Wilayah Cirebon Larang pada awal pembentukannya, hanya berstatus sebagai pakuwuan. Daerah ini dibuka oleh Raden Walangsungsang, setelah beliau meminta izin pada Ki Gedeng Tapa (penguasa Sing Apura yang wilayahnya meliputi Cirebon Larang). Setelah membentuk tempat pemukiman, akhirnya secara administratif Cirebon Larang terpisah dengan Sing Apura.
Lokasi Cirebon Larang tadinya merupakan kawasan hutan di wilayah Cirebon Pesisir yang biasa disebut Tegal Alang-Alang atau Lemah Wungkuk. Disana Raden Walangsungsang dibantu oleh 52 orang penduduk membuka tempat pemukiman pada tahun 1445.
Tidak jauh dari lokasi Cirebon Larang, terdapat sebuah sungai yang cukup besar bernama Kali Kriyan, dimana banyak penduduk setempat yang mencari ikan di tempat itu.
Perkampungan tersebut dihuni oleh berbagai suku campuran dari berbagai etnis, dan penduduk setempat kemudian mempercayakan Ki Danusela (adik pendeta Budha Ki Danuwarsih) sebagai kuwunya, sedangkan Walangsungsang bertindak sebagai Pangraksabumi (yang memperhatikan dan memelihara kebaeradaan tanah pemukiman) dengan gelar Ki Cakrabuana.
KI DANUSELA / KI GEDENG ALANG ALANG
Sebelum Walangsungsang mendirikan pemukiman di Cirebon Larang, sebenarnya di sekitar wilayah tersebut telah berdiri pakuwuan (di bawah wilayah Sing Apura) yang dipimpin oleh Ki Danusela. Tetapi dengan ilmu dan kecakapan dari Walangsungsang, tentunya pakuwuan tersebut semakin berkembang dan tertata rapi.
Penunjukan Ki Danusela sebagai kuwu pertama di Cirebon Larang bukanlah hal yang aneh, karena jabatan tersebut telah disandangnya sebelum Walangsungsang datang dan mendirikan pemukiman baru. Ketokohan Ki Danusela rupanya masih diperhitungkan dan dihormati oleh penduduk setempat maupun Walangsungsang sendiri.
Ki Danusela adalah adik dari Ki Gedeng Danuwarsih (mertua dari Walangsungsang). Istri Ki Danusela bernama Nyi Arum Sari dari Cirebon Girang. Dari pernikahannya itu, mereka dikaruniai seorang putri yang bernama Nyi Retna Riris.
RADEN WALANGSUNGSANG / PANGERAN CAKRABUANA
Selain diperintahkan untuk membuka lahan baru, Walangsungsang juga dianjurkan oleh Syekh Datuk Kahfi untuk menunaikan ibadah haji. Akhirnya pada tahun 1448, setelah selesai membangun tempat pemukiman baru yang semakin maju, Raden Walangsungsang pergi ke Tanah Suci Mekkah bersama adiknya, Nyai Larasantang. Tetapi istrinya Walangsungsang yang bernama Nyai Indang Geulis tidak diikut sertakan karena sedang mengandung.
Di pelabuhan Jeddah, Nyai Larasantang bertemu dengan Maulana Sultan Muhammad bergelar Syarif Abdullah (keturunan Bani Hasyim putera Nurul Alim / bangsawan Mesir). Nyai Larasantang kemudian menikah dengan tokoh tersebut di tanah suci.
Sambil menunaikan ibadah haji di Mekkah, Nyai Larasantang dan Raden Walangsungsang sempat berguru pada Syekh Abdul Yajid. Oleh gurunya itu, mereka berdua diberi nama baru. Nyai Larasantang berganti nama menjadi Syarifah Mudaim dan kemudian tinggal di Mesir bersama suaminya. Sedangkan Raden Walangsungsang yang berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman, pulang kembali ke Cirebon setelah bermukim di Mekkah selama 3 bulan, kemudian mengunjungi dulu Baghdad dan Campa (sekarang masuk wilayah Vietnam dan Kamboja).
Di Campa, Raden Walangsungsang berguru pada Syekh Maulana Ibrahim Akbar, kemudian menikah dengan puterinya yang bernama Nyi Rasa Jati. Setelah menikah puteri tersebut dibawa ke Cirebon.
Usai menunaikan ibadah haji, Walangsungsang sangat berbahagia karena Indang Geulis (istrinya) telah melahirkan seorang puteri yang kemudian diberi nama Nyai Pakungwati.
Sedangkan anak dari pernikahannya dengan Nyi Rasa Jati antara lain :
1. Nyi Lara Konda
2. Nyi Lara Sejati
3. Nyi Jati Merta
4. Nyi Mertasinga
5. Nyi Campa
6. Nyi Rasa Melasih.
Setelah Ki Danusela wafat, Walangsungsang akhirnya diangkat menjadi kuwu Cirebon Larang yang ke-2. Selanjutnya, untuk mengislamkan keluarga Ki Danusela, Walangsungsang menikah lagi dengan puteri dari Ki Danusela yang bernama Retna Riris (kemudian berganti nama menjadi Kancana Larang). Dari pernikahannya kali ini, Walangsungsang dikaruniai seorang putra yang bernama Pangeran Cerbon. (kemudian setelah dewasa menjadi kuwu di Cirebon Girang).
