Wilayah kerajaan ini meliputi bagian barat Pulau Jawa, batasnya di sebelah Timur adalah Sungai Cimanuk, tetapi kemudian batas itu pindah ke sebelah Barat ke sungai Cilosari. Sebagian besar Tanah Sunda berupa dataran tinggi dan pegunungan, hanya bagian utara yang berupa dataran rendah. Pegunungan itu memanjang dari Barat ke Timur. Tanahnya subur, karena bagian atasnya dilapisi tanah hasil semburan lava gunung berapi. Banyak pula dijumpai sungai yang berkelok-kelok mengalir dari daerah pedalaman (pegunungan) menuju laut, baik di Utara (Laut Jawa), Barat (Selat Sunda) maupun di Selatan (Lautan Hindia).
Batas sebelah barat Tatar Sunda berupa laut yang memisahkan Pulau Jawa dengan Pulau Sumatera, yang disebut Selat Sunda. Letak Selat ini sangat strategis sehingga memiliki peranan penting dalam perjalanan sejarah kawasan ini, salah satu jalan yang dilalui route perdagangan laut yang menghubungkan kawasan Nusantara dan Asia Tenggara dengan kawasan Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia Barat serta kemudian Eropa sejak awal masa sejarah (abad-abad pertama masehi).
Jika dilihat dari nama-nama yang berkuasa di Kerajaan Sunda, kita akan banyak sekali menjumpai nama yang berawalan “Rakeyan”, kemungkinan dari nama itulah kemudian di kemudian hari berubah pelafalannya menjadi “Raden”, sebagai gelar untuk orang yang dianggap memiliki keturunan “darah biru”.
Di bawah ini adalah urutan Raja-raja Sunda :
1. TARUSBAWA (669 - 723)
Tarusbawa lahir dan besar di Sundapura (bekas ibukota Tarumanagara). Pada saat itu Sundapura sudah beralih fungsi dari ibukota menjadi tanah kabuyutan (daerah yang dianggap suci) yang disebut Sunda Sembawa.
Ketika melanjutkan tampuk kekuasaan dari mertuanya Linggawarman (Raja Tarumanagara ke-12), beliau dinobatkan sebagai raja Tarumanagara pada tanggal 18 Mei 669, dengan gelar Sri Maharaja Tarusbawa Darma Wastika Manungga Manggalajaya Sunda Sembawa. Menurut informasi dari sumber berita Cina, utusan Tarumanagara yang terakhir mengunjungi negeri itu terjadi pada tahun 669. Tarusbawa memang mengirimkan utusan yang memberitahukan penobatannya kepada negeri-negeri sahabatnya termasuk kepada raja Cina pada tahun 669.
Pada masa kekuasaannya, pamor Tarumanagara sudah sangat menurun, sehingga ia ingin mengembalikan keharuman jaman Purnawarman yang berkedudukan di ibukota Sundapura. Akhirnya pada tahun 670, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Jadi dapat dikatakan, bahwa Kerajaan Sunda adalah penerus resmi dari Kerajaan Tarumanagara.
Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru di daerah pedalaman dekat Hulu Cipakancilan, yang kemudian dikenal dengan nama Pakuan. Di ibu kota baru inilah, Tarusbawa mendirikan 5 buah keraton yang bentuk maupun besarnya sama, dan posisinya berjajar. Keraton tersebut masing-masing diberi nama yaitu Bima, Punta, Narayana, Madura, dan Suradipati. Setelah keraton tersebut selesai dibangun, kemudian diberkati oleh Bujangga Sedamanah di hadapan Tarusbawa.
Peristiwa pergantian nama kerajaan ini kemudian dijadikan alasan oleh Wretikandayun (Raja Galuh pertama) untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa. Tuntutan pemisahan kekuasaan ini disampaikan melalui sebuah surat (lihat Kerajaan Galuh, sub-Wretikandayun).
Sebelumnya, kerajaan Galuh memang merupakan kerajaan dibawah pengaruh dari Tarumanagara. Dikarenakan Tarusbawa adalah seorang raja yang penyabar dan cinta damai, serta ingin menghindari perang saudara dengan Galuh, akhirnya Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Kawasan bekas kekuasaan Tarumanagara kemudian dipecah menjadi dua kerajaan yang tingkatnya sejajar, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan sungai Citarum sebagai batasnya (Cianjur ke Barat wilayah Sunda, Bandung ke Timur wilayah Galuh)..
Sebenarnya angkatan perang Kerajaan Sunda belum tentu kalah dari angkatan perang Galuh. Tetapi untuk membina sikap persaudaraan dengan Galuh, maka Tarusbawa berpikir lebih baik membina separuh kerajaan tetapi kuat, daripada menguasai seluruh wilayah kerajaannya dalam posisi lemah.
Sekitar tahun 684, terjadi suasana panas antara dua kerajaan terbesar di Nusantara yaitu Sriwijaya dan Kalingga (diperintah oleh Ratu Sima). Raja Sriwijaya yang bernama Dapunta Hiyang Sri Jayanasa merupakan sahabat dan saudara dari Tarusbawa (sama-sama menantu dari Linggawarman / raja Tarumanagara terakhir).
Untuk mengantisipasi keadaan panas yang berkelanjutan, pihak Kerajaan Sriwijaya menginginkan adanya kerjasama dengan Kerajaan Sunda dan Kerajaan Kalingga. Akhirnya, pada tanggal 22 Januari 685, Tarusbawa dan Dapunta Hiyang Sri Jayanasa mengadakan perjanjian kerjasama antar 2 kerajaan. Perjanjian tersebut di abadikan oleh Tarusbawa dalam sebuah prasasti yang ditulis dalam bahasa Sunda dan Melayu. Tetapi pihak Kalingga, jelas-jelas menolak ajakan kerjasama dari Sriwijaya.
Tolakan dari Kalingga itu semakin membuat keadaan panas. Puncak dari permusuhan Kalingga-Sriwijaya terjadi pada tahun 686. Kedua kerajaan besar itu sudah menyiapkan armada perangnya untuk bertempur. Sikap cinta damai Tarusbawa lagi-lagi terlihat, saat keadaan hampir tak terkendali, beliau mencegah Dapunta Hiyang Sri Jayanasa untuk melakukan serangan ke Kerajaan Kalingga. Melalui saran dari Tarusbawa, akhirnya Sriwijaya mengurungkan niat penyerbuannya. Hal tersebut terlihat, ketika Sriwijaya mulai melunak dengan membebaskan kapal-kapal dagang Kalingga yang ditahan setelah merampas muatannya.
Tarusbawa memiliki seorang permaisuri yang bernama Dewi Manasih (puteri sulung Linggawarman / raja Tarumanagara ke-12). Dari pernikahannya itu beliau memiliki seorang putera yang tidak diketahui namanya. Sang putera mahkota Sunda ini wafat lebih dulu dari Tarusbawa. Beruntunglah, sebelum putera mahkota Sunda ini wafat, dia sudah memiliki 2 orang puteri, yang kemudian si sulung ditunjuk sebagai puteri mahkota baru. Puteri-puteri ini bernama :
1. Sekar Kencana / Teja Kancana Ayupurnawangi, sekitar tahun 703 menikah dengan Sanjaya (anak Bratasenawa / raja Galuh ke-3). Dari pernikahannya itu lahirlah Rakeyan Panaraban / Tamperan Barmawijaya pada tahun 704.
2. Mayangsari, kemudian menikah dengan Anggada (putera Wangsanagara / patih Kerajaan Sunda).
Pada saat terjadi perebutan kekuasaan di Galuh (antara Bratasenawa dan Purbasora), Tarusbawa menghormati siapapun yang akan meneruskan tahta Galuh. Sikapnya ini kemungkinan besar, Tarusbawa tengah sibuk dalam memerangi gangguan bajak laut yang diam-diam didalangi oleh Sriwijaya di perairan Selat Sunda.
Meskipun antara raja Sriwijaya dengan raja Sunda bersaudara, tetapi kekayaan alam yang dimiliki oleh Kerajaan Sunda sangat membuat Sriwijaya menginginkannya. Apabila secara terang-terangan, mungkin Sriwijaya merasa malu untuk mengutarakan niatnya menguasai Sunda, maka lewat cara sembunyi-sembunyi seperti itulah Sriwijaya melancarkan niatnya.
Sementara itu perselisihan di Galuh terus berkecamuk dan kali ini melibatkan Sanjaya (suami dari Sekar Kencana / calon pengganti tahta Sunda). Silsilah Sanjaya yang merupakan anak dari Bratasenawa (raja Galuh yang terusir oleh Purbasora) tentunya merasa dendam kepada Purbasora.
Di saat terjadi kudeta di Kerajaan Galuh, Sanjaya sedang berada di Bumi Mataram (salah satu pecahan Kerajaan Kalingga) bersama neneknya (Dewi Parwati) yang berkuasa di sana. Ketika melihat sang ayah terusir dari tahta Galuh oleh Purbasora, maka timbullah perasaan emosi yang meluap-luap di diri Sanjaya.
Sanjaya berniat untuk membalaskan dendam ayahnya. Akan tetapi, Bratasenawa mencegahnya karena sang ayah terkenal begitu sabar dan taat beragama. Bratasenawa berpesan, bila pun akhirnya Sanjaya akan menuntut balas pada Purbasora, maka dia harus tetap menghormati sesepuh Galuh yang masih hidup (Sempakwaja dan Jantaka).
Nasib Bratasenawa sendiri akhirnya menjadi raja di Bumi Mataram untuk menggantikan Dewi Parwati.
