Pada abad ke-4 Masehi, Tatar Sunda dan beberapa wilayah Nusantara lainnya berdatangan sejumlah pengungsi dari India akibat terjadi peperangan besar di sana. Para pengungsi itu umumnya berasal dari daerah Kerajaan Palawa dan Calankayana di India, pihak yang kalah dalam peperangan melawan Kerajaan Samudragupta (India).
Salah satu dari rombongan pengungsi Calankayana dipimpin oleh seorang Maharesi yang bernama Jayasingawarman. Setelah mendapatkan persetujuan dari raja yang berkuasa di barat Jawa (Dewawarman VIII, raja Salakanagara), maka Jayasingawarman membuka tempat pemukiman baru di dekat sungai Citarum. Pemukimannya oleh Jayasingawarman diberi nama Tarumadesya (desa Taruma). Sepuluh tahun kemudian desa ini banyak didatangi oleh penduduk dari desa lain, sehingga Tarumadesya menjadi besar. Akhirnya dari wilayah setingkat desa berkembang menjadi setingkat kota (Nagara). Semakin hari, kota ini semakin menunjukan perkembangan yang pesat, karena itulah Jayasingawarman kemudian membentuk sebuah Kerajaan yang bernama Tarumanagara.
Karena raja-raja yang memerintah di Kerajaan Tarumanagara ini merupakan keturunan dari Kerajaan Calankayana (India). Maka, pusat Kerajaan Tarumanagara dipilih sesuai dengan kemiripan lokasi dari Kerajaan Calankayana. Lokasi Kerajaan Calankayana yang berada di tepian sungai Kistna dan berhulu di pegunungan Malabar (India), sama dengan pusat Kerajaan Tarumanagara yang berada di dekat Sungai Citarum yang berhulu ke Gunung Malabar (Indonesia). Reduplikasi semacam ini telah menjadi kebiasaan di saat itu dalam masa proses Hinduisasi. Akhirnya Jayasingawarman memberi nama ibu kota kerajaannya sesuai dengan namanya yaitu Jayasingapura.
Pada masa kerajaan ini, agama Hindu sebagai agama resmi kerajaan, dimana agama ini dianut oleh mereka yang menjadi keluarga istana dan dekat dengan lingkungan istana, terutama para pendatang dari India dan keluarga-keluarga pribumi yang menjalin hubungan erat dan memiliki hubungan pernikahan dengan para pendatang beserta keturunan mereka. Aliran agama Hindu yang dianut di Tarumanagara adalah aliran Wisnu Triwikrama yang memperlihatkan anasir kepercayaan Weda dan anasir pemujaan kepada Dewa Indra dan Mithra Surya. Sedangkan bagi sebagian besar rakyat Tarumanagara masih memeluk agama leluhur mereka, yaitu agama yang memuja arwah nenek moyang. Walaupun sedikit sekali, namun ada juga yang beragama Budha.
Diceritakan bahwa di Kerajaan Tarumanagara terdapat Sungai Candrabhaga dan Gomati. Kedua Sungai itu adalah dua sungai suci di India (Sungai Gomati pernah dilewati oleh Prabu Rama dan Dewi Shinta dalam Cerita Ramayana, sedangkan sungai Candrabagha adalah reduplikasi dari sungai Candrabagha di Punjab, seberang Sungai Indus, India). Dua buah aliran sungai suci yang disebut-sebut sepanjang 11 kilometer tersebut “seakan-akan” dipindahkan ke Tarumanagara dengan suatu keajaiban / kesaktian para brahmana hanya dalam waktu 20 hari. Setelah dua buah sungai itu selesai dipindahkan, kemudian di Tarumanagara diadakan upacara yang didalam upacara tersebut, sang raja menghadiahkan 1000 ekor sapi untuk para brahmana. Di masa Tarumanagara ini juga, sistem kerja bakti sudah mulai digunakan atau saat itu dinamakan Karyabhakti.
Berikut ini adalah Raja-raja Tarumanagara yang tercatat dalam sejarah :
RAJADIRAJAGURU JAYASINGAWARMAN (358 – 382)
Merupakan pendiri kerajaan Tarumanagara. Beliau meniikah dengan Iswari Tunggal Pertiwi Warmandewi / Dewi Minawati (Putri Dewawarman VIII). Dari pernikahan ini, maka selain dia menjabat sebagai raja di Tarumanagara, beliau juga termasuk menantu raja Salakanagara tersebut. Putra sulungnya yang bernama Dharmayawarman kelak menggantikan posisinya sebagai raja Tarumanagara.
Rajadiraja Guru Jayasingawarman wafat dalam usia 60 tahun dan dipusarakan di tepi Sungai Gomati (Bekasi).
DHARMAYAWARMAN (382 –395)
Beliau memiliki gelar Rajaresi Darmayawarman-guru. Gelar tesebut diperoleh karena selain menjadi raja, beliau juga merangkap tugas sebagai pimpinan dari semua guru agama.
Saat itu penduduk Tarumanagara masih banyak yang menganut keperjayaan pemujaan terhadap roh leluhur sebagai warisan dari nenek moyang mereka. Dharmayawarman, saati itu giat untuk mengajarkan agama Hindu kepada penduduknya, bahkan beliau mendatangkan beberapa brahmana dari India. Tetapi kebanyakan penduduk tetap setia pada kepercayaannya.
Di masa kekuasaannya, tingkatan penduduk dibagi dalam 4 kasta, yaitu brahmana, ksatria, waisya, dan sudra. Selain itu, penduduk juga digolongkan kedalam 3 golongan yaitu nista, madya, dan utama.
Beliau mengundurkan diri dari tahta kerajaan dan memilih hidup sebagai pertapa (manurajasunya) atau bertapa setelah turun tahta sambil menunggu ajal tiba. Setelah wafat ia dipusarakan di tepi Sungai Candrabagha.
PURNAWARMAN (395 – 434)
Merupakan Raja Tarumanagara yang paling terkenal. Beliau dilahirkan pada tanggal 16 Maret 372 dari pasangan Dharmayawarman dengan permaisurinya.
Purnawarman mulai memegang tampuk kekuasaan Tarumanagara pada tanggal 12 Maret 395 atau dua tahun sebelum ayahnya wafat. Mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah.
Raja ini yang dipercaya oleh berbagai kalangan pada saat itu sebagai penjelmaan dari Dewa Wisnu, merupakan penganut agama Hindu aliran Waisnawa. Sedangkan mayoritas penduduk di saat itu adalah memuja roh leluhur. Bentuk agama dan kepercayaan lainnya yang dianut penduduk Tarumanagara adalah memuja Batara Sangkara (Siwa), Brahma, dan agama Budha (penganutnya paling sedikit).
