELANJUTNYA  WILAYAH  GALUNGGUNG
Di masa ini,  wilayah Priangan  sedang mengalami masa pergolakan yang berlangsung lebih kurang 10 tahun. Munculnya pergolakan ini sebagai akibat persaingan tiga kekuatan besar di Pulau Jawa pada awal abad XVII, yaitu Mataram, Banten, dan VOC yang berkedudukan di Batavia. Dampak dari pergolakan ini adalah terambilnya wilayah Galunggung oleh Kekuasaan Mataram.
Wirawangsa sebagai penguasa daerah wilayah Galunggung akhirnya mau tak mau untuk ikut berperan serta membantu Mataram dalam membasmi pemberontakan Dipati Ukur (bupati Priangan yang membangkang kepada kekuasaan Mataram). Setelah Wirawangsa berhasil membasmi pergerakan Dipati Ukur, akhirnya dia diangkat menjadi Bupati daerah Sukapura yang pertama pada tanggal 20 April 1541 oleh Sultan Agung Mataram sebagai hadiah atas jasa-jasanya. Akhirnya ibukota negeri yang awalnya di Sukakerta, kemudian dipindah ke Leuwiloa Sukaraja dan nama wilayahnya disebut Sukapura.
Posted by Unknown
No comments | 2:50 PM
Kerajaan ini merupakan kerajaan yang cukup tua usianya. Namun tidak diketahui secara pasti tahun pada saat didirikannya. Yang pasti, pada awalnya kerajaan ini merupakan kerajaan bawahan dari Kerajaan Galunggung.

Beikut ini merupakan urutan raja-raja Kuningan yang tercatat sejarah :

PANDAWA  /  WIRAGATI  (671 - 723)
            Beliau memiliki seorang puteri yang bernama Sangkari. Puterinya ini kemudian  menikah dengan Demunawan (putera kedua dari Batara Danghiyang Guru Sempakwaja / raja Kerajaan Galunggung pertama).
            Sempakwaja, sebagai penguasa Galunggung yang berarti juga memiliki wewenang untuk mengatur pergantian kekuasaan di Kerajaan Kuningan, meminta Pandawa untuk menjadi rajaguru di daerah Layuwatang dan menyerahkan Kerajaan Kuningan kepada Demunawan.

DEMUNAWAN  /  SEUWEUKARMA  (723 - 774)
Pada masa kekuasannya, Demunawan mendirikan ibukota baru untuk Kerajaan Kuningan, tepatnya di Arile  atau Saung Galah. Dengan demikian pada periode ini, Kerajaan Kuningan dikenal juga dengan sebutan Kerajaan Saung Galah. Lokasi keraton Saung Galah berada di lereng Gunung Ciremai bagian selatan (sekarang Kampung Salia, Desa Ciherang, Kecamatan Kadugede, Kabupaten Kuningan). Dengan didirikan ibukota baru, Sempakwaja (raja Galunggung), menyerahkan wilayah Galunggung beserta kerajaan-kerajaan bawahannya kepada Demunawan dengan maksud untuk menandingi Kerajaan Galuh.
Demunawan juga dikenal dengan beberapa sebutan, yaitu Seuweukarma, dan Rahiyangtang Kuku / Sang Kuku.
Sebagai seorang Resiguru, Demunawan memiliki daerah pengaruh yang luas dan dapat dijadikan andalan kekuatan politik. Daerah kekuasaannya meliputi Layuwatang, Kajaron, Kalanggara, Pagerwesi, Rahasea, Kahauripan, Sumajajah, Pasugihan, Padurungan, Darongdong, Pagergunung, Muladarma, Batutihang, bahkan melakukan ekspansi dengan menyeberang sampai negeri Melayu.
Demunawan menganut ajaran "Dangiang Kuning" dan berpegang kepada "Sanghiyang Dharma" (ajaran Kitab Suci), serta "Sanghiyang Riksa" (sepuluh pedoman hidup).
Pada saat itu masyarakat Kuningan merasa hidup aman dan tenteram di bawah pimpinan Demunawan yang cukup lama berkuasa. Secara tidak langsung, kekuasaan besar Demunawan di Kuningan telah menandingi kebesaran Kerajaan Galuh (atas pengaruh kerajaan Sunda) yang saat itu dipegang oleh Premana Dikusuma.
Perang saudara (gotrayuddha) antara sesama keturunan Wretikandayun terjadi kembali  pada tahun 739. Perang yang menelan banyak korban jiwa terjadi saat perebutan tahta Galuh antara Sanjaya dengan Manarah. Dalam keadaan yang mengenaskan, Demunawan turun dari Saung Galah untuk meredakan peperangan. Dengan wibawanya yang besar serta dihormati sebagai seorang sesepuh, Demunawan berhasil menghentikan pertempuran  dengan jalan mengajak kedua belah pihak yang bertikai untuk berunding di keraton Galuh pada tahun 739.
      Pada tahun 774, Resiguru Demunawan yang terkenal sebagai seorang yang sangat bijaksana akhirnya wafat pada usia 128 tahun.
             Perkembangan Kerajaan Kuningan selanjutnya belum diketahui, tetapi yang pasti (walaupun belum diketahui alasannya) wilayah Kuningan atau tepatnya ibukota Saung Galah mulai dijadikan pusat pemerintahan oleh Kerajaan Sunda pada saat Prabu Sanghiyang Ageung (Raja Sunda ke-19) berkuasa pada tahun 1019. 