Sanjaya yang tekadnya begitu besar untuk menyerang Galuh, akhirnya terlaksana dengan bantuan pasukan dari Kerajaan Bumi Mataram dan Kerajaan Bumi Sembara (keduanya merupakan pecahan dari Kerajaan kalingga). Secara diam-diam pasukan tersebut memasuki wilayah barat Jawa, sedangkan Sanjaya sendiri menyamar ke Kerajaan Denuh untuk menemui Resiguru Jantaka (salah seorang sesepuh Galuh yang menjadi raja di Denuh). Pada tokoh bijak itu, Sanjaya meminta agar Resiguru Jantaka mau menjadi penengah atas pemberian hak waris yang syah untuk Kerajaan Galuh. Tetapi Jantaka menolak permintaan itu dan memilih bersikap netral, hal itu terjadi karena putera Jantaka yang bernama Bimaraksa sudah menjadi senapati Galuh dan termasuk salah satu pendukung Purbasora saat kudeta. Resiguru Jantaka juga meminta kepada Sanjaya agar tidak memusuhi dirinya dan Bimaraksa.
Setelah meminta restu pada Resiguru Jantaka, kemudian Sanjaya menuju Pakuan untuk menemui Trausbawa (kakek istrinya). Dengan sikap bijaksananya, Tarusbawa mengatakan kepada Sanjaya bahwa kerajaan Sunda tidak bisa membantu karena secara diplomatik masih berhubungan baik dengan Kerajaan Galuh pimpinan Purbasora. Akan tetapi Tarusbawa sempat menasehati Sanjaya agar bertindak hati-hati karena pasukan Galuh terdiri dari orang-orang pilihan yang berasal dari Kerajaan Indraprahasta. Untuk menandingi kehebatan bertempur mereka, satu-satunya jalan adalah Sanjaya untuk meminjam Pustaka Ratuning Bala Sariwu (kitab konsep pembentukan negara yang aman dengan pasukan istimewa serta militan, warisan Kerajaan Kendan) yang saat itu berada di tangan Resiguru Rabuyut Sawal di kaki Gunung Sawal.
Atas nasehat dari Tarusbawa, Sanjaya menuju ke kaki Gunung Sawal untuk meminjam pustaka itu, dan akhirnya wilayah kaki gunung Sawal dipilih sebagai markas dan tempat berlatih dari pasukan Sanjaya. Setelah sekian lama berlatih, pasukan Sanjaya melakukan praktek untuk membantu Kerajaan Sunda dalam menumpas bajak laut. Ternyata teori dari Pustaka Ratuning Bala Sariwu sangat ampuh saat dipraktekan dan berhasil menumpas bajak laut.
Pada tahun 723, Tarusbawa wafat pada usia 91 tahun. Tahta kerajaan Sunda diserahkan kepada suami cucunya (Sanjaya). Sedangkan suami dari Mayangsari yang bernama Anggada diangkat menjadi Patih Kerajaan.
2. PRABU SANJAYA HARISDARMA (723 - 732)
( RAKEYAN JAMRI )
Selain memperistri Sekar Kencana, Sanjaya juga memiliki istri kedua yang bernama Sudiwara dari Kerajaan Bumi Sembara. Dari pernikahan keduanya itu, Sanjaya memperoleh keturunan yang bernama Rakai Panangkaran (calon Raja Bumi Mataram ke-3) yang lahir pada tahun 717.
Wafatnya Tarusbawa membawa Sanjaya menduduki jabatan tertinggi di Kerajaan Sunda dan diberi gelar Maharaja Harisdarma Bimaparakrama Prabu Maheswara Sarwajitasatru Yudapumajaya. Saat Tarusbawa berkuasa, Kerajaan Sunda memilih netral dalam rencana penyerangan Sanjaya terhadap Galuh. Namun setelah Sanjaya berkuasa, otomatis Kerajaan Sunda menjadi bagian dari pasukan penyerangan terhadap Galuh. Kekuatan Sanjaya untuk menyerang Galuh, semakin kuat setelah prajurit dari Kerajaan Sunda di ikut sertakan bergabung dengan prajurit-prajurit Bumi Mataram dan Bumi Sembara.
Pasukan khusus dari Bumi Mataram dan Bumi Sembara langsung dipimpin Sanjaya dengan tugas untuk melakukan serangan. Sedangkan Patih Anggada memimpin pasukan Kerajaan Sunda bertugas untuk mengurung ibukota Galuh dan menghadang setiap prajurit Galuh yang akan melarikan diri. Dengan strategi perang ajaran Pustaka Ratuning Bala Sariwu, akhirnya serangan dilakukan pada malam hari dengan diam-diam dan mendadak. Pasukan Galuh dari Indraprahasta tidak sempat melakukan perlawanan yang berarti akibat dari serangan kilat ini. Seluruh keluarga Purbasora gugur, sedangkan Purbasora sendiri tewas saat langsung berhadapan dengan Sanjaya. Bimaraksa selaku senapati Galuh, dibiarkan lolos oleh pasukan Sanjaya (hal ini merupakan amanat dari Resiguru Jantaka yang dijunjung tinggi oleh Sanjaya). Kemudian Bimaraksa dan beberapa pengikutnya bersembunyi di daerah Geger Sunten.
Akhirnya setelah peristiwa itu, kerajaan Galuh kemudian dianggap sebagai bawahan dari Kerajaan Sunda (tidak lagi sejajar). Galuh yang telah dikuasainya, dipercayakan pemerintahannya kepada Premana Dikusuma (cucu Purbasora), di bawah pengawasan Tamperan Barmawijaya (anak Sanjaya) yang ditugaskan menjadi patih di Galuh. Sedangkan Sanjaya meneruskan kepemimpinannya di Kerajaan Sunda.
Pada suatu kesempatan, Sempakwaja (ayah Purbasora) sempat menyindir bahwa kekuasaan Sanjaya di tengah Jawa belum ada apa-apanya sehingga belum pantas untuk membawahi Kerajaan Galuh. kemudian Sempakwaja sebagai penguasa Galunggung menantang Sanjaya untuk melawan “tritunggal” andalannya. “Tritunggal” tersebut adalah 3 orang raja bawahan Kerajaan Galunggung. Sanjaya yang merasa panas akibat sindiran itu, langsung bersama pasukannya menyerbu Kuningan, tempat dimana “tritunggal” berada. Namun, Sanjaya memang masih terlalu “mentah” untuk bisa mengalahkan kehebatan raja-raja senior itu. Sanjaya dan pasukannya diceritakan dikejar-kejar “tritunggal” hingga terpaksa kembali ke Galuh.
Mungkin karena perasaan malu telah dikalahkan oleh “tritunggal”, maka pada tahun 724, Sanjaya kemudian membuktikan kemampuannya yaitu dengan menyerang beberapa kerajaan di tengah Jawa dan sebagian kecil daerah timur Jawa. Penyerangan itu menghasilkan kemenangan bagi Sanjaya. Setelah berhasil melalui peperangan disana, Sanjaya kemudian kembali memasuki wilayah pinggiran kekuasaan Kerajaan Kuningan yang saat itu diperintah oleh Demunawan (anak ke-2 Sempakwaja). Dalam penyerangannya kali ini, akhirnya Sanjaya berhasil melunasi “utang” kekalahan dari “tritunggal”. Kemenangan ini hanya bersifat pelunasan utang, bukan maksud hati untuk menguasai wilayah Kuningan.
Kemenangan ini membuat Sanjaya semakin diperhitungkan, dan Kerajaan Kuningan yang tadinya ingin menjadi Kerajaan tandingan dari Kerajaan Galuh-Sunda akhirnya mengakui kehebatan Sanjaya.
Pada tahun-tahun berikutnya, akhirnya antara Sanjaya dan Demunawan menghapuskan segala bentuk pemusuhan diantara kerajaan mereka. Bahkan Sanjaya tetap menghormati Demunawan sebagai seorang tokoh tua yang harus dihormati, kejadian ini diperlihatkan ketika Demunawan berkunjung pada Sanjaya, dan di perbatasan Sanjaya melakukan penghormatan dengan cara membasuh kaki Demunawan.
Dengan adanya perdamaian antara Sunda dan Galuh, kegemaran Sanjaya dalam hal berperang tidak luntur. Kali ini Sanjaya melakukan ekspedisi perang ke daerah perairan Selat Sunda, bahkan sempat mengalahkan Kerajaan Sriwijaya yang saat itu dipimpin oleh Indrawarman. Kemenangan melawan Sriwijaya semakin membuat Sanjaya menjadi-jadi, peperangan diteruskan hingga ke Kerajaan Melayu.
Karena beliau juga masih merupakan ahli waris Bumi Mataram (ayahnya yang bernama Bratasenawa menjadi raja Bumi Mataram setelah tahtanya dari Kerajaan Galuh direbut Purbasora), maka pada tahun 731 beliau dipanggil Bratasenawa menjadi penguasa Bumi Mataram. Dengan demikian, kali itu Sanjaya menjadi penguasa di 3 daerah yaitu Sunda-Galuh-Bumi Mataram, karena itu Sanjaya menyebut dirinya sebagai Maharaja Pulau Jawa (Taraju Jawadwipa).
Pada tahun 732 Sanjaya memprakarsai semacam konfrensi yang diadakan oleh raja-raja di seluruh pulau Jawa. Ibukota Galuh dipilih sebagai tempat konfrensi. Hasil dari konfrensi itu adalah merumuskan bahwa :
· daerah sebelah barat Citarum sampai ke Ujung Kulon, menjadi hak waris keturunan Tarusbawa.
· daerah sebelah timur Citarum termasuk Jawa Pawatan dibagi dua, antara Tamperan yang menguasai bagian selatan dan Demunawan menguasai bagian utara (termasuk kekuasaan Galunggung dan dan ibukota Kuningan, Saung Galah).
· bagian tengah pulau Jawa akan diperintah oleh Sanjaya dan menjadi hak waris keturunan Galuh-Kalingga.
· daerah sebelah timur bagian utara Kali Progo menjadi bagian Prabu Narayana dan keturunannya dari keluarga Kalingga (Bumi Sembara).
Dari hasil konfrensi itu, tampaklah bahwa Tamperan Barmawijaya didaulat sebagai penerus Kerajaan Sunda, sedangkan Sanjaya sendiri lebih memfokuskan pada pemerintahannya di Bumi Mataram.
