• West Java Kingdom


    Kerajaan di Barat Jawa
    Penelusuran Sejarah antara Legenda dan Fakta

  • West Java Kingdom

    Search of the History between Legend and Fact

  • West Java Kingdom

    Seni, Tradisi, Budaya, dan Wisata Sejarah

Posted by Unknown
No comments | 3:06 PM
Nama Sumedang, pertama kali diucapkan oleh  Prabu Tajimalela (Raja Tembong Agung / cikal bakal Sumedanglarang), disaat beliau takjub melihat keajaiban alam, yaitu ketika langit menjadi terang benderang oleh cahaya melengkung menyerupai selendang (malela).  Saat menyaksikan keajaiban alam itu, Prabu Tajimalela mengucapkan Insun Medal ……Insun Medangan (aku lahir ….aku memberi penerangan).

Sedangkan secara etimologis Sumedanglarang berasal dari kata, “Su” yang berarti bagus, “Medang” berarti luas / lapang, dan “Larang”  yang berarti tidak ada bandingannya.

Ibukota Kerajaan Sumedanglarang seringkali berpindah-pindah, antara lain di Kutamaya, Dayeuhluhur, Canukur, Tegalkalong, Hambawang (Kecamatan Conggeang), Parumasan (Kecamatan Paseh), Sulambitan dan yang terkhir berada di wilayah komplek yang sekarang menjadi Kantor Pemkab Sumedang.

RATU INTEN DEWATA & PANGERAN SANTRI  (1530 – 1578)
Pada masa kekuasaan Nyai Ratu Dewi Inten Dewata, pengaruh ajaran Islam mulai berkembang di wilayah kerajaan dan menjadi kerajaan Islam karena Ratu Dewi Inten Dewata diperistri oleh Pangeran Santri / Kusumadinata I yang beragama Islam. Pangeran Santri ini merupakan cucu dari Pangeran Panjunan (kakak ipar Sunan Gunung Djati di Cirebon). Buyut Pangeran Santri adalah Syekh Datuk Kahfi merupakan pendiri pesantren pertama di Cirebon. 
Pernikahan Ratu Inten Dewata dengan Pangeran Santri, mengakhiri masa Hindu di Sumedanglarang, sekaligus awal penyebaran agama Islam.
Dari pernikahan itu, akhirnya Pangeran Santri dinobatkan menjadi penguasa Sumedanglarang dengan gelar Ki Gedeng Sumedang pada tanggal  21  Oktober  1530.  Dengan  dinobatkannya Pangeran Santri sebagai penguasa Sumedang, maka secara tidak langsung Sumedang masuk ke dalam pengaruh Cirebon. Selain itu, Pangeran Santri turut berjasa sebagai tokoh penyebar agama Islam di daerah Sumedang.
Nyi Mas Ratu Inten Dewata dan Pangeran Santri dikaruniai enam orang anak yang antara lain : Pangeran Angkawijaya (Pangeran Kusumahdinata II / Prabu Geusan Ulun), Kiai Rangga Haji, Kiai Demang Watang, Santowan Wirakusumah, Santowan Cikeruh, dan Santowan Awiluar.
Sementara itu, Pangeran Angkawijaya sempat menimba ilmu di Kerajaan Pajang (penerus Demak) saat itu dipimpin oleh Hadiwijaya / Jaka Tingkir. Raja itu dinilai memiliki ilmu agama serta pemerintahan yang cukup tinggi. Pangeran Angkawijaya lantas berguru pada tokoh tersebut di Pajang.
Ketika berguru disana sekitar 3 sampai 5 tahun, Pangeran Angkawijaya bertemu dengan Ratu Harisbaya yang berasal dari Sampang Madura. Maka perasaan cinta pun mulai tumbuh pada hati mereka berdua. Tetapi, percintaan mereka terputus akibat Pangeran Angkawijaya harus kembali ke Sumedanglarang untuk meneruskan tahta ayahnya yang telah wafat.
Pangeran Santri wafat pada tanggal 2 Oktober 1579, kemudian dimakamkan di Dayeuh Luhur.Sementara itu, Ratu Pucuk Umum setelah wafat dimakamkan di Pasarean Kota Sumedang.
Bersamaan dengan berakhirnya kekuasaan Pajajaran (8 Mei 1579), maka Sumedanglarang dibawah kekuasaan Pangeran Angkawijaya disebut-sebut sebagai penerus “resmi” dari Kerajaan Pajajaran.