Mulai periode tersebut, hubungan antara Kerajaan Sunda dengan Kuningan memang sangat erat, Raja yang memerintah di Sunda sebelumnya pernah menjabat sebagai Raja Kuningan.
Pada tahun 1163 riwayat Kerajaan Kuningan secara otonom, muncul kembali dalam data sejarah.

RAKEYAN DARMARIKSA (1163 -1175)
Beliau merupakan anak Raja Sunda ke-24 (Rakeyan Darmakusuma). Sedangkan kedudukannya sebagai raja di Kuningan dikarenakan beliau menikah dengan putri Raja Kuningan sebelumnya (tidak diketahui namanya). Dari pernikahannya itu, Rakeyan Darmasiksa dikaruniai seorang putra yang bernama Rajapurana, yang lahir pada tahun 1168.
Kerajaan Kuningan pada waktu Rakeyan Darmariksa berkuasa, sudah merupakan daerah otonom yang termasuk kedalam wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda. Kerajaan Kuningan merupakan kerajaan yang menganut agama Hindu.
Kekuasaan Rakeyan Darmariksa sebagai Raja Kuningan berakhir, dikarenakan Sang Raja diangkat menjadi Raja Sunda ke-25 yang bertahta di Pakuan menggantikan ayahnya yang wafat.

PRABU RAGASUCI (1175 –1297)
Prabu Ragasuci merupakan anak dari Rakeyan Darmasiksa dari istrinya yang ke-2. ketika ayahnya menjadi Raja Sunda di Pakuan, Prabu Ragasuci ditugaskan untuk tetap berada di Saung Galah sambil menjaga kabuyutan.
Ketika ayahnya wafat, beliau diangkat menjadi raja Sunda tetapi tetap memilih Saung Galah sebagai pusat pemerintahan.

Kedekatan antara Kerajaan Sunda dengan Kuningan kemungkinan besar pada perkembangan selanjutnya menjadikan Kuningan dan Sunda melebur menjadi satu nama yaitu Kerajaan Sunda.
Baru pada sekitar abad ke-15, muncul lagi kisah yang menceritakan perkembangan wilayah ini secara otonom.

RATU  SELAWATI  (sekitar abad ke-15)
            Ratu Selawati adalah cucu dari Prabu Jayadewata (raja Pajajaran yang sangat termahsyur). Pada masa kekuasaan Ratu Selawati, penduduk wilayah Kuningan sudah banyak yang masuk agama Islam. Keadaan ini merupakan pengaruh dari daerah tetangganya yaitu Cirebon. Selain itu, di wilayah Sidapurna (wilayah bawahan Kuningan) telah berdiri pondok pesantren Quro yang didirikan oleh Syekh Bayanullah.
            Perkembangan Islam semakin pesat setelah Ratu Selawati di Islam-kan oleh Raden Walangsungsang. Setelah menjadi muslimah, beliau kemudian menikah dengan Maulana Arifin (putera dari Syekh Bayanullah).

Rantai sejarah kembali terputus hingga kembali diceritakan mengenai terbentuknya sebuah daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kota Kuningan.