Dengan mempertimbangkan hasil konfrensi antar raja di Pulau Jawa itu, maka, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan dalam satu kekuasaan.
3. TAMPERAN BARMAWIJAYA (732 - 739)
( RAKEYAN PANARABAN )
Beliau menjadi penerus Kerajaan Sunda, dan tercatat sebagai Raja Sunda yang ke-3. Disaat beliau berkuasa, Kerajaan Galuh berada dibawah kekuasaan Kerajaan Sunda, sebagi dampak dari hasil konfrensi raja seluruh Pulau Jawa. Tamperan Barmawijaya memilih Galuh sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Sunda.
Saat masih menjabat sebagai patih Kerajaan Galuh (di masa pemerintahan raja daerah Premana Dikusuma), Tamperan Barmawijaya membuat skandal dengan Dewi Pangreyep (Istri kedua Premana Dikusuma) dan dari skandal itu lahirlah Kamarasa atau dikenal sebagai Banga. Untuk menghapus jejak skandal ini, Tamperan Barmawijaya mengupah seseorang untuk membunuh Premana Dikusuma yang sedang bertapa di hutan Gunung Padang (sebelah timur Citarum / termasuk wilayah Galuh barat). Kemudian Tamperan Barmawijaya pura-pura menjadi pahlawan di saat itu, dengan menerangkan bawa dia telah menangkan dan membunuh si pembunuh raja daerah Galuh tersebut. Keberhasilannya itu, membuat Tamperan Barmawijaya disanjung dan dipuji oleh kerabat keraton Galuh. Untuk menambah kesan “pahlawan” nya, Tamperan Barmawijaya menikah kedua janda dari Premana Dikusuma, mereka itu antara lain Naganingrum dan Dewi Pangreyep.
Setelah Tamperan Barmawijaya menikmati masa kekuasaannya di Kerajaan Sunda selama kurang lebih 7 tahun, tepatnya pada tahun 739, Manarah (anak Premana Dikusuma dan Dewi Pangreyep) secara diam-diam telah mengetahui strategi kotor dari Tamperan Barmawijaya. Cerita itu diketahui oleh Manarah lewat Bimaraksa / Ki Balagantrang (bekas patih Kerajaan Galuh di masa Purbasora berkuasa).
Manarah yang merasa sakit hati kemudian menyiapkan rencana untuk membayar kematian ayahnya serta ingin mengembalikan tahta Galuh dari Kerajaan Sunda yang dulu telah “direbut” oleh Sanjaya. Dengan bimbingan Bimaraksa (saat itu berada dalam persembunyian di daerah Geger Sunten), Manarah melakukan penyerangan mendadak. Sesuai dengan rencana Bimaraksa, penyerbuan ke Galuh dilakukan siang hari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir, termasuk Banga (sang putra mahkota). Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang berpura-pura sebagai penyabung ayam. Bimaraksa memimpin pasukan Geger Sunten menyerang keraton. Kudeta itu berhasil dalam waktu singkat. Tamperan Barmawijaya dan permaisurinya Dewi Pangreyep serta Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam.
Tetapi Banga kemudian dibiarkan bebas. Pada malam harinya Banga berhasil membebaskan ayah dan ibunya dari tahanan. Akan tetapi hal itu diketahui oleh pasukan pengawal yang segera memberitahukannya kepada Manarah. Terjadilah pertarungan antara Banga dan Manarah yang berakhir dengan kekalahan Banga. Sementara itu pasukan yang mengejar raja Tamperan Barmawijaya dan sang permaisuri Dewi Pangreyep, melepaskan panah-panahnya di dalam kegelapan sehingga menewaskan Tamperan Barmawijaya dan Dewi Pangreyep.
Berita kematian Tamperan Barmawijaya didengar oleh Sanjaya (ayahnya) yang ketika itu telah memerintah di Bumi Mataram, dan kemudian dengan pasukan besarnya, Sanjaya menyerang Galuh. Namun Manarah telah menduga serangan itu, sehingga ia telah menyiapkan pasukan yang juga didukung oleh raja di daerah Kuningan yang dulu pernah ditaklukan Sanjaya.
Perang saudara (gotrayuddha) antara sesama keturunan Wretikandayun terjadi selama beberapa hari tanpa ada yang menang maupun yang kalah. Banyak korban yang gugur dalam peperangan besar itu. Dalam keadaan yang mengenaskan, Demunawan turun dari Saung Galah untuk meredakan peperangan. Dengan wibawanya yang besar serta dihormati sebagai seorang sesepuh Galuh, Demunawan berhasil menghentikan pertempuran dengan jalan mengajak kedua belah pihak yang bertikai untuk berunding di keraton Galuh pada tahun 739. Salah satu isi dari perundingan itu dicapai kesepakatan bahwa :
· Negeri Sunda dengan wilayah dari Citarum ke barat dirajai oleh Kamarasa atau Banga.
· Negeri Galuh dengan wilayah dari Citarum ke timur dirajai oleh Surotama atau Manarah.
· Demunawan menguasai negeri Saung Galah (Kuningan) dan bekas kawasan Kerajaan Galunggung.
· Sanjaya memerintah di Bumi Mataram.
4. RAKEYAN BANGA (739 – 766)
Banga ditetapkan menjadi raja Sunda ke-4 dengan gelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Ajimulya. Beliau memilih Pakuan sebagai pusat pemerintahannya.
Rakeyan Banga menikah dengan Kancanasari (cicit Resiguru Demunawan). Kancanasari merupakan adik dari istri Manarah. Dari pernikahan dengan Kancanasari, Banga mempunyai putera yang bernama Rakeyan Medang.
Pada masa pemerintahannya, terdengar kabar duka dari Bumi Mataram yang memberitakan bahwa Sanjaya yang pernah berkuasa di Sunda-Galuh-Bumi Matram telah wafat.
Di masa kekuasaannya, Rakeyan Banga membangun Parit Pakuan, yang akhirnya parit ini di kemudian hari terkenal sulit ditembus oleh musuh-musuh kerajaan yang bertahta di Pakuan.
5. RAKEYAN MEDANG (766 – 783)
Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda ke-5 dengan gelar Prabu Hulukujang. Sebelum menjadi raja Sunda, Rakeyang Medang pernah berguru di Medang (ibu kota) Bumi Mataram selama 8 tahun. Setelah selesai berguru disana,
Rakeyan Medang kemudian menjabat sebagai menteri muda di Kerajaan Sunda selama 3 tahun di masa kekuasan ayahnya.
Rakeyan Medang mempunyai seorang puteri yang bernama Dewi Samatha. Puteri tersebut kemudian menikah dengan Rakeyan Hujungkulon (putera kedua dari Manisri / Raja Galuh ke-9).
Pada saat kekuasaan Rakeyan Medang, pesisir di barat Jawa selalu mendapat gangguan perompak yang berasal dari Sumatera. Para bajak laut itu dipimpin oleh Surageni dan Jalageni.
Pada tahun 779, Rakeyan Medang memerintahkan Hulujurit (panglima angkatan perang) yang bernama Lebur Raga untuk memimpin 1500 orang prajurit dalam rangka membasmi para perompak. Melalui penyerangan itu, akhirnya para perompak yang berkeliaran di perairan barat Jawa berhasil dimusnahkan.
6. RAKEYAN HUJUNGKULON (783 – 795)
Karena Rakeyan Medang tidak memiliki putera lelaki untuk meneruskan kekuasaannya, maka menantunya yang bernama Rakeyan Hujungkulon didaulat sebagai raja Sunda ke-6 dengan gelar Prabu Gilingwesi.
Dari permaisurinya yang bernama Dewi Samatha, beliau memiliki seorang puteri yang bernama Dewi Arista. Puteri ini kemudian menikah dengan Rakeyan Diwus.
7. RAKEYAN DIWUS (795 – 819)
Merupakan menantu dari Rakeyan Hujungkulon. Saat penobatan sebagai raja Sunda ke-7, beliau diberi gelar Prabu Pucuk Bumi Darmeswara.
Beliau memiliki beberapa orang putera, antara lain :
Rakeyan Wuwus, kemudian meneruskan tahta Kerajaan Sunda.
Arya Kadaton, kemudian menikah dengan Dewi Widyasari. Dari pernikahannya itu lahir putera yang bernama Rakeyan Windusakti.
8. RAKEYAN WUWUS (819 –891)
Raja ini diberi gelar Prabu Gajah Kulon, yang merupakan anak dari Rakeyan Diwus.
Rakeyan Wuwus memiliki permaisuri yang bernama Dewi Kirana (puteri kedua Welengan / Raja Galuh ke-11).
Pada tahun 852, Tahta Galuh diserahkan kepada Rakeyan Wuwus. Hal ini dikarenakan Prabu Linggabumi (raja Galuh ke-12) tidak memiliki keturunan, sehingga tahtanya diserahkan pada suami adiknya (Dewi Kirana). Akhirnya kerajaan Galuh serta Kerajaan Sunda bersatu dibawah kekuasaannya, dengan posisi Galuh sebagai bawahan Sunda.
Dari Dewi Kirana, Rakeyan Wuwus memiliki 2 orang putera, yaitu :
1. Batara Danghiyang Guruwisuda, kemudian pada tahun 825 dinobatkan menjadi raja daerah Galuh ke-13.
2. Dewi Sawitri, kemudian menikah dengan Rakeyan Windusakti (putera Arya Kadaton / adik Rakeyan Wuwus).
9. ARYA KADATON (891 - 895)
Raja ini tercatat sebagai Raja Sunda ke-9, dan bertahta di Pakuan. Beliau naik sebagai raja setelah putera sulung Rakeyan Wuwus telah memerintah di Galuh, sedangkan puteri kedua Rakeyan Wuwus telah diperistri oleh anaknya yang bernama Rakeyan Windusakti. Dengan keadaan itu, maka Arya Kadaton mengambil alih tahta Sunda yang sebenarnya lebih berhak jatuh pada anaknya (menantu Rakeyan Wuwus). Beliau dinobatkan sebagai Raja Sunda ke-9 dengan gelar Prabu Darmaraksa Buana.