PRABU ANGKAWIJAYA  (1580 – 1608)
(PRABU GEUSAN ULUN / PANGERAN KUSUMAHDINATA II)
Beliau lahir pada tanggal 19 Juli 1558. Prabu Angkawijaya dinobatkan sebagai raja Sumedanglarang pada tanggal 18 November 1580 dengan gelar Prabu Geusan Ulun Sumedanglarang. Beliau merupakan raja yang paling terkenal dari wilayah Sumedang, beliau memerintah persis setelah Pajajaran runtuh akibat serangan dari Kesultanan Banten pimpinan Sultan Maulana Yusuf yang membawa misi penyebaran agama Islam. Situasi tegang di seluruh wilayah tatar Sunda, muncul bersamaan dengan masa keruntuhan Pajajaran tersebut.
Sumedanglarang memang disebut-sebut sebagai penerus kerajaan Pajajaran, hal ini bisa dilihat dengan “dipercayakannya” mahkota Prabu Siliwangi serta banyak rakyat Pajajaran yang akhirnya mengungsi dan mengabdikan diri pada Prabu Geusan sebelum Pajajaran benar-benar runtuh oleh Banten.
Prabu Ragamulya Suryakancana (Raja terakhir Pajajaran) mengutus empat orang bersaudara yang disebut Kandaga Lante (panglima). Mereka itu terdiri dari Sanghiyang Hawu (Embah Jayaperkosa), Batara Dipati Wiradijaya (Embah Nangganan), Sanghiyang Kondang Hapa, dan Batara Pancar Buana (Embah Terong Perot) untuk menyerahkan mahkotanya kepada Prabu Geusan Ulun. Setelah tugas itu dilaksanakan keempat orang Kandaga Lante itu tidak kembali ke Pakuan dan memilih mengabdi kepada Prabu Geusan Ulun yang masih ada pertalian darah dengan raja-raja Pajajaran. Mereka berharap wilayah Pajajaran dikuasai oleh Kerajaan Sumedanglarang daripada oleh Banten.
Para Kandaga Lante banyak membantu Prabu Geusan Ulun dalam hal pembinaan prajurit kerajaan dan pengaturan pemerintahan. Mereka juga membantu dalam hal perluasan wilayah Sumedanglarang hingga mewarisi wilayah bekas Pajajaran, berikut sekitar 44 orang penguasa daerah. Wilayah itu meliputi  kabupaten Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Bandung (sekarang). Wilayah kekuasaan kerajaan Sumedanglarang tersebut kemudian disebut Priangan. Para raja daerah itu mau mengakui Prabu Geusan Ulun sebagai penerus Kerajaan Pajajaran atas jaminan dari 4 bersaudara mantan pembesar Pajajaran (Kandaga Lante).
Pada masa itu, banyak rakyat Sumedanglarang yang memeluk agama Islam, termasuk Prabu Geusan Ulun. Tetapi mulai periode pemerintahannya, Sumedanglarang berhasil membebaskan diri dari pengaruh Kesultanan Cirebon, sebagai bukti bahwa Sumedanglarang adalah penerus Pajajaran. Peristiwa “merdeka” nya Sumedanglarang dari Cirebon tidak ada satupun sumber sejarah yang menceritakan peristiwanya. Dengan demikian, kemungkinan besar peristiwa perubahan status itu dilakukan dengan damai, serta antara Sumedanglarang dan Kesultanan Cirebon diperkirakan bersahabat.
Meskipun Prabu Geusan Ulun telah memiliki permaisuri, antara lain yang bernama Nyai Mas Cukang Gedeng Waru (puteri dari Sunan Pada), tetapi Prabu Geusan Ulun masih menyimpan perasaan cinta terhadap Puteri Harisbaya yang dulu ditinggalkannya saat menimba ilmu di Pajang. Namun apa daya, kini Harisbaya sudah menjadi istri dari Panembahan Ratu I (Sultan Cirebon ke-3). Puteri Harisbaya “dihadiahkan” kepada Panembahan Ratu I oleh Arya Pangiri (raja Pajang saat itu), akibat sutan Cirebon itu memihaknya saat peristiwa perebutan kekuasaan di Kerajaan Pajang. Jadi dapat dipastikan, pada saat pernikahannya Ratu Harisbaya tidak mencintai Panembahan Ratu I.
Meskipun Ratu Harisbaya sudah menjadi “milik” sultan dari kerajaan sahabat, tetapi cinta Prabu Geusan Ulun terhadap Ratu Harisbaya tidak pernah padam. Prabu Geusan Ulun kemudian menceritakan perasaannya terhadap para Embah Jayaperkosa (salah satu Kandaga Lante yang tertua). Sebagai seorang veteran perang Pajajaran yang setia, Embah Jayaperkosa menaruh dendam pada Kesultanan Cirebon akibat persekongkolannya dengan Demak dan Banten sehingga mengakibatkan Pajajaran runtuh. Maka, peristiwa cinta Geusan Ulun dengan Harisbaya dijadikan alasan bagi Embah Jayaperkosa untuk membalas sakit hatinya. Akhirnya, Embah Jayaperkosa dan adik-adiknya (para Kandaga Lante) menyarankan Prabu Geusan Ulun untuk menculik Ratu Harisbaya.
Prabu Geusan Ulun menyetujui rencana itu murni hanya karena perasaan cinta, sedangkan para Kandaga Lante memiliki pandangan lain. Mereka menganggap peristiwa penculikan itu adalah untuk menjatuhkan kewibawaan dari Panembahan Ratu I.
Akhirnya dengan persiapan yang matang, para Kandaga Lante berhasil menculik Ratu Harisbaya dan dibawa ke Sumedanglarang.  Ratu Harisbaya tentu saja merasa senang bertemu dengan kekasih lamanya, yaitu Prabu Geusan Ulun.