Purnawarman menyusun bermacam-macam pustaka yang berisi tentang undang-undang kerajaan, peraturan angkatan perang, siasat perang, keadaan daerah-daerah di barat Jawa, silsilah dinasti Warman, dan kumpulan maklumat kerajaan. Dari pustaka-pustaka yang disusun itulah tak heran apabila Tarumanagara saat itu telah memiliki sistem pemerintahan yang baik dan teratur.
Saat Purnawarman memasuki tahun kedua dari masa kekuasaannya, beliau memindahkan ibukota kerajaan ke sebelah utara ibukota lama (Jayasingapura). Ibukota baru tersebut diberi nama Sundapura yang didirikan di tepi Sungai Gomati. Nama Sundapura tersebut mulai digunakan oleh Purnawarman pada tahun 397. Sundapura mengandung arti Kota Suci atau Kota Murni yang diambil dari bahasa Sansekerta yakni sudha atau sunddha yang berarti bersinar, terang, putih, bersih, jernih, murni.
Saat Purnawarman memasuki tahun ketiga dari masa kekuasaannya, beliau mendirikan pelabuhan pantai yang dibuat mulai tanggal 15 Desember 398 sampai tanggal 11 November 399. Pelabuhan ini dijadikan pangkalan perang laut dari Kerajaan Tarumanagara. Setiap kapal perang kerajaan ini mengibarkan bendera yang bergambarkan naga (nagadhwajarupa).
Purnawarman memiliki gajah perang yang diberi nama Airawata seperti nama gajah tunggangan Dewa Indra (dalam mitologi Hindu). Karena itulah, sebelum beliau bertempur selalu didahului oleh prosesi pemujaan terhadap Dewa Indra untuk “meminta” kekuatan saat berada di tengah pertempuran. Purnawarman yang selalu unggul dalam setiap peperangan itu kemudian dijuluki oleh lawan-lawannya sebagai Wyaghra Ning Tarumanagara atau Harimau Tarumanagara. Julukan lain yang melekat pada dirinya yang berkaitan dengan keberanian dan penguasaan ilmu pertempuran adalah bhimaparakramoraja (raja yang dahsyat dan perkasa), Sang Purandara Saktipurusa (manusia sakti penghancur benteng).
Baju perisai yang dikenakan Purnawarman tidak pernah tembus oleh tombak musuh-musuhnya (baju zirah miliknya itu dianggap sama dengan baju zirah milik Dewa Surya). Baju pelindung tersebut terbuat dari besi dan melindunginya dari mulai kepala sampai kaki. Selain itu, keberanian Purnawarman yang selalu dapat menghancurkan benteng kota dari musuh-musuhnya dianggap sama dengan sifat Dewa Indra.
Purnawarman berhasil menundukkan musuh-musuhnya untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Wilayah Tarumanagara akhirnya meluas hingga mencakup pantai Selat Sunda. Di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat sekitar 47 Kerajaan daerah yang membentang dari Rajataputra (ibukota Salakanagara) sampai ke Purwalingga (sekarang Purbolinggo) di Jawa Tengah. Kemenangan demi kemenangan dari Tarumanagara saat melakukan perluasan wilayah ini tak lepas dari angkatan perang baik darat maupun laut yang begitu banyak, kuat serta lengkap persenjataannya. Adiknya yang bernama Cakrawarman ditugasi sebagai Mahamantri dan Panglima Perang, sedangkan pamannya yang bernama Nagawarman diberi jabatan sebagi Panglima Angkatan Laut (Senapati Sarwajala).
Saat itu, Tarumanagara giat mengadakan hubungan diplomatik dengan Semenanjung, negeri Syangka, Yawana, Cambay (India), Sopala, Kutai, Cina, Sumatera, dan lain-lain. Hubungan diplomatik tersebut biasanya diwakili oleh Nagawarman. Bentuk persahabatan antara Tarumanagara dengan Kutai adalah dengan menempatkan masing-masing Duta kerajaannya di ibu kota negeri sahabat. Hubungan kedua kerajaan tersebut semakin erat setelah Purnawarman menikah dengan seorang putri dari raja daerah di Kutai.
Tarumanagara dalam kekuasaan Purnawarman sudah berubah menjadi kerjaan besar di pulau Jawa, dimana tiap bulan Maret / April setiap tahunnya selalu saja ada raja daerah yang mengirimkan upeti ke ibukota Sundapura. (penjelasan mengenai kerajaan daerah tersebut, lihat kerajaan-Kerajaan Bawahan Tarumanagara).
Meskipun kejam terhadap musuh-musuhnya yang tak mau tunduk pada kekuasaan Tarumanagara, tetapi Purnawarman begitu menghormati kepada raja-raja daerah yang berbakti padanya. Contohnya, saat para raja daerah mengirimkan upeti ke Sundapura, 2 hari sesudahnya, Purnawarman selalu membuat pesta untuk para tamu tersebut sambil menghidangkan makanan dan minuman yang lezat selama 3 hari berturut-turut, tidak ketinggalan juga pesta itu dimeriahkan oleh tarian dari gadis-gadis cantik.
Saat kepemimpinannya, beliau selalu memperhatikan kemakmuran rakyatnya, selain itu juga beliau sangat memperhatikan pemeliharaan aliran sungai. Pada tahun 410, Purnawarman memprakarsai perbaikan aliran sungai Gangga (diperdalam dan diperindah bagian tanggulnya) yang dikerjakan oleh ribuan orang secara karyabhakti. Sungai Gangga ini berada di daerah Cirebon yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kerajaan Indraprahasta (kerajaan bawahan dari Tarumanagara). Setelah selesai diperbaiki, Purnawarman mengadakan selamatan dan memberikan hadiah kepada para brahmana dan ribuan orang yang telah membantu dalam penyelesaian proyek itu. Beliau juga menghadiahkan 500 ekor sapi, pakaian, 20 ekor kuda, 1 ekor gajah, dan perjamuan makan yang lezat untuk raja Indraprahasta selaku penguasa setempat.
Pada tahun 412, Purnawarman memperkokoh parit dan memperindah alur Sungai Cupu yang terletak di Kerajaan Cupunagara (masih kerajaan bawahan Tarumanagara). Sungai tersebut mengalir sampai di istana kerajaan. Proyek ini dikerjakan sekitar bulan Juli / Agustus tahun tersebut dan hanya memakan waktu selama 14 hari. Pada saat upacara selamatan tanda selesainya proyek ini, Purnawarman menghadiahkan 400 ekor sapi, pakaian, dan makanan lezat kepada para pegawai proyek saluran air ini.