Kehadiran Arya Kadaton sebagai Raja Sunda ini banyak yang menentang dan belum bisa diterima secara umum oleh para pembesar Kerajaan Sunda. Akhirnya pada tahun 895, Arya Kadaton dibunuh oleh salah seorang menterinya.
10. RAKEYAN WINDUSAKTI (895 – 913)
Beliau naik tahta menggantikan kedudukan ayahnya yang terbunuh. Beliau diberi gelar Prabu Dewageung Jayeng Buana.
Dari pernikahannya dengan Dewi Sawitri, beliau memperoleh 2 orang putera, antara lain :
1. Rakeyan Kamuning Gading.
2. Rakeyan Jayagiri
Pada tahun 913, Rakeyan Windusakti wafat dan tahtanya diteruskan oleh putera sulungnya.
11. RAKEYAN KAMUNING GADING (913 – 916)
Beliau dinobatkan dengan gelar Prabu Pucukwesi. Rakeyan Kamuning Gading memiliki permaisuri yang bernama Dewi Sundara (puteri Batara Danghiyang Guruwisuda / raja daerah Galuh), dari pernikahannya itu lahirlah 2 orang putera yang bernama Rakeyan Jayadrata dan Rakeyan Limbur Kancana.
Rakeyan Kamuning Gading hanya memerintah kerajaan Sunda selama 3 tahun, karena di tahun 916, Rakeyan Kamuning Gading dijatuhkan oleh adiknya sendiri yang bernama Rakeyan Jayagiri.
12. RAKEYAN JAYAGIRI (916 – 942)
Setelah berhasil melakukan kudeta pada kakaknya sendiri, beliau dinobatkan dengan gelar Prabu Wanayasa Jayabuana.
Karena peristiwa kudeta tersebut, Kerajaan Galuh yang diperintah oleh raja daerah yang bernama Rakeyan Jayadrata (anak Rakeyan Kamuning Gading), merasa tidak senang dengan kepemimpinan Rakeyan Jayagiri.
Mungkin karena dianggap membangkang pada kekuasaan pusat, maka kerajaan Sunda melakukan 2 kali penyerangan terhadap Galuh, tetapi kedua-duanya menemui kegagalan setelah Rakeyan Jayadrata yang langsung memimpin pasukan Galuh berhasil menghancurkan serangan Kerajaan Sunda itu.
Melalui peristiwa itu, Kerajaan Galuh akhirnya memerdekakan diri dari Kerajaan Sunda. Dengan demikian, kekuasaan Kerajaan Sunda kembali hanya sebatas sebelah barat dari Sungai Citarum hingga Ujung Kulon.
Rakeyan Jayagiri, meninggalkan sebuah prasasti pada tahun 932. Prasasti tersebut bernama Prasasti Rakryan Juru Pangambat yang ditempatkan di Desa Kebon Kopi, Bogor (sekarang). Prasasti ini berbahasa Melayu Kuno yang isinya adalah sebagai berikut :
ba (r) pulihkan haji sunda
“ memulihkan Kerajaan Sunda”.
Rakeyan Jayagiri memiliki puteri yang bernama Dewi Ambawati. Kelak puteri ini menikah dengan Rakeyan Watuageung.
Rakeyan Jayagiri memerintah selama 26 tahun, tepatnya pada tahun 942, beliau dibunuh oleh Rakeyan Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, raja Sunda yang kekuasaannya direbut oleh Rakeyan Jayagiri). Pembunuhan atas Rakeyan Jayagiri merupakan balas dendam dari Rakeyan Limbur Kancana atas perintah dari kakaknya (Rakeyan Jayadrata di Galuh).
13. RAKEYAN LIMBUR KANCANA (942 – 954)
Di masa kekuasaannya, Kerajaan Sunda dan Galuh kembali berada dalam perdamaian. Beliau memiliki dua orang anak, antara lain :
Rakeyan Sunda Sembawa
Dewi Somya, kelak menikah dengan Rakeyan Wulung Gadung.
Beliau akhirnya memerintah Kerajaan Sunda selama 10 tahun. Akan tetapi
akhir cerita dari raja ini cukup tragis karena saat beliau bertamu ke ibu kota Galuh,
beliau dibunuh oleh seseorang atas perintah Dewi Ambawati (puteri Rakeyan Jayagiri) sebagai tindakan balas dendam atas kematian ayahnya.
14. RAKEYAN WATUAGEUNG (954 – 964)
Setelah Rakeyan Limbur Kancana terbunuh oleh utusan dari Dewi Ambawati, maka suami dari Dewi Ambawati dinobatkan sebagai raja Sunda ke-14. Raja tersebut bernama Rakeyan Watuageung yang saat penobatan bergelar Praburesi Atmayadarma Hariwangsa
15. RAKEYAN SUNDA SEMBAWA (964 – 973)
Beliau naik tahta setelah (lagi-lagi) Kerajaan Sunda mengalami peristiwa kudeta. Rakeyan Sunda Sembawa berhasil menggulingkan Rakeyan Watuageung atas usahanya sebagai pembalasan atas kematian ayahnya.
Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda ke-15, dengan gelar Prabu Munding Ganawirya Tapakmanggala atau Prabu Medang Gana. Dikarenakan seluruh puteranya meningga mendahuluinya, maka suami dari adiknya dinobatkan sebagai penerus tahta Sunda.
16. RAKEYAN WULUNG GADUNG (973 – 989)
Dinobatkan dengan gelar Prabu Wulung Gadung. Beliau adalah suami dari Dewi Somya (puteri Rakeyan Limbur Kancana). Dari pernikahannya dengan Dewi Somya, mereka memiliki putera yang bernama Rakeyan Gendang.
17. RAKEYAN GENDANG (989 – 1012)
Ketika Rakeyan Wulung Gadung wafat, Rakeyan Gendang yang merupakan putera mahkota naik tahta dengan gelar Prabu Brajawisesa.
Rakeyan Gendang memiliki 2 orang anak, antara lain :
1. Prabu Dewa Sanghiyang, sebagai putera mahkota.
2. Dewi Rukmawati, kemudian menikah dengan Prabu Linggasakti Jayawiguna (raja Galuh).
Rakeyan Gendang wafat pada tahun 1012.
18. PRABU DEWA SANGHIYANG (1012 – 1019)
Saat itu Prabu Dewa Sanghiyang berkuasa atas Kerajaan Sunda dan Galuh. Hal ini disebabkan Prabu Linggasakti Jayawiguna (adik iparnya yang menjabat sebagai raja Galuh) wafat. Prabu Dewa Sanghiyang kemudian mengambil alih tahta Galuh, sedangkan putra mahkota Galuh (Prabu Resiguru Darmasatyadewa) hanya dijadikan sebagai raja daerah.
Beliau bertahta di Pakuan, sedangkan keraton Galuh dipercayakan pada keponakannya yang bernama Prabu Resiguru Darmasatyadewa untuk mengurus pemerintahan Galuh sehari-hari.
Dengan keadaan itu, maka Prabu Dewa Sanghiyang bergelar Maharaja atas dampak dari memegang 2 kekuasaan sekaligus.
19. PRABU SANGHIYANG AGEUNG (1019 - 1030)
Beliau merupakan putera dari Prabu Dewa Sanghiyang. Sama seperti periode kekuasaan ayahnya, beliau juga bergelar Maharaja, karena memerintah di 2 kerajaan.
Di masa kekuasaanya, Ibukota kerajaan berada di Saung Galah. Beliau menikah dengan seorang puteri dari Kerajaan Sriwijaya. Dari pernikahannya itu lahirlah Sri Jayabhupati. Sedangkan adik dari permaisurinya, dinobatkan sebagai raja daerah di Galuh.
Prabu Sanghiyang Ageung wafat pada tahun 1030, dan tahtanya diserahkan kepada Sri Jayabhupati.
20. MAHARAJA SRI JAYABHUPATI (1030 –1042)
(PRABU DETYA MAHARAJA)
Beliau adalah Raja Sunda ke-20, dan memindahkan ibukota kerajaannya kembali ke Pakuan.
Sebelum menjadi raja Sunda, beliau sempat menjabat sebagai Senapati Muda dan kemudian menjabat Panglima Angkatan Perang Kerajaan Sunda (pada masa pemerintahan kakeknya). Sedangkan pada masa pemerintahan ayahnya, beliau menjabat sebagai Mangkubumi dan Panglima Angkatan Perang merangkap Panglima Angkatan Laut Kerajaan Sunda.
Dari pernikahannya dengan Dewi Wulansari (puteri dari Sri Dharmawangsa Teguh / raja Kerajaan Mamenang di timur Jawa), Sri Jayabhupati dikaruniai empat orang anak, antara lain :
1. Prabu Darmaraja, kelak menjadi penerus tahta Sunda.
2. Panglima Suryanagara, menjadi Panglima Angkatan Perang.
3. Dewi Nirmala, kelak menikah dengan seorang menteri dari Bali.
4. Dewi Sugara, kelak menikah dengan seoran menteri dari Kerajaan di timur Jawa.
Saat menikah dengan Dewi Wulansari, Sri Jayabhupati menerima gelar yang sangat panjang dari mertuanya. Gelar tersebut adalah Maharaja Sri Jayabhupati Jayamahen Wisnumurti Samarawijaya Salakabuanamandaleswaranindita Harogowardana Wikramotunggadewa.