Setelah peristiwa penculikan itu, para Kandaga Lante sudah menyiapkan pasukan untuk menghadang kemungkinan serangan Cirebon. Para Kandaga Lante memang mengharapkan peristiwa penculikan ini berujung dengan peperangan, mengingat karena dendamnya belum terlampiaskan. Embah Jayaperkosa menyiapkan pasukannya di perbatasan, sebelum kepergiannya untuk menghadang pasukan Cirebon, konon Embah Jayaperkosa menanam pohon Hanjuang di Kutamaya dan meninggalkan amanat : "Jika Pohon hanjuang ini masih segar, menandakan aku masih hidup dan jangan tinggalkan Kutamaya".
Peristiwa penculikan ini merupakan penghinaan besar bagi Cirebon, Panembahan Ratu I sangat marah sekali. Maka tanpa berpikir panjang, bala tentara Cirebon disiapkan untuk menyerang Sumedanglarang. Pada saat pertempuran, Embah Jayaperkosa terpisah dari ketiga saudaranya yang turut dalam pertempuran itu. Salah satu dari saudaranya yang bernama Embah Nangganan, menduga bahwa Embah Jayaperkosa telah gugur dalam pertempuran tersebut, sehingga mereka memutuskan kembali ke Kutamaya untuk menyarankan kepada Pangeran Geusan Ulun agar memindahkan ibukota kerajaan Sumedanglarang dari Kutamaya ke daerah Gunung Rengganis yang sekarang dikenal dengan daerah Dayeuh Luhur. Kota Dayeuh Luhur dianggap  sebagai basis pertahanan yang sangat strategis.
Embah Jayaperkosa yang kembali dari medan perang dengan selamat, menemukan Kutamaya telah di tinggalkan. Tentu saja beliau sangat menyesalkan tindakan Prabu Geusan Ulun dan sesampainya di Dayeuh Luhur Embah Jayaperkosa membunuh saudaranya (Embah Nangganan), atas kesalahannya itu. Sementara itu, pohon Hanjuang yang ditanam oleh Embah Jayaperkosa sampai saat ini masih tumbuh subur di Kutamaya (Desa Padasuka, Kecamatan Sumedang Utara).
Untungnya peperangan besar itu tidak berlanjut setelah Panembahan Ratu I bisa mensikapi peristiwa ini dengan positif. Beliau dengan bijaksana mengurungkan niatnya untuk menyerang, Panembahan Ratu I telah menyadari dengan sikap ksatria bahwa cinta Ratu Harisbaya memang hanya untuk Prabu Geusan Ulun, sehingga percuma saja berperang dengan banyak korban yang berguguran karena perasaan cinta Ratu Harisbaya tidak akan mungkin berubah.
Tetapi, biar bagaimanapun cara-cara yang ditempuh oleh Prabu Geusan Ulun ini tidak bisa dibenarkan karena telah menculik wanita yang sudah menikah. Untuk menjaga kewibawaan serta memberitahukan kepada Prabu Geusan Ulun tentang kesalahannya itu, maka Panembahan Ratu I mengirimkan surat kepada Prabu Geusan Ulun. Inti dari surat tersebut adalah Panembahan Ratu I menjatuhkan talak kepada Ratu Harisbaya, dan sebagai penebus talak tersebut, Prabu Geusan Ulun harus menyerahkan wilayah di sebelah Timur Sungai Cilutung, yang disebut daerah Sindangkasih (Majalengka sekarang).
Untuk menebus kesalahannya, Prabu Geusan Ulun akhirnya menerima permohonan dari Panembahan Ratu I. Kemudian Sindangkasih yang asalnya secara teritorial masuk ke wilayah Sumedanglarang, pada tahun 1583 pindah tangan menjadi daerah kekuasaan Kesultanan Cirebon. Setelah segala urusan dengan Kesultanan Cirebon diselesaikan, akhirnya Prabu Geusan Ulun resmi menikah dengan Ratu Harisbaya. Sejak itu Sumedang dengan Cirebon pun bisa kembali berdamai.
Akibat dari jalan damai tersebut, terjadi perselisihan antara Prabu Geusan Ulun dengan Embah Jayaperkosa. Prabu Geusan Ulun yang tidak menghendaki terjadinya peperangan, bahkan menyerahkan sebagian wilayahnya pada Cirebon, dengan jelas ditentang oleh Embah Jayaperkosa.
Kekecewaan Embah Jayaperkosa yang sebenarnya, adalah harapan untuk mengembalikan kebesaran dan kejayaan Kerajaan Pajajaran melalui kerajaan Sumedanglarang telah gagal. Embah Jayaperkosa yang mencita-citakan kehadiran Prabu Geusan Ulun sebagai penerus Siliwangi, tidak tercapai. Dendam dan kebencian Embah Jayaperkosa terhadap Cirebon juga diisyaratkan kepada keturunannya kelak, apabila berziarah ke makamnya dilarang berpakaian batik yang menurut pendapatnya sebagai ciri khas pakaian musuh-musuhnya. Tetapi, dengan segala kewibawaannya, Prabu Geusan Ulun tetap bersikukuh pada pendiriannya yang menginginkan perdamaian di bumi Sumedanglarang.
Prabu Geusan Ulun kemudian menikah lagi dengan Nyi Mas Pasarean, puteri ini merupakan istrinya yang terakhir. Dari 3 kali pernikahannya, Prabu Geusan Ulun dikaruniai keturunan sebanyak 15 orang.
Prabu Geusan Ulun membawa Sumedanglarang dalam puncak kejayaannya sampai tahun 1608. Beliau wafat pada tanggal 5 November 1608. Makam dari Prabu Geusan Ulun dan Ratu Harisbaya terletak di Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun juga merupakan raja Sumedanglarang terakhir, karena kemudian wilayah Sumedang mendapat pengaruh kebesaran Mataram. Para raja di Sumedang pun diganti dengan bupati wedana.