Baik di tepi sungai Gangga maupun sungai Cupu, Purnawarman membuat prasasti yang ditulis pada batu sebagai ciri telah selesainya pekerjaan. Prasasti tersebut ditandai dengan lukisan telapak tangan dan ditorehkan kata-kata yang memuji dirinya tentang kebesaran, dan sifat-sifatnya yang diibaratkan sebagai Dewa Wisnu yang melindungi segenap mahluk di bumi dan di akhir kelak.
Pada tahun 413, Purnawarman memperkokoh parit dan memperindah aliran Sungai Sarasah / Manukrawa yang terletak di Kerajaan Manukrawa (kerajaan bawahan Tarumanagara). Proyek ini dikerjakan selama kurang lebih 2 bulan, antara Oktober/November sampai Desember/Januari. Pada saat upacara selamatan tanda selesainya proyek ini, Purnawarman berhalangan hadir dan mengutus Mahamantri Cakrawarman sebagai perwakilan. Sang Mahamantri bersama pembesar kerajaan lainnya ikut hadir dalam upacara tersebut dengan mengendarai perahu besar, dan kali ini Purnawarman menghadiahkan 400 ekor sapi, 80 ekor kerbau, pakaian bagi para brahmana, 10 ekor kuda, 1 buah bendera Tarumanagara, 1 buah patung Wisnu, dan bahan makanan.
Pada tahun 417, Purnawarman memperkokoh dan memperindah alur Sungai Gomati dan Candrabagha (sungai Candrabagha dahulu pernah diperindah juga oleh Jayasingawarman). Proyek ini dikerjakan secara karyabhakti oleh ribuan orang yang bekerja secara berbaris memanjang di setiap tepian sungai. Pada saat upacara selamatan, Purnawarman memberikan hadiah bagi para brahmana berupa 1000 ekor sapi, pakaian, dan makanan lezat. Sedangkan hadiah bagi para pemuka daerah yaitu perhiasan emas dan perak, kuda, dan banyak lagi. Di tempat itu juga Purnawarman membuat prasasti sebagai tanda akhir penyelesaian proyek.
Pada bulan Mei/Juni sampai bulan Juni/Juli tahun 419, Purnawarman memperbaiki, memperteguh alur, dan memperdalam sungai Citarum (sungai terbesar yang ada di wilayah Tarumanagara). Seperti proyek yang sudah-sudah, akhir pelaksanaan dari pekerjaan ini digelar upacara dimana Purnawarman dengan baik hati memberikan hadiah berupa 800 ekor sapi, 20 ekor kerbau, pakaian, makanan lezat, dan hadiah lainnya. Upacara ini juga ditandai dengan pemberian berkat dari para brahmana untuk sang raja.
Dengan diperbaharuinya aliran-aliran sungai tersebut, maka manfaat dari sungai semakin terasa. Kini aliran sungai dapat digunakan sebagai sumber irigasi yang dapat membantu sektor pertanian dan juga jalur perdagangan di tepian sungai semakin ramai. Kekeringan pun tidak pernah melanda di seluruh penjuru negeri Tarumanagara meskipun dalam kondisi kemarau. Kepemimpinan Purnawarman yang begitu gemilang membuat penduduk semakin kagum dan menaruh hormat kepada sang raja.
Di tempat-tempat pemujaan yang telah selesai dibangun, selalu dilukiskan bendera Tarumanagara dan jasa-jasa yang telah diperbuat oleh Purnawarman. Bendera Kerajaan Tarumanagara pada saat itu berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah Airwata. Sedangkan materai kerajaan (rajatanda) berupa lempengan (daun) emas berbentuk brahmara (lebah atau kumbang).
Setelah Purnawarman membawa Tarumanagara ke dalam masa keemasan, beliau dinobatkan sebagai Maharaja dengan gelar Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhimaparakrama Suryamahapurusa Jagatpati.
Dari isterinya yang berasal dari negeri Kutai, Maharaja Purnawarman memiliki beberapa orang putera puteri. Anak sulungnya yang bernama Wisnuwarman akhirnya menjadi penerus Kerajaan Tarumanagara, sedangkan seorang puterinya menikah dengan raja di pulau Sumatera yang kelak menurunkan keturunan bernama Srijayanasa (pendiri Kerajaan Sriwijaya).
Maharaja Purnawarman wafat pada tanggal 24 November 434, dalam usia 62 tahun. Beliau dipusarakan di tepi sungai Citarum.
Peninggalan berupa prasasti dari Maharaja Purnawarman yang kini berhasil ditemukan antara lain Prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Pasir Jambu, Prasasti Cidangiang, Prasasti Pasir Awi, Prasasti Tugu. Semua prasasti peninggalannya biasanya berupa batu tulis yang berada pada tepian sungai di beberapa daerah.
Ada beberapa prasasti yang ditemukan berada di sekitar Ciaruteun (diperkirakan merupakan wilah Kerajaan Aruteun). Prasasti yang menunjukkan kebesaran raja di suatu wilayah, biasanya menunjukkan wilayah itu merupakan wilayah bawahan. Jadi dapat disimpulkan bahwa Kerajaan Aruteun yang lebih dulu muncul telah menjadi wilayah jajahan Kerajaan Tarumanegara yang muncul belakangan.
Prasasti Ciaruteun ditulis dalam bentuk puisi 4 baris, dan terdapat sepasang "pandatala" (jejak kaki). Gambar jejak telapak kaki menunjukkan tanda kekuasaan yang berfungsi seperti tanda tangan di jaman sekarang. Selain itu terdapat juga lukisan ikal dan terdapat sepasang ukiran laba-laba atau matahari, mengenai simbol ini berdasarkan keterangan dari Pustaka Cirebon diartikan sebagai cap dari Kerajaan Tarumanagara. Lahan tempat prasasti Ciaruteun saat ditemukan, adalah dalam sebuah aliran sungai Ciaruteun, wilayah Kecamatan Cibungbulang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya.
Prasasti Ciaruteun menuliskan (diterjemahkan oleh Prof. Vogel) :
vikkrantasyavanipateh
shrimatah purnavarmmanah
tarumanagararendrasya
vishnoriva padadvayam
"Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara".
Sedangkan dalam Prasasti Kebon Kopi yang ditemukan di lahan perkebunan kopi milik Jonathan Rig ( tak jauh dari Prasasti Ciaruteun), merupakan sebuah batu tertulis dengan tanda telapak kaki gajah, terdapat keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi:
jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah
airavatabhasya vibhatidam adadavayam
“Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa”.