Pada saat menjabat sebagai kuwu, Raden Walangsungsang menunjukkan kecakapannya. Ia mampu memajukan wilayah itu, Cirebon Larang semakin berkembang melebihi ukuran sebuah desa. Saat itu wilayahnya banyak didatangi oleh para pendatang dari berbagai suku bangsa. Semakin banyak juga penduduk Cirebon yang beralih agama dari Hindu (pengaruh Pajajaran di pantai utara Jawa khususnya di Cirebon dan sekitarnya) ke agama Islam. Untuk lebih menggiatkan syi’ar Islam kemudian Walangsungsang mendirikan Masjid Jalagrahan (masjid tertua di Cirebon) pada tahun 1456.
Disaat agama Islam semakin berkembang, Larasantang bersama suaminya (Syarif Abdullah) pulang ke Cirebon setelah beberapa lama tinggal di Mesir. Kehadiran mereka di Cirebon disertai juga dengan puteranya yang telah tumbuh dewasa (berusia 26 tahun). Putera tersebut bernama Syarif Hidayatullah, yang pernah belajar Islam di Mekkah pada usia 20 tahun. Selama 2 tahun beliau berguru pada Syekh Tajumudin Al Kubri, kemudian 2 tahun berikutnya dilanjutkan dengan berguru pada Syekh Ataillah Syazali. Setelah dari Mekkah pencarian ilmunya dilanjutkan ke Baghdad untuk belajar tasawuf selama 2 tahun. Seusai dari Baghdad kemudian beliau pulang ke Mesir dan melanjutkan perjalanan ke Mekkah – Gujarat – Pasai – Banten – Jawa Timur hingga akhirnya tiba di Cirebon.
Kembali pada kisah yang terjadi di Cirebon Larang beberapa tahun kemudian, sepak terjang yang dilakukan oleh Raden Walangsungsang mengenai syi’ar Islam nya diketahui oleh sang ayah yaitu Prabu Jayadewata (yang telah menjabat sebagai raja Pajajaran dengan gelar Sri Baduga Maharaja). Namun, tindakan penyebaran Islam itu tidak dipermasalahkan oleh Prabu Jayadewata.
Selain itu, beberapa saat kemudian kakeknya yang bernama Ki Gedeng Tapa (raja Sing Apura) meninggal dunia. Selain memperoleh warisan yang banyak dari kakeknya, Raden Walangsungsang kemudian meneruskan tugas sang kakek untuk mengatur Pelabuhan Muara Jati dan menyatukan wilayah Sing Apura dengan wilayah Cirebon Larang dalam satu kekuasaan. Untuk mengamankan dan mempertahankan Pelabuhan Muara Jati yang semakin ramai, Raden Walangsungsang membentuk satuan keamanan dan ketertiban. Pengelolaan secara otonomi, makin membuat situasi pelabuhan makin ramai, dan pemasukan pendapatan ke Kerajaan Pajajaran pun semakin besar.
Harta warisan yang berlimpah dari Ki Gedeng Tapa kemudian digunakannya untuk membuat sebuah keraton yang bernama Keraton Pakungwati (diambil dari nama puterinya) di tepian Kali Kriyan, serta membentuk satuan prajurit. Keraton Pakungwati dibuat sebagai kompleks keraton yang sangat indah, di mana didalamnya terdapat taman sari dan kolam pemandian tempat para puteri keraton membersihkan diri.
Karena prestasi kerjanya yang gemilang serta Wilayah Cirebon Larang telah lengkap persyaratan untuk membentuk kerajaan, maka Prabu Jayadewata segera mengirimkan utusannya yang bernama Jagabaya (Perwira Angkatan Perang Pajajaran) serta Rajasengara / Kian Santang (adik bungsu Walangsungsang) untuk menobatkan Raden Walangsungsang sebagai raja daerah dengan gelar Tumenggung Sri Mangana Cakrabuana. Dengan demikian, maka mulai saat itu, status Pakuwuan Cirebon Larang berubah menjadi Kerajaan di bawah kekuasaan Pajajaran.
Setelah acara penobatan dilangsungkan, Rajasengara / Kian Santang tidak pulang ke Pakuan tetapi memilih tinggal bersama kakaknya di Cirebon Larang. Disinilah beliau bertemu dengan seorang gadis dari Campa yang bernama Nyi Halimah / Nyi Gedeng Kalisapu.
Meski saat itu Cirebon Larang merupakan bagian dari wilayah besar Kerajaan Pajajaran yang berfaham Hindu, Raden Walangsungsang tetap terus mengembangkan agama Islam. Apa yang dilakukan Raden Walangsungsang tidak mendapat hambatan dari Pajajaran, karena dalam bekerja di pemerintahan dia tidak pernah mengecewakan Pajajaran. Raden Walangsungsang, waktu itu menjadi satu-satunya pejabat tinggi (setingkat raja) dari Kerajaan Pajajaran yang beragama Islam.