MASA KEADIPATIAN
Syarif Hidayatullah (calon sultan Cirebon pertama) pernah berangkat ke daerah Luragung ( wilayah Cirebon Selatan) untuk menyebarkan agama Islam disana. Pada waktu berada disana datanglah Ratu Ong Tien dari Negeri Cina ke Luragung (diperkirakan, kedatangan ratu dari Cina bersama rombongannya membawa barang-barang khas Cina termasuk dawai yang kemudian menjadi cikal bakal alat musik kecapi di tanah Sunda). Ratu Ong Tien adalah istri dari Syarif Hidayatullah.  Kemudian ketika masih berada di Luragung itulah Ratu Ong Tien melahirkan seorang putera yang tampan dan gagah yang diberi nama Suranggajaya / Pangeran Kuningan.
Syarif Hidayatullah menitipkan Pangeran Kuningan yang masih kecil kepada Ki Gedeng Luragung agar disusui oleh istri Ki Gedeng Luragung, karena waktu itu Ki Gedeng Luragung mempunyai putera yang sebaya dengan Pangeran Kuningan namanya Amung Gegetuning Ati.
Syarif Hidayatullah pada saat itu berkesempatan pula mengganti nama Amung Gegetuning Ati menjadi Pangeran Arya Kamuning serta beliau memberikan amanat bahwa kelak di mana Pangeran Kuningan sudah dewasa akan dinobatkan menjadi Adipati Kuningan.
Setelah Pangeran Kuningan dan Pangeran Arya Kamuning dewasa, Pangeran Kuningan menjabat sebagai Raja Kuningan sementara Pangeran Arya Kamuning sebagai Raja Luragung. Kedua daerah tersebut pada awalnya berada langsung di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran, namun seiring dengan dibentuknya Kerajaan Cirebon Larang di wilayah timur yang dipimpin oleh Prabu Walangsungsang, maka akhirnya kedua kerajaan tersebut diserahkan kepengurusannya kepada Kerajaan Cirebon Larang.
Tepatnya pada tanggal 1 September 1498 (akhirnya ditetapkan sebagai hari jadi Kota Kuningan), Kerajaan Kuningan dan Luragung disatukan dengan sistem pemerintahan yang bukan lagi kerajaan tetapi Keadipatian, dengan Pangeran Kuningan ditunjuk sebagai Kepala Pemerintahan  Kuningan dengan gelar Pangeran Arya Adipati Kuningan dan dibantu oleh Arya Kamuning.
Pada perkembangan selanjutnya, setelah Kerajaan Cirebon Larang berubah sistem menjadi Kesultanan, maka Kuningan pun otomatis menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Cirebon.
Kuningan saat itu memiliki panglima perang yang tangguh bernama Dipati Ewangga / Dipati Cangkuang yang memiliki kuda sembrani gesit bernama Si Windu Aji (kuda ini diabadikan dalam lambang pemerintahan Indramayu sekarang). Ketangguhan Dipati Ewangga membuat dia selalu dipercaya oleh Kesultanan Cirebon untuk memimpin pasukan dalam menyerang musuh-musuhnya.
Tidak diketahui akhir masa pemerintahan Pangeran Kuningan ini, yang jelas masyarakat Kuningan mempercayai bahwa makam dari tokoh ini berada pada salah satu kompleks pemakaman di Kota Kuningan.
Posted by Unknown
No comments | 2:46 PM
Wilayah ini sebenarnya bukan berbentuk kerajaan, namun hanya sebagai desa yang dipimpin oleh seorang Adipati. Sejarah daerah yang kemudian menjadi cikal bakal Kabupaten Indramayu ini , saya uraikan secara singkat di bawah ini.

           Tokoh yang sangat terkenal di wilayah ini adalah Aria Wiralodra, putra seorang Adipati / Tumenggung dari Bagelen yang bernama Dalem Gagak Singalodra. Saat itu wilayah Bagelen (sekarang Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah) merupakan bawahan Demak yang tentunya beragama Islam.

Sejak usia 7 tahun, Aria Wiralodra sudah mempelajari ilmu Agama Islam. Kemudian untuk menambah ilmu lainnya, Aria Wiralodra masuk Padepokan Gunung Sumbing / Padepokan Ki Betara untuk belajar olah kanuragan, tirakat, dan bersemedi, layaknya untuk menjadi seorang ksatria yang adiluhung. 

Sekitar tahun 1500, Aria Wiralodra (kira-kira berusia 17 tahun) lulus dari padepokan tersebut, beliau diberi senjata pusaka berupa sebuah cakra yang bernama Cakra Udaksana Kiai Tambu dan dua buah keris yang bernama Gagak Handaka dan Gagak Pernala. Senjata tersebut buatan Empu Warih (anak Empu Bondan) yang dibuat pada abad ke-12 (sekarang disimpan di Kabupaten Indramayu).