Prasasti Pasir Jambu, ditemukan di puncak bukit Koleangkak, Desa Panyaungan, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Dalam prasasti ini tertoreh dua baris berhuruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta, yang isinya sebagai berikut :
Priman data krtajnyo narapatir asamo yah pura tarumayan namma cri purnnavarmma pracuraripucarabedyavikhyatavarmmo
Tasyedam padavimbadvayam arinagarotsadane nityadaksham bhaktanam yandripanam bhavati sukharam calyabhutam ripunam
“Lukisan dua telapak kaki ini kepunyaan yang termashur setia dalam tugasnya (yaitu) raja tanpa tandingan yang dahulu memerintah Taruma bernama Sri Purnawarman yang baju perisainya tidak dapat ditembus oleh tombak musuh-musuhnya, yang selalu menghancurkan kota (benteng) musuh, yang gemar menghadiahkan makanan dan minuman lezat kepada mereka (yang setia kepadanya) tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya”.
Prasasti Cidangiang, ditemukan di aliran sungai Cidangiang, Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang. Dalam prasasti yang berhuruf Palawa dan berbahasa Sansekerta ini dilengkapi oleh lukisan sepasang telapak kaki. Isinya adalah sebagai berikut :
Vikrantayam vanipateh
Pabbhuh satyaparakramah
Nerendraddhvajabutena crimatah
Purnnavarmmanah
“(ini tanda) penguasa dunia yang perkasa, prabu yang setia serta penuh kepahlawanan, yang menjadi panji segala raja, yang termahsyur Purnawarman.”
Prasasti Tugu, ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya (Cilincing), Kabupaten Bekasi. Prasasti ini berhuruf Palawa dan berbahasa Sansekerta, isinya sebagai berikut (diterjemahkan menurut Prof. Vogel) :
pura rajadhirajena guruna pinabahuna khata khyata puri prapya candrabhagarnnava yayau // pravarddamana dvavica dvatsare crigunaujasa narendradhvajabutena crimata purnnavarmmana // prarabhya phalgunemase khata krsna tsami tithau caitracukla trayodacya dinai siddhaika vincakai ayata shatsahasrena dhanusha (m) sa catena ca dvavincena nadi ramya gomati nirmalodaka // pitamahasya rajasher vvidarya cibiravani brahmanair ggosahasrena prayati krtadakshhino
“dahulu sungai Candrabaga digali oleh Rajadirajaguru yang berlengan kuat (besar kekuasaannya), setelah mencapai kota yang mahsyur, mengalirlah ke laut. Dalam tahun ke-22, pemerintahannya semakin sejahtera, panji segala raja, yang termahsyur Purnawarman, telah menggali saluran Gomati yang indah, murni airnya, mulai tanggal 8 bagian gelap bulan Palguna dan selesai dalam 20 hari. Panjangnya 6122 busur mengalir ke tengah-tengah tempat kakeknya, Sang Rajaresi. Setelah selesai dihadiahkan 1000 ekor sapi kepada para brahmana”.
Kemudian Prasasti Koleangkak, isinya sebagai berikut :
sriman
data krtajno narapatir
asamo yah pura tarumayam
namna cri purnavarmman pracuraripucarabhedyavikh
yatavarmmo tasyedam
padavimbadvayam
arinagarosadane nityadaksam bhaktanam yandripanam
bhavati sukhakaram salyabhutamripunam
“gagah, mengagumkan, dan jujur terhadap tugasnya adalah pemimpin manusia yang tiada taranya – yang termashur Sri Purnawarman – yang sekali waktu (memerintah) di Taruma dan baju zirahnya yang terkenal tidak dapat ditembus senjata musuh. Ini adalah sepasangtapak kakinya, yang senantiasa berhasil menggempur kota-kota musuh, hormat kepada para pangeran, tatapi merupakan duri dalam daging bagi musuh-musuhnya.”
WISNUWARMAN (434 – 455)
Wisnuwarman dinobatkan menjadi raja, 9 hari setelah ayahnya wafat. Penobatan dilaksanakan pada tanggal 3 Desember 434, dengan gelar nobat Sri Maharaja Wisnuwarman Digwijaya Tunggal Jagatpati. Perayaan penggantian raja baru ini dilaksanakan tiga hari tiga malam.
Berbeda dengan ayahnya yang sangat tempramental, Wisnuwarman memiliki sifat lebih penyabar dan tidak lekas marah. Meskipun demikian, sifat pemberani dan ahli bertempur warisan sang ayah tetap dimilikinya.
Setelah dinobatkan menjadi raja, Wisnuwarman mengirimkan duta kerajaannya untuk memberitahukan kepada raja-raja sahabat seperti Cina, India, Syangka, Campa, Yawana, Sumatera, Kutai, Sri Lanka, Darmanagari, dan yang lainnya. Utusannya tersebut dititipi pesan pemberitahuan kepada mereka bahwa Wisnuwarman telah menjadi penguasa Tarumanagara dan mempererat serta melanjutkan tali persahabatan.
Pada tahun ketiga masa pemerintahannya, Wisnuwarman bersama para pembesar Tarumanagara lainnya serta didampingi oleh para pendeta melakukan mandi suci (matirta) di Sungai Gangga (wilayah kerajaan Indraprahasta). Mandi suci tersebut dilaksanakan secara khusus atas anjuran para brahmana karena di tahun tersebut , Tarumanagara sering mendapat musibah bencana alam (gempa bumi) dan gerhana bulan. Tanda-tanda alam tersebut diyakini oleh para brahmana sebagai pertanda buruk yang akan membawa bencana bagi Tarumanagara. Upacara mandi suci itu diakhiri dengan pemujaan bagi Batara Wisnu dan Siwa dalam tempat pemujaan di sekitar sungai Gangga.
Suatu ketika, Wisnuwarman hampir saja akan terbunuh saat beliau berburu dalam hutan. Percobaan pembunuhan itu dilakukan oleh 4 orang yang tidak dikenal. Tetapi untung saja pasukan Bhayangkara (pasukan pengawal raja) dapat membunuh para pembunuh bayaran itu.
Meskipun kepemimpinan dari Wisnuwarman ini cukup baik, akan tetapi ada seseorang yang bernafsu untuk menghabisi nyawa Wisnuwarman. Rencana pembunuhan kedua terjadi beberapa bulan setelah usaha pembunuhan pertama dapat digagalkan. Kali ini “sang dalang” lebih nekad melakukan aksinya. Seorang pembunuh bayaran diutus untuk menyelinap ke dalam keraton, dan melakukan pengintaian beberapa hari. Setelah menemukan waktu yang tepat, pembunuh itu masuk ke kamar tidur raja dengan membawa beberapa senjata di malam saat Wisnuwarman dan permaisurinya yang bernama Suklawarmandewi sedang tertidur lelap. Bodohnya, pembunuh bayaran itu malah gemetar karena terpesona melihat kecantikan sang permaisuri yang sedang tertidur tanpa busana. Dalam keadaan gemetar, tanpa disadari pedang yang digenggamnya terjatuh dan membangunkan sang raja. Kemudian Wisnuwarman tanpa basa-basi langsung melumpuhkan pembunuh tolol itu dengan ilmu bela diri yang dimilikinya.