Sementara itu, Syarif Hidayatullah aktif mengajar Islam di dukuh Babadan. Disana ia bertemu dengan Nyai Babadan (puteri Ki Gedeng Babadan) yang kemudian dinikahinya. Dengan semakin gencarnya Syarif Hidayatullah berdakwah mengajarkan agama Islam di tatar Pasundan (menggantikan peran Syekh Datuk Kahfi yang telah wafat), maka beliau kemudian dikenal sebagai Syekh Maulana Jati atau Syekh Jati.
Setelah Nyai Babadan meninggal, Syarif Hidayatullah kemudian menikah lagi dengan Nyimas Pakungwati (puteri Raden Walangsungsang) dan Nyai Lara Baghdad (puteri sahabat Syekh Datuk Kahfi). Dari pernikahannya dengan Nyai Lara Baghdad, beliau dikaruniai 2 orang putra yaitu :
1. Pangeran Bratakelana / Pangeran Gung Anom (kemudian menikah dengan Ratu Nyawa, putri dari Raden Patah).
2. Pangeran Jayakelana (kemudian menikah dengan Nyi Ratu Pembaya, putri dari Raden Patah).
Kemudian, tatkala Syarif Hidayatullah mengajarkan agama Islam di Banten, Bupati Kawunganten (salah satu bawahan Pajajaran di wilayah Banten Pesisir) yang bernama Arya Surajaya (anak sulung dari Surasowan / raja Banten Pesisir), menerima dengan terbuka pada agama Islam. Kemudian adiknya yang bernama Nyai Kawunganten (anak bungsu dari Surasowan) diperistri oleh Syarif Hidayatullah. Dari perkawinan dengan Nyai Kawunganten yang masih cucu dari Prabu Jayadewata tersebut lahirlah Ratu Winaon dan Pangeran Sabakingkin (kelak dikenal sebagai Maulana Hasanuddin) pendiri Kesultanan Banten.
Syarif Hidayatullah kembali ke Cirebon pada tahun 1479, setelah melakukan syi’ar Islam di wilayah Banten. Sementara itu, setelah Raden Walangsungsang makin mampu meningkatkan kekuatannya dalam memimpin wilayah Cirebon Larang, dia ingin wilayahnya bebas berdaulat, mandiri tidak lagi di bawah kekuasaan Pajajaran. Karena itu, beliau mengirim keponakannya (Syarif Hidayatullah) untuk pergi ke Kesultanan Demak (Kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa) yang dipimpin oleh Raden Patah.
Tampaknya Raden Walangsungsang sudah mengenal Raden Patah. Karena itu, Raden Walangsungsang mengharapkan Syarif Hidayatullah bisa menyerap ilmu pengetahuan dari Raden Patah bila kemungkinan Cirebon bisa menjadi kerajaan yang mandiri. Di Demak, selain belajar ilmu pemerintahan dari Sultan Agung, Syarif Hidayatullah juga berguru pada Sunan Ampel.
Selain belajar ilmu pemerintahan, di sana Syarif Hidayatullah menikah lagi dengan Nyi Tepasari (putri dari Ki Ageng Tepasan / pembesar Majapahit yang pro Raden Patah). Dari pernikahannya kali ini, beliau dikaruniai dua orang anak yaitu :
1. Nyi Mas Ratu Ayu (kemudian menikah dengan Pangeran Sabrang Lor / Sultan Demak ke-2),
2. Pangeran Mohamad Arifin (kemudian dikenal sebagai Pangeran Pasarean).
Sepulangnya dari Demak, Syarif Hidayatullah segera pulang ke Cirebon dan Raden Walangsungsang meminta Syarif Hidayatullah untuk segera menggantikan kedudukannya. Atas perintah dari uwaknya tersebut, akhirnya beberapa tahun kemudian, Syarif Hidayatullah meneruskan kepemimpinannya. Namun, kepemimpinannya kali ini ditingkatkan menjadi bentuk Kesultanan Islam yang merdeka (lepas dari Pajajaran). Raden Walangsungsang memberanikan diri mewujudkan impiannya itu setelah ayahnya / Sri Baduga Maharaja turun tahta (wafat).
Saat Sri Baduga Maharaja berkuasa, raja itu memang sangat kharismatik, disegani serta dihormati oleh seluruh rakyat barat Jawa. Sehingga Raden Walangsungsang pun mungkin merasa segan untuk memerdekakan diri dari kekuasaannya saat itu. Tetapi setelah tahta Pajajaran turun pada Surawisesa (saudara seayah Raden Walangsungsang), maka Pajajaran dan Cirebon Larang dianggap sederajat. Sejak itulah, status Cirebon Larang yang tadinya hanya sebuah kerajaan bawahan Pajajaran kini berubah menjadi Kesultanan Cirebon yang merdeka. (Selanjutnya lihat Kesultanan Cirebon)
0 comments:
Post a Comment