          Suatu saat, setelah berbekal ilmu yang tinggi, Aria Wiralodra diberi tugas oleh Sultan Demak (Raden Fatah) untuk menjalankan misi rahasia yaitu menggerogoti kekuatan Pajajaran secara sembunyi-sembunyi, yaitu dengan cara mendirikan pemukiman di sekitar wilayah Galuh sebagai tambahan kekuatan Cirebon dan Demak di barat Jawa. Kesultanan Demak menunjuk sungai Cimanuk sebagai tempat pemukiman tersebut, karena wilayah itu dianggap strategis.
Setelah menghabiskan beberapa waktu, Aria Wiralodra yang didampingi oleh Ki Tinggil akhirnya tiba di tepian sungai Cimanuk melalui bimbingan Ki Buyut Sidum / Ki Purwakali atau terkenal juga dengan sebutan Kidang Pananjung (tokoh punakawan sakti yang mengabdi pada Prabu Siliwangi).

Pemukiman baru didirikan di tanah datar yang luas di sebelah barat sungai Cimanuk (sekarang termasuk Desa Sindang) dan tidak lama kemudian wilayah tersebut menjadi daerah pemukiman yang ramai dan tersusun rapi.

Untuk melegitimasi daerah tersebut, pada tahun 1510, Aria Wiralodra meminta izin pada Raja Galuh (saat itu wilayah Cimanuk merupakan wilayah Pajajaran yang secara administratif diserahkan pengurusannya kepada kerajaan bawahannya yaitu Galuh). Raja Galuh yang memerintah saat itu adalah Prabu Jayaningrat.

Raja Galuh menigizinkan wilayah Cimanuk menjadi kekuasaan Aria Wiralodra. Selain diangkat sebagai Adipati, Aria Wiralodra kemudian diberi gelar yaitu Aria Indrawijaya. Sebagai perwakilan Galuh di Cimanuk, Prabu Jayaningrat mengutus Aria Danujaya untuk menjabat sebagai Patih di Cimanuk.

Agar rencana rahasianya berjalan mulus, maka beberapa bulan setelah pelantikan, Aria Wiralodra memindah tugaskan Aria Danujaya dari Patih menjadi Juru Labuhan (syahbandar). Aria Danujaya tidak mempermasalahkan pemindahannya ini, dikarenakan jabatan Juru Labuhan lebih “basah” dibandingkan dengan penghasilan Patih, walaupun secara tugas posisi Patih adalah pemegang kunci pemerintahan.

Mulai saat itu, Cimanuk menjadi pemukiman yang seluruh penduduknya beragama Islam kecuali Aria Danujaya. Kemudian hari di Dusun tersebut banyak didirikan madrasah-madrasah sebagat pusat penyebaran agama Islam.

Beberapa waktu kemudian, Cimanuk kedatangan seorang tamu wanita misterius yang cantik jelita. Wanita itu bernama Nyai Endang Darma yang datang diiringi oleh pengasuhnya yang bernama Ki Tana dan Nini Tani.

Tanpa diketahui oleh warga Cimanuk, sebenarnya Nyai Endang Darma adalah lahir di Pasai (Aceh) dan memiliki nama asli yaitu Nyi Mas Ratna Gandasari (cucu dari Sunan Maulana Malik Ibrahim). Sebelum tiba dari Pasai ke Cimanuk, Nyai Endang Darma berguru pada Syarif Hidayatullah untuk belajar ilmu tenaga dalam yang berjumlah 13 jurus dan disebut Jurus Sunan. Kemudian berguru pada Walangsungsang (Putra Prabu Siliwangi yang menjadi raja Kerajaan Cirebon Larang) untuk menguasai jurus warisan Pajajaran yaitu Jurus “Nyi Pohaci Berpayung Emas”. Selain itu sebelumnya juga Nyai Endang Darma telah menguasai ilmu silat dan kanuragan sejak masih berada di Pasai. Sedangkan Ki Tana dan Nini Tani adalah dua orang utusan Walangsungsang yang bertugas untuk menjaga Nyai Endang Darma.

Nyai Endang Darma akhirnya bermukim di Cimanuk dan mengajarkan ilmu bela diri kepada penduduk setempat tanpa imbalan. Kehebatan ilmu bela diri yang dimiliki Nyai Endang Darma sebenarnya hanya ditujukan untuk para wali, raja, dan pangeran. Atas dasar itulah, Sultan Palembang yang bernama Pangeran Guru Aria Dila (ayah dari Raden Fatah / Sultan Demak) marah dan bermaksud menangkap Nyai Endang Darma. Namun dengan kehebatannya, melalui perkelahian yang seru akhirnya Sultan Palembang dan beberapa pengawalnya tewas. 