Beberapa hari kemudian, pembunuh tersebut disidangkan dihadapan raja dan pembesar keraton lainnya. Wisnuwarman yang langsung memimpin persidangan dengan penuh kesabaran mengorek keterangan dari pembunuh tersebut. Tanpa disangka, ternyata dalang dari semua usaha pembunuhan ini adalah pamannya sendiri yang bernama Cakrawarman (Mahamantri dan Panglima Perang Tarumanagara). Dari informasi pembunuh itu, diketahui bahwa Cakrawarman ingin merebut tahta kerajaan dengan cara menghabisi seluruh keturunan Wisnuwarman. Semua yang hadir di persidangan merasa terkejut mendengar laporan itu, karena selama ini mereka sangat menghomati Cakrawarman yang sangat besar jasanya selama mengemban tugas kerajaan. Bahkan Cakrawarman pernah menjadi kaki tangan (orang ke-2 di Tarumanagara) di masa pemerintahan Maharaja Purnawarman.
Sementara itu, sebelum persidangan dimulai, Cakrawarman bersama pengikutnya telah melarikan diri menuju daerah Wanagiri. Tindakan ini diambil, karena Cakrawarman telah menduga bahwa pembunuh utusannya itu akan membeberkan rencana jahatnya di dalam persidangan.
Meskipun usahanya selalu gagal, Cakrawarman tetap berambisi untuk menjadi penguasa Tarumanagara. Di Wanagiri, ia bersama komplotannya melakukan huru-hara ke daerah-daerah sekitarnya untuk mengganggu stabislitas keamanan serta menjatuhkan wibawa Wisnuwarman di mata penduduk.
Usaha kudeta Wisnuwarman ini didukung pula oleh 2 menteri Tarumanagara, 2 menteri dari kerajaan Agrabinta dan Purwanagara, Tumenggung dari daerah Purwalingga, Panglima dari Kerajaan Sabara, putra mahkota dari Kerajaan Gunung Kidul, dan seorang ksatria dari kerajaan Nusa Sabay.
Parahnya lagi, beberapa Panglima tinggi Tarumanagara yang seharusnya sebagai tunggul kerajaan ikut pula mendukung Cakrawarman dalam usaha perebutan kekuasaan ini. Para panglima tinggi itu antara lain Panglima Angkatan Perang, Panglima Angkatan Darat (wadya padati), Wakil Panglima Angkatan Laut, dan Kepala Bhayangkara.
Dengan dukungan penuh (termasuk prajurit) dari gabungan kekuatan-kekuatan tersebut, maka komplotan Cakrawarman berhasil menguasai separuh daerah di barat Jawa.
Atas desakan dari rakyat di beberapa daerah yang selama ini menjadi korban kekerasan komplotan Cakrawarman, akhirnya Wisnuwarman segera menyiapkan pasukan inti Tarumanagara (yang masih setia) untuk membasmi para pemberontak itu. Sementara itu, Wisnuwarman juga mengirim beberapa utusan ke beberapa daerah untuk segera menyiapkan bala bantuan. Beberapa kerajaan daerah (bawahan Tarumanagara) yang masih setia akhirnya bersedia membantu dengan mendatangkan pasukannya dan bergabung dengan Tarumanagara. Kerajaan-kerajaan daerah itu antara lain Ujung Kulon, Sabara, Salakanagara, Agrabinta dan Legon.
Terjadilah pertempuran antara pasukan Wisnuwarman dan Cakrawarman, setelah melakukan pertempuran yang sengit, pasukan Tarumanagara dan sekutunya berhasil menguasai Wanagiri. Tetapi, Cakrawarman bersama pasukannya yang sudah terdesak berhasil melarikan diri ke sebelah timur dan menyebrangi sungai Citarum sebelum akhirnya mendirikan markas sementara di hutan yang berada di wilayah Kerajaan Cupunagara. Cakrawarman memilih wilayah ini karena dia merupakan menantu dari Prabu Satyaguna (raja Cupunagara). Di wilayah ini, Cakrawarman memohon izin kepada mertuanya untuk mendirikan “kerajaan tandingan” bagi Tarumangara. Tetapi Prabu Satyaguna tidak mau mengambil resiko menjadi sekutu dari pemberontak ini, meskipun sang pemberontak adalah menantunya sendiri. Raja Cupunagara ini hanya mau membantu memberikan perbekalan dan senjata dengan syarat Cakrawarman harus segera meninggalkan wilayah kerajaannya.
Setelah kepentingannya tidak mendapat restu pihak Cupunagara, maka Cakrawarman dan pasukannya melanjutkan perjalanan ke arah tenggara dan mendirikan markas baru di Girinata (hutan bagian selatan wilayah Kerajaan Indraprahasta, di dekat situ terdapat sungai Cimanuk).
Prabu Wiryabanyu (raja Indraprahasta) mendapat informasi dari Tarumanagara bahwa wilayahnya telah dijadikan sarang pemberontak, dan dengan segera ia menyiapkan armada perangnya yang terkenal tangguh untuk mengepung persembunyian Cakrawarman dari arah timur. Pasukan tambahan yang datang dari Kerajaan Sindang Jero, Kerajaan Wanagiri, dan Kerajaan Manukrawa semakin memberikan kekuatan bagi pasukan sekutu dari Tarumanagara ini. Melalui siasat perang dari Prabu Wiryabanyu, akhirnya pasukan dibagi dua kelompok. Kelompok pertama dipimpin langsung oleh Prabu Wiryabanyu melalui jalan darat, sedangkan kelompok kedua dipimpin oleh Panglima Angkatan Laut Indraprahasta dengan menyusuri sungai Manukrawa (Cimanuk). Setelah masing-masing kelompok menggerakan pasukannya, tibalah kedua kelompok itu di pos pertama. Mereka mendirikan tenda disitu sambil menunggu kedatangan bala bantuan tambahan dari Kerajaan Singanagara, Kerajaan Sundu Gumita, dan Kerajaan Bumi Sagandu.