Sri Jayabhupati juga memiliki istri kedua yang bernama Dewi Suddhiswari (puteri dari Kerajaan Sriwijaya). Dari istri ke-2 nya itu, beliau memiliki beberapa orang anak, 2 diantaranya adalah :
1. Wirakusuma, menjadi Menteri Maritim Kerajaan Sunda.
2. Wikramajaya, menjadi Panglima Angkatan Laut.
Raja Sunda ke-20 ini juga kemudian menikah lagi dengan Bhatari Prethiwi / Batari Pertiwi (puteri dari Kerajaan Galuh). Dari istri terakhirnya ini, Sri Jayabhupati dikaruniai beberapa orang anak, 4 diantaranya antara lain :
1. Batara Hyang Purnawijaya, kelak menjadi resiguru di daerah Galuh.
2. Dewi Purnawangi
3. Dewi Surabhi
4. Surendra, kelak menjadi pembesar di Kerajaan Galuh.
Pada saat beliau berkuasa, Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Mamenang sedang berada dalam pertikaian. Namun, dikarenaka diantara kedua kerajaan tersebut masih merupakan saudara dari istrinya, maka Sri Jayabhupati sebagai Raja Sunda tidak berpihak kepada kerajaan manapun.
Sri Jayabhupati adalah seorang raja yang sangat gagah berani dan mahir dalam pertempuran ketika melawan para perompak dan penyamun baik di tangah laut maupun di pesisir pantai, tak heran apabila beliau juga diberi gelar Jaya Manahen.
Raja ini meninggalkan prasasti (sekarang tersimpan di Museum Pusat) yang dibuat pada tanggal 28 Oktober 1030 dan memerlukan empat buah batu untuk menuliskannya. Ketika ditemukan pada tahun 1890 dan 1897, prasasti ini bertempat di hutan pinggir sungai Cicatih dan juga di hutan Bantar Muncang (Kecamatan Cibadak, Sukabumi).
Prasasti ini berhuruf Kawi dan berbahasa Jawa Kuno. Isi selengkapnya dari prasasti tersebut adalah (menurut Pleyte dan diterjemahkan oleh Danasasmita, 1983: 12-13) :
//0// swasti cakawarsatita 952
karttikamasa tithi dwadaci cuklapa-
ksa.ha.ka.ra. wara tambir. iri-
ka diwaca nira prahajyan Sunda.ma-
haraja cri jayabhupati jayamana-
hen wisnumurtti samarawijaya caka-
labhuwanamandaecwaranindita
harogowardhana wikra-
mottunggadewa.ma-
gaway tepek i purwa sanghyang tapak
ginaway denira cri jayabhupati prahajyan
Sunda.mawang tan hanani baryya baryya cila.i-
rikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah.
makahingan sanghyang tapak mates kapujan
i hulu. i sor makahingan i sanghyang tapak
wates kapujan i wungkalogong kalih
matangyan pinagawayaken pra-
sasti pagepageh. mangmang sapatha.
sumpah denira prahajyan
Sunda. lwirnya nihan
//0// indah ta kita kamung hyang hara agasti purbba
daksina paccima uttara agniya neri-
ti tabayabya aicanya urddhadah rawi caci patala
jalapawana
hutasanapah bhayu akaca teja sanghyang mahoratra
saddya
yaksa raksa-
sa picaca preta sura garuda graha kinara mahoraga
catwara
lokapala
yama baruna kuwera bacawa mwang putra dewata
panca kucika
nandicwara mahakala du-
rggadewi ananta surindra anakta hyang kalamrtyu gana
bhu-
tha sang prasiddha milu manarina
umasuki sarwwajanma ata regnyaken iking sapatha samaya
sumpah pamangmang ni lebu ni pa-
duka haji i Sunda irikita kamung hyang kabeh …. paka-
dya umapala ikan …… i sanghyang tapak ya patyananta
ya
kamung hyang denta-
t patiya siwak kapalanya cucup uteknya belah dadanya
inum
rahnya
rantan ususnya wekasaken pranantika …. i sanghyang
kabeh tawat hana wwang baribari cila irikang lwah i
sanghyang
tapak apan
iwak pakan prannahnya kapangguh i sanghyang ….
maneh ka
liliran
pakanya katake dlaha ning dlaha …. paduka haji i Sunda
umade-
maka kadarman …. ing samangkana wekawet paduka
haji i
sunda sanggum
nti ring kulit kata kamanah ing kanang …. i sanghyang
tapak makatepa
lwah watesnya i hulu i sanghyang tapak …. i hilir ma-
hingan i-
rikang…. umpi ing wungkal gde kalih.i wruhhanta kamung
hyang kabeh //0//
“Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang hari Hariyang-Kaliwon-Ahad wuku Tambir.
Inilah saat raj Sunda Maharaja Sri Jayabhupati Jayamahen Wisnumurti Samarawijaya Salakabuanamandaleswaranindita Harogowardana Wikramotunggadewa membuat tanda di sebelah timur sanghyang tapak.
Dibuat oleh Sri Jayabhupati Raja Sunda dan jangan ada yang melanggar ketentuan di sungai ini. jangan ada yang menangkap ikan di bagian sungai ini mulai dari batas daerah kabuyutan sanghiyang tapak di bagian hulu sampai batas daerah kabuyutan sanghiyang tapak di bagian hilir pada dua buah batu besar.
Untuk tujuan tersebut telah dibuat piagam yang dikukuhkan dengan seruan, kutuk serta sumpah oleh Raja Sunda yang bunyi lengkapnya demikian :
Sungguh indah kamu sekalian Hiyang Siwa, Agastya, timur, selatan, barat, utara, tenggara, barat-daya, barat-laut, timur-laut, zenith, nadir, matahari, bulan, bumi, air, angin, api, sungai, kekuatan, angkasa, cahaya, sanghiyang, malam, senja, yaksa, raksasa, pisaca (peri), sura, garuda, buaya, kinara, (manusia burung), naga, keempat pelindung dunia, Yama, Baruna, Kuwera, Besawa dan putera dewata Pancakusika, lembu tunggangan Siwa, Mahakala, Dewi Durga, Ananta (Dewi Ular), Surindra, putera Hiyang Kalamercu, gana (mahluk setengah dewa), buta (sabangsa raksasa), para arwah, semoga ikut menjelma merasuki semua orang.
Kalian gerakkanlah supata, janji, sumpah dan seruan raja Sunda ini ….
Isi sumpah selanjutnya adalah permohonan kepada semua kekuatan gaib yang telah diseru agar siapa pun yang menangkap ikan di situ bunuhlah, pecahkan kepalanya, isap otaknya, belah dadanya, minumlah darahnya, putuskan ususnya, habisilah jiwanya. Sebaliknya, bila ada hamba yang setia mematuhi ketentuan tersebut akan dianugerahi hadiah dan dicukupi pangannya seumur hidup. bagian terakhir berisi penegasan kembali batas-batas daerah sungai yang dilarang diambil ikannya karena termasuk ke dalam kabuyutan sanghiyang tapak.
Sri Jayabhupati wafat pada tahun 1042. tahtanya digantikan oleh putera sulung dari istrinya yang pertama. Putra mahkota itu bernama Prabu Darmaraja.
21. DARMARAJA ( 1042 - 1065)
Darmaraja dinobatkan dengan gelar Prabu Darmaraja Jayamanahen Wisnumurti Sakalasundabuana. Beliau adalah anak dari Maharaja Sri Jayabhupati, dan kali ini memilih pusat pemerintahannya di Saung Galah.
Pada awal kekuasaannya, Kerajaan Sunda kembali mengalami pemberontakan yang bermaksud untuk menggulingkan kekuasaan dari Darmaraja. Kali ini, pemberontakan tersebut didalangi oleh Panglima Angkatan Laut yang bernama Wikramajaya (saudara seayah Darmaraja). Akan tetapi, pemberontakan tersebut berhasil ditumpas, dan kemudian Wikramajaya melarikan diri ke Kerajaan Sriwijaya.
Wirakusuma yang merupakan kakak kandung dari Wikramajaya ikut berperan dalam hal penumpasan pemberontakan yang dilakukan oleh adiknya itu. karena jasanya itu, Darmaraja menunjuk Wirakusuma untuk menggantikan adiknya sebagai Panglima Angkatan Laut.
Beliau memiliki permaisuri yang bernama Dewi Surastri (puteri dari Prabu Arya Tunggalningrat / raja daerah Galuh). dari pernikahannya itu, beliau dikaruniai beberapa orang anak, 3 diantaranya adalah :
1. Prabu Langlangbumi, ditunjuk sebagai putera mahkota.
2. Darmanagara, ditunjuk sebagai Mangkubumi kerajaan.
3. Wirayuda, menjadi Panglima Angkatan Perang.
Pada tahun 1065, Darmaraja mengakhiri kekuasaannya, dan putera mahkota Prabu Langlangbumi diangkat sebagai raja baru.
22. PRABU LANGLANGBUMI (1065 – 1155)
Prabu Langlangbumi lahir pada tahun 1038. Di masa kekuasaannya, ibukota Kerajaan Sunda dikembalikan ke Pakuan. Kerajaan Sunda saat itu bekerjasama dengan kerajaan di Bali, Kerajaan Kediri, dan raja-raja di seberang lautan, terutama mengenai perdagangan. Melalui jalinan kerjasama itu, maka banyak pembesar, dan saudagar yang datang ke Pakuan.
Keamanan di perairan utara barat Jawa menjadi terkendali akibat pengerahan seluruh kekuatan angkatran perang Kerajaan Sunda yang selalu disiagakan disana. Para bajak laut akhirnya tidak berani memasuki perairan Kerajaan Sunda.
Prabu Langlangbumi memiliki permaisuri yang bernama Dewi Puspawati (sama-sama cucu dari Sri Jayabhupati, dari keturunan Batara Hyang Purnawijaya yang menjadi resiguru di daerah Galuh). dari pernikahannya ini, Prabu Langlangbumi memiliki putera beberapa orang, diantaranya adalah :
1. Rakeyan Jayagiri Prabu Menakluhur, menjadi putera mahkota.
2. Cakranegara, kemudian menjadi Mangkubumi.
Sementara itu, Dewi Citrawati (adik Dewi Puspawati) juga mengharapkan diperistri oleh Prabu Langlangbumi. Bahkan, Dewi Citrawati sempat memiliki niat untuk menghabisi nyawa kakaknya. Melihat ada perselisihan diantara kedua kakak beradik ini, maka sang ayah (Batara Hyang Purnawijaya) segera bertindak dan menikahkan Dewi Citrawati kepada Resiguru Sudakarmawisesa (raja Kerajaan Galunggung). Tak lama setelah pernikahan, Dewi Citrawati menerima tahta Kerajaan Galunggung, dikarenakan suaminya memilih jalan keagamaan dalam penghabisan masa hidupnya.