Atas kejadian yang mengakibatkan tewasnya Sultan Palembang tersebut, Adipati Bagelen merasa malu kepada Kesultanan Demak khususnya Raden Fatah. Akhirnya pada tahun 1525, Aria Wiralodra dan kedua adiknya (Raden Tanujaya dan Raden Tanujiwa) yang didatangkan langsung dari Bagelen diperintahkan untuk menangkap Nyai Endang Darma dan akan diserahkan kepada Demak.

Tetapi lagi-lagi kehebatan ilmu dari Nyai Endang Darma tidak mampu ditandingi oleh dua adik dari Aria Wiralodra. Akhirnya, Aria Wiralodra harus turun tangan untuk menguji ilmu dari Nyai Endang Darma.

Setelah beradu ilmu bela diri yang cukup melelahkan, dari pusat Cimanuk hingga ke Bukit Marongge, akhirnya Aria Wiralodra berhasil mengalahkan Nyai Endang Darma. Namun sebelum bertempur sebenarnya kedua ksatria tersebut sudah saling menaruh hati, maka tak heran apabila akhirnya setelah pertempuran, Aria Wiralodra melamar Nyai Endang Darma di bukit Marongge dan mengurungkan diri untuk menyerahkannya kepada Demak. 

Setelah lamaran Aria Wiralodra diterima, Nyai Endang Darma membuka identitas rahasianya kepada calon suaminya itu. Nyai Endang Darma juga menceritakan bahwa sebenarnya beliau sedang mengemban tugas dari Sultan Cirebon yaitu Syarif Hidayatullah untuk mencuri benda pusaka Kerajaan Galuh yang bernama Sarpa Kandaga (berupa patung ular yang terbuat dari emas). Maksud dari pencurian ini tidak lain adalah untuk melemahkan kepercayaan serta semangat para pembesar dan prajurit Galuh, karena benda pusaka ini sangat diagungkan oleh Kerajaan Galuh. Dengan hilangnya pusaka ini maka Galuh akan mudah ditaklukan oleh Kesultanan Cirebon. Untuk melancarkan misi yang berbahaya ini, Nyai Endang Darma meminta bantuan Aria Wiralodra yang sudah sejak dulu dikenalnya sebagai orang yang cakap bertempur.

Ada kegalauan di hati Aria Wiralodra, di satu sisi dia ingin menolong calon istrinya tersebut, namun di sisi lain dia pun belum tuntas menyelesaikan misinya. Aria Wiralodra berfikir bahwa sebelum Demak dan Cirebon menyerang Pajajaran melalui Galuh sesuai dengan rencana awalnya, maka dia harus “berpura-pura” tunduk pada penguasa Galuh. Maka hal yang mustahil apabila sekarang Aria Wiralodra harus ikut dalam tugas pencurian benda pusaka ke Galuh, karena bagaimanapun saat ini Galuh masih menjadi “atasannya”. Kegalauan yang lain yaitu mengenai status Nyai Endang Darma yang saat itu dianggap “buronan” oleh ayahnya di Bagelen, namun cinta Aria Wiralodra begitu besar sehingga telah membelokan perintah dari ayahnya itu.

Akhirnya sambil memikirkan jalan keluar dari 2 masalah tersebut, Aria Wiralodra mengajak Nyai Endang Darma untuk meresmikan terlebih dahulu pernikahannya di Pegaden. Setelah pulang dari acara pernikahan yang dilangsungkan tanpa pesta, Aria Wiralodra dan Nyi Endang Darma kembali ke Bukit Marongge, disanalah tercetus ide bahwa untuk masalah pencurian benda pusaka, Nyai Endang Darma diusulkan untuk mencari seorang ksatria tangguh dari wilayah Cirebon yang sebelumnya harus disaring melalui sayembara. Sedangkan untuk masalah status istrinya yang menjadi “buronan” pihak ayahnya, Aria Wiralodra mengarang cerita bahwa Nyai Endang Darma dikabarkan hilang di Sungai Cimanuk saat pertempuran berlangsung.