Setelah gabungan pasukan dari 7 kerajaan bawahan Tarumanagara itu semua berkumpul, malam harinya Prabu Wiryabanyu sebagai pimpinan perang dari semua kerajaan memerintahkan seluruh pasukannya untuk bersiap-siap menyerang komplotan Cakrawarman saat fajar datang.
Serangan sekutu Tarumanagara dengan kekuatan besar, datang dari berbagai penjuru serta dilakukan secara mendadak. Cakrawarman dan pasukannya terlihat kewalahan dan banyak yang tewas. Meskipin begitu, beberapa panglima tinggi Tarumanagara yang membelot masih bisa memberikan perlawanan. Cakrawarman yang melihat Prabu Wiryabanyu memimpin pasukan musuhnya, marah dan segera menghampiri raja Indraprahasta itu. Namun sebelum sampai menghadang Prabu Wiryabanya, pasukan bhayangkara yang bersenjatakan tombak dan panah telah terlebih dahulu merobohkan Cakrawarman hingga tewas.
Dalam peristiwa itu, sebagian besar komplotan Cakrawarman termasuk pembesar-pembesarnya tewas. Sedangkan beberapa komplotan yang terluka dibawa ke Jayasingapura (ibu kota Tarumanagara) untuk diadili. Mereka yang benar-benar terlibat kemudian dihukum mati, sedangkan yang hanya ikut-ikutan dikenai denda.
Prabu Wiryabanyu dan seluruh orang yang berjasa dalam aksi penumpasan itu diberi hadiah oleh Wisnuwarman. Beberapa jabatan tinggi yang selama ini dipegang oleh para pembelot langsung diganti oleh orang-orang dan panglima dari Kerajaan Indraprahasta.
Prabu Wisnuwarman memiliki dua orang permaisuri, yang pertama bernama Suklawarmandewi (adik dari raja Kutai), dan yang kedua bernama Suklawatidewi (puteri Prabu Wiryabanyu). Dari permaisuri yang pertama, Wisnuwarman tidak memiliki keturunan, karena sang permaisuri wafat dalam usia muda disebabkan penyakit lambung yang berkepanjangan. Penerus selanjutnya tahta Tarumanagara jatuh pada Indrawarman (puteranya dari isteri kedua).
INDRAWARMAN (455 – 515)
Sebagai raja Tarumanagara ke-5, beliau diberi nama nobat yaitu Sri Maharaja Indrawarman Sang Paramarta Saktimahaprabawa Lingga Triwikrama Buanatala.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Indrawarman dibantu oleh beberapa bawahan yang setia. Orang-orang kepercayaannya itu antara lain :
- Karabawarman (pamannya), menjabat sebagai menteri
2. Widalawarman (adiknya), menjabat sebagai menteri angkatan perang.
Dalam pemerintahan Indrawarman, kerajaan yang dipimpinnya memperoleh kemakmuran dan kesejahteraan. Perdagangan melalui jalur laut semakin berkembang. Karena itu gelombang pendatang ke Tarumanagara semakin banyak mengalir dan diterima dengan penuh persaudaraan. Stabilitas keamanan pun semakin kuat karena pengaruh prajurit Indraprahasta yang kini setia mengabdi pada Tarumanagara.
Indrawarman adalah seorang raja yang sangat toleran terhadap perkembangan agama di wilayahnya. Meskipun beliau dan sebagian besar lingkungan keraton memeluk agama Wisnu, tetapi para penduduk dibebaskan dan dihormati dalam hal memilih kepercayaan yang dianut.
Indrawarman memiliki beberapa orang putera dan puteri, diantaranya adalah :
1. Candrawarman, sebagai putra mahkota yang kelak menggantikannya.
2. Komalasari, puteri ini menikah dengan menteri dari kerajaan Kendari.
3. Santawarman, memilih menjadi seorang brahmanaresi.
CANDRAWARMAN (515 – 535)
Beliau dinobatkan sebagai raja Tarumanagara ke-6 dengan gelar Sri Maharaja Candrawarman Sang Harimangsa Purusakti Suralagawagengparamarta. Setelah penobatannya, beliau mengirimkan duta kerajaan untuk menyampaikan surat pemberitahuan mengenai penobatannya sebagai raja Tarumanagara yang baru.
Di masa kekuasaannya, Tarumanagara dalam keadaan yang tentram damai dan sejahtera. Sikap toleran ayahnya kepada para pemeluk agama tetap dipakai oleh Candrawarman.
Pada tahun 532, sikap toleransi itu semakin melebar kepada sikapnya dalam memerintah terutama pada raja-raja daerah yang selama ini telah teruji kesetiaannya. Kebijakan ini diambil sebagai hadiah kepada daerah-daerah tersebut, yang dianggap setia kepada Tarumanagara. Saat itu banyak dari kerajaan daerah yang sebelumnya pernah ditaklukan Purnawarman diberikan kemerdekaan.
Candrawarman memiliki 4 orang anak, mereka itu antara lain :
1. Suryawarman, kelak menggantikan kedudukan Candrawarman.
2. Mahisawarman, menjadi menteri Kerajaan Tarumanagara.
3. Matsyawarman, menjadi panglima angkatan laut Tarumanagara.
4. Dewi Bayusari, diperistri oleh putra mahkota Kerajaan Pali (Sumatera tengah dan Utara).
Candrawarman wafat pada bulan Februari / Maret tahun 535.
SURYAWARMAN (535 – 561)
Merupakan Raja Tarumanagara yang ke-7. Beliau dinobatkan menjadi raja setelah ayahnya wafat, dan beliau diberi gelar Sri Maharaja Suryawarman Sang Mahapurusa Bimaparakrama Hariwangsa Digwijaya. Seperti tradisi raja-raja Tarumanagara sebelumnya, Suryawarman pun mengirimkan duta kepada
kerajaan sahabat yang memberitahukan bahwa Candrawarman telah wafat dan kini kekuasaanTarumanagara dipegang oleh dirinya. Kerajaan sahabat itu antara lain negara-negara di sebelah barat dan timur Semenanjung (termasuk Cina) dan kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Dalam masa kekuasaannya, Suryawarman membawa Tarumanagara ke dalam puncak kebesarannya. Wilayah timur yang sebelumnya kurang diperhatikan, menjadi prioritas utama dalam pengembangan potensi kerajaan. Seperti juga kebijakan politik ayahnya, Suryawarman pun melakukan hal yang serupa, dimana daerah-daerah yang belum merdeka akhirnya dibebaskan. Tidak hanya itu, daerah-daerah tersebut diberikan hak otonom penuh untuk mengurus pemerintahannya sendiri dan pergantian kekuasaan di tiap daerah diserahkan kepada keturunan penguasa setempat. Beliau memiliki 3 orang anak, antara lain :
1. Kretawarman, kelak menjadi raja Tarumanagara selanjutnya.
2. Sudawarman, sejak kecil tinggal di Kanci (India Selatan) dan kemudian menikah dengan adik dari raja Palawa.
3. Tirtakancana, yang kemudian menikah dengan Maharesi Manikmaya (raja Kerajaan Kendan).
Dari Manikmaya inilah Suryawarman mendapatkan cucu yang bernama Rajaputra, cucunya ini tinggal di Ibukota Tarumanagara bersama Suryawarman (kakeknya). Kemudian Rajaputra menjadi Panglima Angkatan Perang Tarumanagara.