RADEN SURIADIWANGSA (1620)
(RAJA GEMPOL I / PANGERAN KUSUMAHDINATA III)
Raden Suriadiwangsa merupakan anak tiri Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya. Ketika wilayah Sumedanglarang diperintah oleh beliau, Sumedanglarang menjadi daerah kekuasaan Mataram (dipimpin oleh Sultan Agung) dan Sumedang menyatakan diri ingin mengabdi ke Mataram dengan ikhlas.
Sejak itu status Sumedanglarang pun berubah dari kerajaan menjadi kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang, Kusumahdinata III oleh pihak Mataram diangkat sebagai Bupati Wedana wilayah Mataram di sebelah barat, yang wilayahnya meliputi seluruh Jawa Barat, kecuali Banten, Cirebon dan Jayakarta. Mataram menjadikan Priangan sebagai  daerah  pertahanannya  di  bagian   Barat   terhadap  kemungkinan serangan Pasukan Banten dan Kompeni yang berkedudukan di Batavia.
Karena dinilai cakap dalam memimpin pemerintahan serta sukses dalam membantu Mataram, Kusumahdinata III tidak diperbolehkan lagi menjadi penguasa di Jawa Barat, dan diminta oleh Sultan Agung tinggal di Mataram, hingga wafat. Inilah taktik Sultan Agung meredam kecakapan Kusumahdinata III yang memiliki pengaruh di bumi Priangan ketika menjadi wilayah kekuasaan Mataram.
Pengganti Bupati Wedana Sumedang bukan anak Kusumahdinata III, tetapi droping dari Mataram yaitu Rangga Gede.
Hal inilah yang kemudian menimbulkan amarah Suriadiwangsa / Rangga Gempol (anak Kusumahdinata III), dan kemudian minta bantuan Banten untuk merebut wilayah Sumedang.
Tahun 1677, Rangga Gempol yang berusaha membendung pasukan Mataram ke wilayah Priangan. Setelah melalui pertempuran yang sengit, pasukan Rangga Gempol akhirnya mundur ke Indramayu dan Majalengka.

0 comments:

Post a Comment

kembali ke atas
Bandung Cyber City
Persib History
Republik Design