Dari Bukit Marongge, kemudian Nyai Endang Darma seorang diri menuju desa Panguragan (wilayah Cirebon) disusul oleh Ki Tana dan Nini Tani yang sebelumnya telah diberitahu oleh Aria Wiralodra untuk menyusulnya. Di desa itulah Nyai Endang Darma mengadakan sayembara dengan dibantu oleh seorang wiku setempat yang bernama Ki Selapandan. Untuk menarik para kontestan, sayembara tersebut diadakan dengan dalih untuk memperebutkan Nyai Endang Darma, dengan aturan main yaitu barangsiapa yang berhasil mengalahkan Nyai Endang Darma melalui pertarungan, maka sang pemenang berhak menikah dengan Nyai Endang Darma.

Banyak kontestan yang turut serta, namun hanya satu yang agak sanggup menandingi kehebatan ilmu Nyai Endang Darma. Orang tersebut adalah Pangeran Remagelung atau Jaka Soka (pendatang dari Negeri Siam). Sebenarnya Nyai Endang Darma dan Jaka Soka adalah sama-sama murid dari Syarif Hidayatullah, namun Jaka Soka baru belajar di Cirebon setelah Nyai Endang Darma lulus atau dengan kata lain Jaka Soka adalah “adik kelas” dari Nyai Endang Darma.

Setelah Jaka Soka dianggap tepat untuk dijadikan “partner” dalam misi pencurian, maka Nyai Endang Darma pura-pura kalah dalam sayembara. Sang wiku Ki Selapandan akhirnya memutuskan Jaka Soka sebagai pemenang, dan walaupun “kalah” Nyai Endang Darma telah menarik simpati penduduk sehingga diberi gelar Nyi Mas Ratu Panguragan. Tiba-tiba di barisan penonton, Ki Tana dan Nini Tani sengaja berbuat keonaran untuk mengalihkan perhatian sehingga Nyai Endang Darma berhasil melarikan diri menuju Keraton Pakungwati untuk menghadap Sang Sultan, Syarif Hidayatullah. Jaka Soka yang mengetahui Nyai Endang Darma kabur kemudian mengejarnya hingga akhirnya mereka bertemu dengan Syarif Hidayatullah.

Walaupun asalnya Jaka Soka menagih janji dari Nyai Endang Darma untuk bersedia dinikahinya, namun setelah mendengar penjelasan dari Syarif Hidayatullah, akhirnya Jaka Soka mengerti dan memohon maaf telah berbuat lancang karena dia tidak tahu bahwa Nyai Endang Darma adalah kakak seperguruan yang menurut peraturan disana dilarang untuk dinikahi.

Setelah dari Cirebon, Nyai Endang Darma, Ki Tana, Nini Tani, dan Jaka Soka kembali dulu ke Cimanuk. Saat itu Aria Wiralodra telah merubah nama Cimanuk menjadi Darma Ayu sebagai tanda cinta kepada istrinya itu, nama itu diambil dari kata Darma Ayu (artinya Darma yang cantik). Perubahan nama ini, dilakukan oleh Raden Aria Wiralodra pada Jumat Kliwon 1 Muharram 934 Hijriah atau 1 Sura 1449, yang bertepatan dengan tanggal 7 Oktober 1527.  Diperkirakan nama Darma Ayu tersebut, menjadi cikal bakal nama Indramayu yang sekarang dikenal oleh kita dan tanggal peristiwa itu. kemudian secara resmi dijadikan sebagai hari jadi Kabupaten Indramayu.

Setelah tahun 1527, Daerah Darma Ayu terbagi dalam tiga propinsi meliputi:
1. Propinsi Singapura, meliputi sebelah timur sampai Sungai Kamal.
2. Propinsi Rajagaluh, meliputi daerah tengah sampai Jati tujuh.
3. Propinsi Sumedang, meliputi bagian barat sampai Kandanghaur.

Misi mencuri benda pusaka Kerajaan Galuh akhirnya dimulai, Nyai Endang Darma diiringi oleh Jaka Soka yang memimpin sekitar 24 pasukan dari Darma Ayu menuju ke pusat Kerajaan Galuh. Setibanya disana Nyai Endang Darma memperkenalkan diri sebagai istri dari Aria Wiralodra dan disambut dengan hangat oleh Sang Raja Prabu Jayaningrat. Kemudian Nyai Endang Darma memberi keterangan palsu bahwa dia diutus oleh Aria Wiralodra untuk mengabarkan bahwa saat ini di Kesultanan Cirebon telah siap siaga pasukan dari Demak untuk membalas kekalahan Kuningan (Kerajaan bawahan Kesultanan Cirebon) tempo hari / pada tahun 1528. Aria Wiralodra tidak dapat datang ke Galuh dikarenakan takut ketahuan oleh pihak Cirebon, tetapi saat ini utusan dari Aria Wiralodra telah menjadi mata-mata di seluruh pelosok Cirebon untuk mengawasi keadaan. Apabila pasukan Demak telah bergerak untuk menyerang Galuh, maka pasukan dari Aria Wiralodra akan siap untuk menyerang dari belakang.