Suryawarman meninggalkan sebuah prasasti yang dibuat pada tahun 458 Saka atau 536 Masehi dalam bentuk batu tulis. Beberapa abad kemudian, prasasti peninggalannya ditemukan di sebuah tepian sawah yang berada dalam wilayah Kampung Muara (Cibungbulang), Bogor. Pada prasasti tersebut, angka tahunnya bercorak "sangkala" yang mengikuti ketentuan "angkanam vamato gatih" (angka dibaca dari kanan) dan terdiri dari 4 baris. Isi dari prasasti tersebut adalah (terjemahannya menurut Bosch) :
ini sabdakalanda rakryan juru panga
mbat i kawihaji panyca pasagi marsa
ndeca barpulihkan haji su
nda
"Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam (tahun Saka) (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan daerah dipulihkan kepada raja Sunda".
Kata “raja Sunda” dalam prasasti ini bermaksud untuk menyebutkan jati diri dari Suryawarman selaku raja Tarumanagara yang saat itu beribukota di kota Sundapura.
KRETAWARMAN (561 – 628)
Merupakan raja Tarumanagara ke-8, yang bergelar Sri Maharaja Kretawarman Mahapurusa Hariwangsa Digwijaya Salakabumandala.
Pada tahun 565, Kretawarman mengadakan hubungan diplomatik dengan Cina, India, Syangka, Yawana, Campa, Kamboja, Sopala, Gaudi (Benggala), Semenanjung, Singanagara, dan Mahasin (Singapura). Melalui utusannya, beliau bermaksud untuk melanjutkan jalinan kerjasama seperti raja-raja Tarumanagara sebelumnya dengan negara-negara sahabat.
Salah satu utusan Tarumanagara yang dikirimkan ke Cina, pernah mendapat rintangan di tengah perjalanannya. Ketika itu, mereka baru sampai di Laut Cina, dan dihadang oleh kawanan bajak laut. Maka terjadilah pertempuran antara pihak Tarumanagara dengan perompak kapal tersebut. Di saat pertempuran berlangsung, kapal angkatan laut Cina datang membantu dan akhirnya para bajak laut itu bisa dikalahkan. Mayat-mayat para perompak itu ditumpuk menjadi satu di atas geladak kapalnya, dan kemudian dibakar oleh prajurit Cina. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, akhirnya kapal utusan Tarumanagara mendapat pengawalan khusus dari kapal perang Cina hingga sampai ke negeri tirai bambu tersebut.
Kretawarman memiliki permaisuri yang berasal dari Kerajaan Calankayana. Tetapi di suatu saat, Kretawarman bertemu dengan seorang gadis yang akhirnya menjadi pangkal bencana di Kerajaan Tarumanagara.
Pertemuan dengan gadis itu terjadi saat sang raja berburu di hutan dekat sungai Candrabagha. Di hutan tempat Cakrawarman berburu terdapatlah sebuah pondok milik keluarga yang berprofesi sebagai pencari kayu bakar. Kecantikan dari anak pencari kayu bakar, membuat Kretawarman kagum. Beberapa saat kemudian, seorang saudagar Sumatera yang mengetahui Kretawarman menyukai gadis itu akhirnya membawa sang gadis ke Sumatera dan memberinya nama Satyawati. Setelah Satyawati dewasa akhirnya saudagar Sumatera itu menghadiahkan Satyawati pada Kretawarman.
Di masa-masa awal, Satyawati hanya dijadikan sebagai seorang selir bagi Kretawarman, namun rupanya Satyawati menginginkan menjadi permaisuri (istri raja yang syah). Dikarenakan Kretawarman tidak mempunyai keturunan dari permaisurinya, maka Satyawati merancang skenario yang seolah-olah dia sedang mengandung seorang anak dari Kretawarman. Sang raja yang sangat mengharapkan keturunan sedangkan permaisurinya yang syah tak kunjung memberinya keturunan, Kretawarman saat itu merasa senang mendengar kabar bahwa Satyawati sedang mengandung.
Karena keadaan itu, maka Kretawarman akhirnya menjadikan Satyawati sebagai permaisuri. Setelah maksudnya tercapai, akhirnya Satyawati mengaku kepada Kretawarman bahwa kandungannya itu hanyalah sebuah rekayasa belaka. Namun karena cintanya yang teramat sangat pada Satyawati, Kretawarman tidak bisa berbuat apa-apa dan beliau sendiri menyadari bahwa selama ini dirinya memang mandul. Untuk menutupi rekayasa selama ini, akhirnya Kretawarman dan Satyawati memutuskan untuk mengangkat seorang anak yang diberi nama Brajagiri. Sama halnya silsilah Satyawati, anak yang diangkatnya ini juga merupakan seorang anak dari pencari kayu bakar.
Sepandai-pandainya mereka menyimpan rahasia, akhirnya rahasia itu terbongkar juga dan menjadi pergunjingan di lingkungan keraton. Mereka mencela perbuatan Kretawarman yang telah menikahi dan mengangkat anak dari kasta sudra. Tradisi kerajaan yang saat itu dipegang teguh, menegaskan bahwa seorang wanita sudra tidak boleh dijadikan istri oleh sang raja. Karena itulah, Kretawarman telah dianggap melakukan pelanggaran besar.
Meskipun demikian, tahta yang dipegang oleh Kretawarman tetap tak tergoyahkan. Bahkan, Brajagiri diangkat oleh Kretawarman sebagai senapati kerajaan. Kritikan tajam mengenai kebijakannya ini tak dihiraukan oleh sang raja yang saat itu didukung oleh bhayangkara yang sangat setia padanya.
Saat Kretawarman wafat, tahta Tarumanaga segera diambil alih oleh adiknya yang bernama Sudawarman.
SUDAWARMAN (628 – 639)
Dinobatkan sebagai raja Tarumanagara ke-9 dengan gelar Sri Maharaja Sudawarman Mahapurusa Sang Paramartaresi Hariwangsa. Beliau sejak kecil tinggal di Kanci (wilayah Kerajaan Palawa di India Selatan), dan datang ke Tarumanagara untuk mengisi kekosongan kekuasaan setelah kakaknya tidak mempunyai keturunan.