Karena cintanya tak berbalas dari Prabu Langlangbumi, kemudian Dewi Citrawati setelah menjadi penguasa Galunggung selalu merasa dendam kepada Prabu Langlangbumi. Alasan-alasan kecil kemudian dijadikan pemicu konflik antara Kerajaan Galunggung dan Kerajaan Sunda. Salah satunya adalah kerawanan daerah di antara wilayah Sunda-Galuh-Galunggung akibat sekawanan perampok, saat itu berkembang menjadi perselisihan antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galunggung.
Pada tahun 1152, Kerajaan Galunggung segera bergabung dengan Galuh (sama-sama kerajaan bawahan Sunda), dan membentuk angkatan perang dan membuat parit pertahanan untuk menangkis apabila mendapat serangan dari Kerajaan Sunda.
Prabu Langlangbumi lebih menggunakan akal sehat dalam menyelesaikan perselisihan antara keturunan Sri Jayabhupati ini. Beliau tidak berniat untuk menyerang Galunggung, oleh karena itu Prabu Langlangbumi mengutus sesepuh Sunda untuk menemui Dewi Citrawati dengan jalan damai.
Akhirnya dibuatlah suatu perundingan damai yang saat itu dihadiri oleh semua pihak yang terkait beserta beberapa penguasa di wilayah barat Jawa. Perjanjian damai disepakati dengan membuahkan keputusan untuk membagi kembali wilayah barat Jawa ke dalam 2 kekuasaan, yaitu Kerajaan Sunda dipegang oleh Prabu Langlangbumi, dan Kerajaan Galuh yang beribukota di Galunggung dipegang oleh Dewi Citrawati.
Prabu Langlangbumi adalah raja yang bijaksana dan dicintai oleh rakyatnya, beliau juga diberi julukan Prabu Langlangbuana. Gelar itu diperoleh karena sebagai raja Sunda beliau tetap memperhatikan kesejahteraan rakyatnya yaitu dengan mengontrol langsung atau melakukan kunjungan ke berbagai pelosok wilayah kerajaannya.
Prabu Langlangbumi wafat pada tahun 1155, dan tahtanya diserahkan pada Rakeyan Jayagiri Prabu Menakluhur.
23. RAKEYAN JAYAGIRI PRABU MENAKLUHUR (1155 – 1157)
Sebelum menjadi raja Sunda ke-23, beliau sempat menjabat sebagai Putera Mahkota / prabu anom (selama 18 tahun), Panglima Angkatan Laut (selama 20 tahun) dan Mangkubumi (selama 15 tahun). Ibukota tetap berada di Pakuan.
Prabu Menakluhur memiliki permaisuri yang bernama Ratna Satya, dari perkawinannya tersebut dikaruniai seorang puteri yang diberi nama Ratna Wisesa.
Karena Prabu Menakluhur tidak memiliki putera laki-laki, maka ketika mengakhiri kekuasaannya, beliau digantikan oleh menantunya yang bernama Prabu Darmakusuma (cucu Dewi Citrawati).
24. PRABU DARMAKUSUMA (1157 – 1175)
Raja ke-24 memilih Saung Galah (ibu kota Galunggung) sebagai pusat kerajaannya. Beliau bergelar Maharaja karena memerintah di 3 kerajaan (Sunda-Galuh-Galunggung).
Di masa pemerintahannya, beliau dibantu oleh seorang Mangkubumi yang merupakan adiknya. Mangkubumi itu bernama Adimurti. Sedangkan urusan pemerintahan di Pakuan dipercayakan kepada Prabu Arya Santika (putera dari Cakranagara / adik Prabu Menakluhur).
Melalui pernikahan dengan Ratna Wisesa, Prabu Darmakusuma mempunyai putera yang bernama Prabu Darmasiksa.
Prabu Darmakusuma wafat pada tahun 1175 dan dikebumikan di Bumiraja (sekarang nama desa di dekat kota Kecamatan kawali, sekitar 20 Km sebelah utara kota Ciamis).
25. PRABU DARMASIKSA (1175 - 1297)
Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda ke-25, dengan gelar nobat Prabu Guru Darmasiksa Paramarta Sang Mahapurusa atau Prabu Sanghiyang Wisnu.
Saat itu, ibukota kerajaan Sunda tetap berada di Saung Galah, dan Prabu Darmasiksa mengendalikan 3 kerajaan (Sunda-Galuh-Galunggung) sekaligus. Karena keadaan itulah beliau bergelar Maharaja.
Di masa pemerintahannya, beliau mendirikan lembaga pendidikan yang diberi nama Sanghiyang Binayapanti, dimana kompleks pendidikannya terdapat di kabuyutan (daerah yang dianggap suci) dan bangunannya disebut dengan mandala. Beberapa kabuyutan yang saat itu tersebar di tanah Sunda antara lain Sanghiyang Tapak (Sukabumi), Sunda Sembawa, Jayagiri (Bekasi ?), Galunggung (Tasikmalaya), Ciburuy (Garut), Kawali (Ciamis), dan Kanekes (Banten). Kegiatan yang dilakukan di kabuyutan tersebut meliputi kegiatan spiritual dan kegiatan pendidikan biasa / umum. Adapun sistem pendidikan yang diajarkan kepada murid (sisya) antara lain berpedoman kepada guru nista (mengamati perilaku buruk yang tidak perlu ditiru), guru panggung (memperoleh ilmu pengetahuan dari seni panggung seperti pantun, wayang, dll), guru tangtu (memperoleh pelajaran dari membaca naskah), guru wreti (memperoleh pengetahuan dari karya seni seperti pahatan, lukisan, dll), guru rari (memperoleh pengetahuan dari anak), guru kaki (memperoleh pengettahuan dari kakek), guru hawan (memperoleh ilmu dari pengembaraan), dan guru utama (memperoleh ilmu pengetahuan dari pendeta).
Sedangkan untuk literatur bacaan di kabuyutan rata-rata beraksara dan berbahasa sunda kuno dan sebagian lagi ditulis dalam tulisan dan bahasa Jawa Kuno. Naskah-naskah tersebut antara lain Sewaka Darma, Sanghiyang Hayu, Darmajati, Sri Ajnyana, Kosmologi, Kawih Paningkes, Serat Dewabuda, Jatiraga, Sanghiyang Raga Dewata.
Prabu Darmasiksa memiliki 3 orang istri, antara lain :
1. Tidak diketahui namanya, namun yang pasti puteri ini berasal dari Saung Galah. Anak dari permaisuri ini bernama Rajapurana (lahir tahun 1168).
2. Tidak diketahui namanya, dari istri ke-2 nya ini lahir Ragasuci.
3. Dewi Suprabha Wijayatunggadewi (keturunan raja Sriwijaya), dari istrinya yang ini, Prabu Darmasiksa mempunyai putera yang bernama Rahiyang Jayadarma.
Di masa kekuasaan Prabu Darmasiksa (memerintah selama 122 tahun), Kerajaan Kediri dan Sriwijaya sedang dalam keadaan berperang. Peperangan antara 2 kerajaan besar itu akhirnya ditengahi oleh Kaisar Cina. Kaisar Cina
tersebut menyarankan agar keduanya mengadakan perjanjian damai, tempat dari perjanjian damai tersebut adalah Sundapura (bekas ibukota Tarumanagara, yang saat itu merupakan wilayah Kerajaan Sunda).
Pada tahun 1182, dibuatlah perjanjian damai tersebut dengan dipimpin oleh Duta dari Kerajaan Cina dan dihadiri oleh tuan rumah Prabu Darmasiksa.
Pada tahun 1187, Prabu Darmasiksa memindahkan ibukota kerajaan ke Pakuan. Prabu Darmasiksa menunjuk puteranya yang bernama Rahiyang Jayadarma sebagai putera mahkota Kerajaan Sunda dan memimpin wilayah di daerah Jayagiri (Bekasi ?), karena itulah Jayadarma bergelar Rahiyang Jayagiri. Tetapi, Jayadarma wafat dalam usia muda (44 tahun) sehingga tidak mampu meneruskan kekuasaan Kerajaan Sunda.
Sebelum wafat, Rahiyang Jayadarma menikah dengan Dyah Singamurti / Dyah Lembu Tal (puteri dari Mahisa Campaka / cucu Ken Arok dan Ken Dedes di Kerajaan Singasari). Dari pernikahannya itu lahirlah Sang Naraya Sanggramawijaya atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya (lahir di Pakuan). Setelah Jayadarma wafat, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya Raden Wijaya dan ibunya diantarkan ke Tumapel, Jawa Timur.
Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari Pajajaran yang kemudian menjadi pendiri Kerajaan Majapahit yang bergelar Krtarajasa Jayawardhana (1292 -1309) dan tercatat sebagai Raja Majapahit pertama yang terkenal bijaksana.
Setelah menjadi raja yang besar di Majapahit, Raden Wijaya sempat beberapa kali mengunjungi Pakuan untuk bersilaturahmi dan memberikan hadiah kepada Prabu Darmasiksa (kakeknya) yang sangat lama menjabat raja Sunda di Pakuan.
Prabu Darmasiksa menasihati dan mendo’akan cucunya itu agar menjadi raja yang besar dan bijaksana. Isi dari nasihat itu adalah sebagai berikut (diterjemahkan oleh Danasasmita, 1983 : 23) :
Hawya ta sira kedo athawamerep ngalindih Bhumi Sunda mapan wus kinaliliran ring ki sanak ira dlaha yan ngku wus angemasi. Hetunya nagaramu wus agheng jaya santosa wruh ngwang kottaman ri puyut katisayan mwang jayacatrumu, ngke pinaka mahaprabhu. Ika hana ta daksina sakeng Hiyang Tunggal mwang dumadi sarataya.