Mendengar laporan penting tersebut, Prabu Jayaningrat  sangat senang dan bangga atas kesetiaan serta pengabdian Aria Wiralodra terhadap Kerajaan Galuh. Semakin ramah pula lah para pembesar Galuh terhadap rombongan kecil pimpinan Nyai Endang Darma ini, saat itu Prabu Jayaningrat menyiapkan jamuan malam lengkap dengan makanan dan minuman yang lezat. 

Pada malam hari seusai jamuan malam, Prabu Jayaningrat dan pembesar Galuh rupanya kelelahan dan minuman yang dihidangkan telah membuat mereka mabuk, akhirnya Nyai Endang Darma yang tidak meminum arak tanpa kesulitan menyelinap ke tempat penyimpanan benda pusaka Sarpa Kandaga dan berhasil mencurinya. Sebenarnya para penjaga istana sempat menghadang mereka, namun berkat kegesitan dan keterampilan berbela diri, pasukan kecil dari Darma Ayu tersebut dengan cepat melarikan diri ke Cirebon untuk menyerahkan Sarpa Kandaga pada “pemesannya” yaitu Syarif Hidayatullah. Sebelum melarikan diri Nyi Endang Darma menculik seorang prajurit Galuh, kemudian pada tawanan tersebut Nyi Endang Darma mengatakan bahwa sebenarnya dia bernama Gandasari murid Syarif Hidayatullah bukan merupakan istri dari Aria Wiralodra, lalu tawanan itu dilepaskan agar keterangan tersebut dilaporkan pada Prabu Jayaningrat. Sebuah siasat yang cerdik, karena dengan demikian, “nama baik” Aria Wiralodra di mata Kerajaan Galuh kembali pulih dan seakan-akan Aria Wiralodra tetap sebagai pengabdi setia untuk Galuh.

Dugaan mengenai hilangnya kepercayaan diri dari para prajurit Galuh seusai peristiwa hilangnya pusaka Sarpa Kandaga ternyata benar terbukti. Pasukan Cirebon yang dipimpin langsung oleh tokoh kharismatik yaitu Raden Walangsungsang serta dibantu oleh Dipati Ewangga (panglima perang dari Kuningan) berhasil menerobos benteng pertahanan Galuh di daerah lembah Bukit Girinata. Peran dari hilangnya Sarpa Kandaga mungkin saja benar, tetapi hal lain yang mengakibatkan kekalahan Galuh kali ini adalah karena Cirebon tidak sendiri, tetapi dibantu oleh Demak (lengkap dengan senjata api dan meriam) kemudian ditambah juga pasukan dari Kuningan, yang apabila dijumlah seluruhnya, terdiri dari sekitar 700 pasukan.

           Sebenarnya di medan pertempuran, tampak pula pasukan dari Darma Ayu yang dipimpin oleh Aria Wiralodra dan Nyai Endang Darma. Namun melihat anak-anak panah yang dilepaskan prajurit Galuh dibalas dengan dentuman meriam pasukan gabungan Cirebon membuat Aria Wiralodra miris hatinya, beliau tidak tega akan berlangsungnya pembantaian massal ini walaupun sebenarnya dia berada di pihak Cirebon.

Melihat kejadian tersebut, Aria Wiralodra kemudian menyamar sebagai petani tua lalu mengeluarkan ilmu peringan tubuh dan segera melesat untuk menghancurkan beberapa meriam Demak, setelah itu kemudian melesat ke atas bukit Girinata (tempat Prabu Jayaningrat memerintahkan pasukannya) untuk menyarankan agar pasukan Galuh lebih baik mundur.

Prabu Jayaningrat yang mengenal “petani tua” ini sebagai Aria Wiralodra kemudian mematuhi anjuran tersebut. Aria Wiralodra lalu menjejakan kakinya ke tanah sehingga terjadilah longsor yang membuat pasukan gabungan Cirebon yang berada di lereng bukit sempat terhalang dalam usaha pengejarannya. Sementara itu jembatan yang melintasi sungai menuju istana Galuh, sengaja dihancurkan agar pihak Cirebon tidak dapat memasuki istana (Istana Galuh tepat berada diantara 2 aliran sungai yang cukup deras).