Sudawarman memiliki sikap penyabar dan berbudi luhur. Karena itulah, Brajagiri yang selama ini kehadirannya sering menimbulkan kontra di lingkungan istana tetap dipertahankan jabatannya sebagai senapati. Namun sikap baik yang dimilikinya itu tidak dapat mengangkat pamor Tarumanagara yang mulai menurun. Kebesaran Tarumanagara mulai tertandingi oleh kerajaan-kerajaan baru yang mulai muncul di saat itu. Di wilayah barat Jawa sendiri, saat itu muncul Kerajaan Galuh.
Beliau memiliki seorang permaisuri yang dinikahinya saat masih berada di India. Permaisuri tersebut merupakan adik dari Mahendrawarman (raja Kerajaan
Palawa). Dari pernikahan dengan permaisuri yang tidak diketahui namanya itu, Sudawarman memiliki seorang putera yang bernama Dewamurti.
DEWAMURTI (639 – 640)
Raja ini dilahirkan dan dibesarkan di India dan menjadi raja Tarumanagara ke-10 menggantikan ayahnya yang wafat. Saat penobatan, beliau diberi gelar Sri Maharaja Dewamurtyatma Hariwangsawarman Digwijaya Bimaparakarma.
Beliau memiliki 2 orang anak, antara lain :
1. Mayasari, Puterinya ini kemudian menikah dengan raja Cupunagara yang bernama Nagajaya.
2. Astuwarman, kelak menjadi Purohita (pendeta tertinggi istana).
Dewamurti memiliki perangai yang keras serta tidak mengenal belas kasihan, sikap ini mungkin didapatkan dari tempaan tradisi dan budaya India yang lebih keras daripada Tarumanagara.
Dewamurti sangat membenci Brajagiri (anak angkat uwaknya) yang dianggap dapat mengganggu kekuasaannya, dan ketidak senangannya ini diperlihatkan secara terang-terangan. Dewamurti menunjukan sikap bukan seperti ksatria umumnya, beliau seringkali mencela dan memperolok Brajagiri di depan khalayak. Brajagiri yang selama ini menjabat sebagai senapati, diturunkan jabatannya menjadi penjaga gerbang keraton. Selain itu, Brajagiri pun dikucilkan dari lingkungan keraton.
Seperti tradisi di India yang begitu ekstrim terhadap penggolongan kasta, maka Dewamurti memberikan jabatan perwira rendahan (hulu ning wira kanista) kepada Brajagiri dengan dalih bahwa seorang berkasta sudra tidak pantas memegang jabatan tinggi.
Sikap pelecehan Dewamurti terhadap Brajagiri, membuat mantan senapati itu sakit hati. Meskipun berusaha untuk sabar, tetapi Brajagiri akhirnya tidak dapat menahan diri lagi. Setelah menunggu waktu yang tepat, Brajagiri berhasil membunuh Dewamurti.
Pembunuhan ini murni atas balasan sakit hatinya, bukan usaha untuk mengkudeta kekuasaan. Karena itulah, perbuatannya dilakukan seorang diri tanpa melibatkan orang lain atau membentuk suatu komplotan. Setelah berhasil membunuh sang raja, Brajagiri melarikan diri di hutan.
Persembunyian Brajagiri, diketahui oleh menantu dari Dewamurti yang bernama Nagajaya (raja Kerajaan Cupunagara). Atas dasar membalas kematian dari mertuanya, akhinrnya Nagajaya betarung dengan Brajagiri. Pertarungan sengit itu dimenangkan oleh Nagajaya dan Brajagiri tewas di tangannya.
NAGAJAYAWARMAN (640 – 666)
Beliau merupakan suami dari Mayasari (puteri sulung Dewamurti). Setelah mertuanya dibunuh oleh Brajagiri, maka Nagajaya naik tahta untuk menggantikan mertuanya. Saat penobatan, raja Tarumanagara ke-11 ini diberi gelar Sri Maharaja Nagajaya Warman Darmasatya Cupujayasatru.
Di masa kekuasaannya, Nagajayawarman mengangkat adik iparnya yang bernama Astuwarman sebagai purohita (pendeta tertinggi istana).
Dari pernikahannya dengan Mayasari, raja ini mempunyai beberapa orang anak. Putera sulungnya yang bernama Linggawarman menjadi penerus kerjaan Tarumanagara.
LINGGAWARMAN (666 – 669)
Merupakan Raja Tarumanagara ke-12 atau bisa dikatakan juga merupakan Raja Tarumanagara yang terakhir. Saat penobatan, beliau diberi gelar Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirtabumi. Penobatan itu dilaksanakan pada tanggal 1 April 666. Linggawarman hanya memerintah selama tiga tahun, karena ia wafat pada tahun 669.
Beliau memiliki permaisuri yang bernama Ganggasari (puteri Prabu Wisnumurti / raja Indraprahasta ke-11). Dari pernikahannya ini, mereka dikaruniai
dua orang puteri, mereka itu antara lain :
1. Dewi Manasih, menikah dengan Tarusbawa (berasal dari Sunda Sembawa).
2. Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Jayanasa (pendiri Kerajaan Sriwijaya).
Setelah Linggawarman wafat di tahun 669, tampuk pimpinan Tarumanagara diserahkan pada menantunya yang bernama Tarusbawa. Namun Tarusbawa, mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda.
Pada umumnya tertarik dengan pos ini. Saya tertarik dengan kalimat: Dari istrinya yang berasal dari Kutai, melahirkan Wisnuwarman dan seorang putri yang menikah dengan raja di Sumatra yang kelak menurunkan Daponta Hyang Sri Jayanasa, sekitar tahun 400 M untuk kelahiran putri tersebut. Jika benar demikian maka asal Sriwijaya berasal dari Lampung dan bukan dari semenanjung Malaka atau Funan, dan kaitannya dengan wangsa Sailendra akan cepat diketahui.
ReplyDeleteDipunta Hyang Jayanasa berasal Dari Semenanjung Tanah Melayu tepatnya dipersekutuan Tanah Merah aka Chih tu dalam Kronik China,di negara Ini terdapat sebuab Negara Kota yang Bergelar SinghaNagara yang mana juga menjadi Negara Sahabat Tarumanagara ....
ReplyDeleteKerajaan Persekutuan Tanah Merah adalah serpihan Empayar funan dan juga tempat asalnya Para Pemerintah Funan ....
Negara ini termasuk Kedah Tua berdasarkan Kajian Semasa ...