Ikang sayogyana rajya Jawa lawan rajya Sunda parasparo pasarpana atuntunan tangan silih asih pantara ning padudulur. Yatanyan tan siddha hitasukha. Yan rajya Sunda dukhantara, Wilwatikta sakopayanya maweh carana; mangkana juga rajya Sunda ning Wilwatikta.
“jangan hendaknya Anda mengganggu, menyerang, dan merebut Bumi Sunda karena telah diwariskan kepada saudaramu, bila kelak aku telah tiada. Sekali pun negaramu telah menjadi besar dan jaya serta sentosa aku maklum akan keutamaan, keluarbiasaan, dan keperkasaanmu kelak sebagai raja besar. Ini adalah anugerah dari Yang Maha Esa dan menjadi suratan-Nya.
Sudah selayaknya Kerajaan Jawa dengan Kerajaan Sunda saling membantu, bekerja sama dan saling mengasihi antara anggota keluarga. Karena itu janganlah berselisih dalam memerintah kerajaan masing-masing. Bila demikian akan mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang sempurna. Bila Kerajaan Sunda mendapat kesusahan, Majapahit hendaknya berupaya sungguh-sungguh memberikan bantuan; demikian pula halnya Kerajaan Sunda kepada Majapahit”.
Prabu Darmasiksa berkuasa di Kerajaan Sunda dengan penuh perdamaian, tanpa terpengaruh oleh peperangan yang terjadi pada kerajaan lain di Nusantara. Pada saat itu peperangan besar di Nusantara melibatkan Melayu-Sriwijaya-Samudera Pasai-Perlak-Singasari-Mongol-Cina-Majapahit.
Pada tahun 1297, Prabu Darmasiksa wafat. Untuk mengisi kekosongan kekuasaan, akhirnya Prabu Ragasuci naik untuk menggantikan posisi ayahnya sebagai penerus tahta Sunda.
26. PRABU RAGASUCI (1297 –1303)
Prabu Ragasuci dijuluki sebagai Rakeyan Saunggalah karena saat ayahnya (Prabu Darmasiksa) pindah ke Pakuan, beliau tetap berada di Saung Galah dan memimpin pemerintahan disana sebagai wakil dari ayahnya. Ayahnya berpesan kepada Ragasuci, agar beliau selalu menjaga kabuyutan di Galunggung, apabila Ragasuci gagal memepertahankan dan melindungi kabuyutan tersebut, maka beliau dianggap derajatnya lebih hina dari kulit lasun di jariyan (kulit musang di tempat sampah). Kepercayaan pada saat itu memang menganggap bahwa Galunggung adalah tempat bersemayamnya dangiang (kekuatan spiritual) kerajaan, sehingga perlu perlindungan yang ketat.
Pada tahun 1297 Prabu Ragasuci dinobatkan sebagai raja Sunda ke-26, dengan ibukota kerajaan yang dipilihnya adalah Saung Galah. Ketika beliau berkuasa, beliau tetap menjalankan amanat dari ayahnya untuk menjaga hubungan baik dengan Majapahit yang dipimpin oleh saudaranya.
Permaisuri Ragasuci adalah Dara Puspa (puteri dari Dharmasraya / raja Kerajaan Melayu), puteri ini merupakan adik dari Dara Kencana (istri dari Kertanegara / Raja Kerajaan Singasari yang terbesar).
Dari pernikahan dengan Dara Puspa, Ragasuci dikaruniai putera yang bernama Prabu Citraganda.
Prabu Ragasuci wafat pada tahun 1303 dan dipusarakan di Taman, Ciamis.
27. PRABU CITRAGANDA (1303 – 1311)
Sebelum menjadi raja Sunda ke-27, Citraganda menjabat sebagai raja daerah di Pakuan selama 6 tahun.
Saat mengawali kekuasaannya, pusat pemerintahan kerajaan kembali dipindahkan ke Pakuan. Beliau memiliki permaisuri yang bernama Dewi Antini (puteri Prabu Rajapurana / putera Prabu Darmasiksa dari puteri Saung Galah). Dari pernikahan ini lahirlah Prabu Linggadewata dan Ratna Umalestari.
Prabu Citraganda meninggal pada tahun 1311 dan dipusarakan di Tanjung.
Dalam abad ke-14, di timur muncul kota baru yaitu Kawali (arti Kuali atau Belanga). Lokasinya strategis karena berada di tengah segitiga Galunggung, Saung Galah dan Galuh. Mulai era Prabu Linggadewata berkuasa hingga tahun 1475, disebut sebagai zaman Kawali karena pusat kekuasaan kerajaan Sunda ini selalu berkedudukan di Kawali.
28. PRABU LINGGADEWATA (1311 – 1333)
( RATU GALUH / MAHARAJA SAKSI )
Di masa kekuasaan Prabu Linggadewata, Kerajaan Sunda berpindah ke pusat kerajaannya ke timur. Tetapi bukan di Saung Galah melainkan menempati “kota baru” yang bernama Kawali (sekarang Ciamis).
Pada saat Prabu Linggadewata berkuasa, Majapahit dengan rajanya yang bergelar Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhana (1328-1350) mengangkat seorang Mahapatih yang bernama Gajah Mada pada tahun 1331. Untuk menunjukkan kesetiaannya kepada Majapahit, di saat penobatan menjadi Mahapatih, Gajah Mada mendeklarasikan “Sumpah Palapa” (artinya garam dan rempah-rempah) yaitu : bahwa ia tidak akan merasakan palapa (bagi orang Jawa, disebut mutih), sebelum daerah seluruh nusantara ada di bawah kekuasaan Majapahit.
Prabu Linggadewata meninggal di Kikis, namun dikarenakan dia tidak memiliki anak laki-laki, maka tahtanya diserahkan pada suami dari adiknya.
29. PRABU AJIGUNA LINGGAWISESA (1333 – 1340)
Beliau merupakan suami dari Ratna Umalestari (puteri Prabu Linggadewata). Dari pernikahannya itu, Prabu Ajiguna Linggawisesa memiliki beberapa orang putera, antara lain :
1. Prabu Ragamulya Luhur Prabawa, dikenal dengan julukan Aki Kolot.
2. Dewi Kiranasari, kemudian menikah dengan Prabu Arya Kulon. Dari pernikahannya ini kemudian lahir Dewi Lara Linsing, Prabu Pulasara (kemudian menjadi raja daerah di Pakuan), dan Prabu Linggatunggal (kemudian menjadi raja daerah di Pakuan menggantikan kakaknya).
3. Suryadewata, tokoh ini kelak menurunkan keturunan sebagai raja-raja di Kerajaan Talaga (sekarang Majalengka).
Diperkirakan pada masa kekuasaannya, Kerajaan Sunda mulai mendirikan kerajaan-kerajaan daerah untuk lebih efektif dalam hal pengontrolan daerah-daerah yang jauh letaknya dari ibukota Kerajaan Sunda. Pendirian kerajaan-kerajaan ini tidak dilakukan dengan cara penaklukan, melainkan melalui cara-cara pendekatan secara damai dengan penguasa daerah setempat atau melalui pernikahan dengan kerabat keraton.
Prabu Ajiguna Linggawisesa meninggal pada tahun 1340, kemudian dipusarakan di Kiding.
30. PRABU RAGAMULYA LUHUR PRABAWA (1340 – 1350)
Beliau hanya memerintah selama 10 tahun. Dari permaisurinya, beliau memiliki 2 orang anak laki-laki, yaitu :
1. Linggabuana, sebagai putera mahkota.
2. Bunisora, sejak muda sudah menjalani kehidupan agama di Jampang, sehingga bergelar Batara Guru di Jampang.
Pada akhir hayatnya, Prabu Ragamulya Luhur Prabawa digelari “Salumah ing taman” yang artinya ”yang meninggal di Taman”.
31. PRABU MAHARAJA LINGGABUANA (1350 –1357)
Linggabuana dinobatkan sebagai raja Sunda ke-31 pada tanggal 22 Februari 1350, dengan gelar Prabu Maharaja Linggabuana. Maharaja ini berkedudukan di Kawali. Sementara itu di Pakuan, yang menjadi raja daerah adalah Prabu Pulasara (putera Prabu Arya Kulon dan Dewi Kiranasari).
Dari permaisurinya yang bernama Dewi Lara Linsing (puteri Prabu Arya Kulon dan Dewi Kiranasari), beliau memperoleh 4 orang anak, yaitu :
1. Dyah Pitaloka Citraresmi, lahir pada tahun 1339.
2. tidak diketahui namanya, meninggal dalam usia 1 tahun.
3. tidak diketahui namanya, meninggal dalam usia 1 tahun.
4. Prabu Anggalarang (bungsu), lahir pada tahun 1348.
Prabu Maharaja Linggabuana adalah seorang raja yang senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Sunda. Kemahsyurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara (Nusantara). Dalam menjalankan pemerintahannya, beliau didampingi oleh adiknya (Bunisora) yang dikenal juga dengan sebutan Mangkubumi Suradipati.
Pada saat Prabu Maharaja Linggabuana berkuasa, sebagian besar daerah-daerah di Nusantara dari Papua bahkan juga hingga jazirah Malaka telah berada dalam satu kekuasaan Majapahit. Hayam Wuruk / Rajasanagara (1350-1389) sebagai raja Majapahit saat itu, telah membawa Majapahit pada masa keemasan. Sumpah Palapa dari Mahapatih Gajah Mada yang telah dikumandangkan sejak tahun 1331, hampir terlaksana.
Namun satu-satunya kerajaan yang tidak mau menjadi bawahan Majapahit adalah Kerajaan Sunda yang dipimpin oleh Prabu Maharaja Linggabuana. Sunda tetap tidak dapat ditaklukkan Majapahit, walaupun sudah 2 kali diserang.