Prabu Jayaningrat dan beberapa pembesar Galuh serta Aria Wiralodra masuk ke istana Galuh untuk menyelamatkan permaisuri dan barang-barang berharga kerajaan yang akan mengungsi ke Talaga (sama-sama kerajaan bawahan Pajajaran). Pasukan dari Aria Wiralodra juga turut membantu usaha pelarian ini yaitu dengan membantu menyeberangkan mereka melewati sungai yang deras.

Pasukan Dipati Ewangga kemudian tiba di seberang tembok istana dan melihat beberapa orang “Galuh” yang dengan mudahnya menyebrangi sungai tersebut sambil membawa barang-barang seperti peti yang besar. Dipati Ewangga mencoba masuk kompleks istana namun tidak sanggup karena air sungai terlalu deras.

Tidak lama kemudian Nyai Endang Darma dan beberapa pasukan sisanya tiba juga di seberang tembok istana. Dipati Ewangga kemudian meminta bantuan kepada Nyai Endang Darma untuk mengikatkan beberapa utas ujung tali di seberang sungai untuk pegangan dia dan pasukannya menyebrangi sungai. Dengan mudah Nyai Endang Darma dan pasukannya menuruti perintah itu. Dipati Ewangga memperhatikan cara Nyai Endang Darma dan pasukannya saat melewati sungai dan kini dia merasa yakin bahwa “orang Galuh” yang tadi menyebrang sungai adalah pihak Aria Wiralodra dan Nyai Endang Darma yang telah berhianat dengan membantu para pembesar Galuh melarikan diri, karena “teknik menyebrang sungainya” sama.

Saat itu Dipati Ewangga hanya menyindir Nyai Endang Darma bahwa telah ada kawan yang berkhianat, kemudian langsung masuk kompleks istana. Sementara Nyai Endang Darma hanya melihat melalui menara di gerbang istana, dan menatap dengan sedih terhadap pemandangan bahwa telah terjadi penjarahan harta penduduk Galuh oleh pihak Cirebon. 

Setelah selesai perang, Aria Wiralodra, istrinya, dan pasukannya kembali ke Darma Ayu dan mengadakan syukuran atas berhasilnya misi dari Nyai Endang Darma dalam mencuri benda pusaka Galuh. Melalui keberhasilannya ini Aria Wiralodra memberi gelar kepada istrnya yaitu Nyi Mas Ratna Gumilang, sedangkan dari para hadirin Nyai Endang Darma menerima gelar Ratu Saketi Hutama.

Pada saat syukuran berlangsung, Dipati Ewangga dan beberapa pasukannya tiba di seberang sungai Cimanuk dan mendirikan tenda disana. Maksud kedatangannya ke wilayah Darma Ayu adalah untuk membereskan Aria Wiralodra yang dianggap berkhianat. Dipati Ewangga kemudian mengutus utusannya kepada Aria Wiralodra dan diperintahkan untuk menghadap kepadanya di sebuah tenda. Ketegangan pun terjadi, walaupun Aria Wiralodra telah menjelaskan maksud dari “pengkhianatannya” yaitu untuk mencegah jatuhnya banyak korban jiwa, namun Dipati Ewangga tidak mau tahu, dan terjadilah perkelahian antara Aria Wiralodra dan Dipati Ewangga di dalam tenda.

Walaupun dalam pertarungan tersebut Dipati Ewangga kalah, namun dia tetap bersikukuh dengan memerintahkan pasukannya untuk tetap menyerang Darma Ayu di seberang sungai Cimanuk. Akan tetapi Aria Wiralodra telah mengeluarkan jimat “Oyong Mingmang” sehingga pasukan Kuningan dan Dipati Ewangga menjadi berputar-putar kebingungan, lalu berbalik kembali ke arah Cirebon. Aria Kamuning merasa dirinya telah sampai ke alun alun Darma Ayu tapi  sebenarnya dia berada di alun-alun Cirebon.

Atas kejadian itu, Aria Wiralodra menghadap pada Syarif Hidayatullah menceritakan tentang perilaku Dipati Ewangga. Kemudian Syarif Hidayatullah menegur Dipati Ewangga untuk lebih bersikap dewasa.

Aria Wiralodra dan Nyai Endang Darma wafat dalam usia lanjut, namun hingga saat ini belum ada yang mengetahui tahun di saat kepergiannya. Yang pasti mereka berdua dimakamkan di Pemakaman Dalem Setana Bojong, Indramayu.
kembali ke atas
Bandung Cyber City
Persib History
Republik Design