Pada tahun 1357, akhirnya Majapahit mengadakan tipu muslihat untuk melumpuhkan Sunda. Pada saat itu Raja Hayam Wuruk atas rembukannya dengan Patih Gajah Mada, mengutus Anepaken ke Kawali dengan dalih bahwa Hayam Wuruk akan meminang puteri dari Prabu Maharaja Linggabuana yang bernama Dyah Pitaloka Citraresmi (saat itu berusia 18 tahun). Meskipun Kerajaan Sunda tidak mau menjadi wilayah kekuasaan Majapahit, namun dalam hal pinangan ini, Prabu Maharaja Linggabuana mau menerimanya dengan alasan sekedar menghormati raja dari Jawa. Kemudian keraton Majapahit dipilih sebagai tempat pesta pernikahan.
Akhirnya Prabu Maharaja Linggabuana bersama beberapa pembesar Kerajaan Sunda datang ke Majapahit untuk mengantarkan puterinya. Ratusan rakyat mengantar sang puteri beserta raja dan punggawa menuju pantai, tapi pendeta kerajaan yang juga ahli di bidang supranatural, tiba-tiba melihat laut berwarna merah bagaikan darah. Ini diartikan tanda-tanda buruk bahwa diperkirakan puteri raja ini tidak akan kembali lagi ke tanah airnya. Tanda ini disampaikan pada sang raja namun tidak dihiraukan karena sang raja tetap berprasangka baik kepada raja tanah Jawa yang akan menjadi menantunya.
Sepuluh hari perjalanan, rombongan dari Kerajaan Sunda akhirnya sampai di desa Bubat, yaitu tempat penyambutan dari kerajaan Majapahit. Melihat Dyah Pitaloka Citraresmi, ternyata Hayam Wuruk menjadi benar-benar mengagumi kecantikan puteri Sunda itu. Namun Patih Gajah Mada terlihat kurang senang dengan keadaan itu, dia mengusulkan kepada Hayam Wuruk untuk mengikuti rencana semula. Menurut rencana Majapahit, apabila raja Sunda merestui pinangannya ini, maka Sunda dianggap telah tunduk kepada Majapahit. Dengan demikian Dyah Pitaloka Citraresmi dianggap hanyalah sebagai upeti dari Kerajaan Sunda untuk Majapahit.
Setelah berunding, Patih Gajah Mada sebagai utusan dari Majapahit menyampaikan “sambutan” kepada Maharaja Sunda, inti dari sambutan tersebut adalah menegaskan kepada rombongan Sunda, bahwa jangan harap akan ada upacara pesta pernikahan sebab Dyah Pitaloka Citraresmi hanya dianggap sebagai upeti. Tentu saja pihak Kerajaan Sunda yang datang dengan maksud baik jelas-jelas merasa tersinggung oleh sikap arogan Majapahit dan telah melanggar janji untuk menikahi Dyah Pitaloka Citraresmi. Prabu Maharaja Linggabuana dengan tegas menolak rencana busuk itu, dan akhirnya membangkitkan amarah dari Patih Gajah Mada.
Saat itu juga, Gajah Mada langsung menyiapkan pasukan tempur Majapahit. Tidak tanggung-tanggung semua laskarnya dipersenjatai lengkap serta memakai pakaian perang. Penunggang gajah, pasukan berkuda, dan prajurit-prajurit lainnya siap menggempur “dengan sikap pengecut dan tanpa rasa malu” terhadap “tamu” yang hanya beberapa orang dan tanpa persiapan untuk berperang. Melihat prajurit Majapahit yang begitu banyak, Prabu Maharaja Linggabuana hanya termenung dan menundukan kepala. Tetapi beberapa saat kemudian Prabu Maharaja Linggabuana mengangkat kepalanya yang tertunduk dan memilih lebih baik berperang daripada harga diri Sunda diinjak-injak. Beliau tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain. Prabu Maharaja Linggabuana lalu mengobarkan semangat para pengiringnya dengan suatu “pidato” singkat, yaitu :
“Walaupun darah akan mengalir bagaikan sungai di palagan Bubat ini, namun, kehormatanku dan semua kesatria Sunda, tidak akan membiarkan pengkhianatan terhadap negara dan rakyatku. Karena itu, janganlah kalian bimbang !”
Meskipun tanpa persiapan perang dan hanya membawa beberapa punggawa saja, rombongan Kerajaan Sunda akhirnya bertempur dengan gagah berani. Di medan perang Bubat itu, Sang Maharaja banyak membinasakan musuhnya karena beliau sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang. Namun bagaimanapun, jika dilihat dari jumlah pasukan, Majapahit dengan Patih Gajah Mada sebagai panglima perangnya bukan merupakan tandingan. Akhirnya setelah mengerahkan segenap kekuatannya, Prabu Maharaja Linggabuana bersama pengiringnya itu gugur tidak tersisa di lapangan Bubat. Melihat keadaan demikian sang Puteri, Dyah Pitaloka Citraresmi lebih memilih bunuh diri daripada menjadi “upeti” bagi Hayam Wuruk. Para pembesar dan pengiring Kerajaan Sunda yang gugur di Bubat adalah :
· Prabu Maharaja Linggabuana,
· Dyah Pitaloka Citaresmi,
· Rakean Tumenggung Larang Ageng,
· Rakean Mantri Sohan,
· Yuwamantri Gempong Lotong (menteri muda),
· Sang Panji Melong Sakti,
· Ki Panghulu Sura,
· Rakean Mantri Saya,
· Rakean Rangga Kaweni,
· Sang Mantri Usus (bayangkara / pengawal Maharaja),
· Rakean Senapatiyuda Sutrajali,
· Rakean Juru Siring,
· Ki Jagat Saya (patih mandala Kidul),
· Sang Mantri Patih Wirayuda,
· Rakean Nakoda Braja (pemimpin jurumudi kapal perang kerajaan),
· Ki Juruwastra,
· Ki Mantri Sebrang Keling,
· Ki Mantri Supit Kelingking.
Tragedi yang membuat terluka orang Sunda itu terjadi pada hari Selasa-wage (sebelum tengah hari) tanggal 4 September 1357.
Setelah selesai pertempuran, datanglah Hayam Wuruk meneliti satu persatu orang Sunda yang gugur, akhirnya Hayam Wuruk mendapati Dyah Pitaloka Citraresmi telah meninggal. Hayam Wuruk merasa sangat terpukul sekali dengan keadaan pada saat itu, dia pun terisak menahan tangis. Hayam Wuruk merasa menyesal telah membiarkan kerajaannya menyerang Kerajaan Sunda. Untuk menebus penyesalannya, Hayam Wuruk memerintahkan untuk memperlakukan semua jenazah dengan baik dan menyuruh semuanya dimasukan ke dalam peti mati.
Keesokan harinya, seluruh jenazah para pahlawan Sunda itu dimandi sucikan dan segera dilakukan upacara kematian secara kebesaran. Mereka kemudian diperabukan di atas tumpukan kayu cendana yang harum. Hayam Wuruk mengawali upacara tersebut dengan menyempurnakan jenazah dari Sang Maharaja serta Dyah Pitaloka, setelah itu Gajah Mada melanjutkan upacara penyempurnaan jenazah bagi korban yang gugur lainnya.
Kemahsyuran Prabu Maharaja Linggabuana membangkitkan rasa bangga keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Kelak di Kerajaan Sunda, dibuatlah patung pribadi untuk mengenang kebesaran Prabu Maharaja Linggabuana.
Setelah Prabu Maharaja Linggabuana gugur secara terhormat di Bubat, kekuasaannya digantikan oleh adiknya karena sang putra mahkota (Prabu Anggalarang), saat beliau wafat masih berumur 9 tahun.
32. PRABU BUNISORA (1357 – 1371)
Beliau hanya diangkat sebagai raja sementara yang bertahta di Kawali, rena kekuasaannya hanya mengisi kekosongan putra mahkota (Prabu Anggalarang) yang belum cukup umur untuk memimpin sebuah kerajaan. Sementara itu di Pakuan, yang menjadi raja daerah adalah Prabu Linggatunggal (putera Prabu Arya Kulon dan Dewi Kiranasari).
Ketika terjadi peristiwa Bubat, beliau ditugaskan untuk menjalankan pemerintahan Sunda di Kawali, jabatannya saat itu adalah sebagai patih mangkubumi. Karena jabatannya itulah beliau sempat bergelar Patih Mangkubumi Suradipati.
Selain bertindak sebagai pembesar Sunda, Prabu Bunisora juga sangat ahli dalam ilmu agama, karena itu beliau dijuluki sebagai Batara Guru di Jampang. Pada masa penobatan, beliau diberi gelar nobat Prabu Guru Pangadiparamarta Jayadewabrata. Sebagai raja Sunda, Prabu Bunisora cenderung membawa suasana kerajaan ke arah yang religius.
Saat awal kepemimpinannya, utusan dari Majapahit (terdiri dari para pemuka agama) datang ke Kawali untuk menyerahkan surat dari Hayam Wuruk. Surat tersebut berisi penyesalan dan permohonan maaf yang sebesar-besarnya dari pihak Majapahit terhadap seluruh orang Sunda. Hayam Wuruk sangat tidak menginginkan apabila gugurnya Prabu Maharaja Linggabuana akan membawa celaka bagi penduduk Majapahit. Melalui surat itu pula, Hayam Wuruk berjanji bahwa Majapahit tidak akan pernah lagi menyerang, tidak ingin menguasai, dan tidak ingin menyakiti hati orang Sunda untuk ke-2 kalinya. Majapahit ingin Kerajaan Sunda melupakan peristiwa Bubat dan jangan membalas dendam, Hayam Wuruk ingin agar kedua kerajaan ini bersahabat dan bekerjasama.
Setelah membaca surat itu, Prabu Bunisora setuju dengan isi pesan dari Hayam Wuruk. Prabu Bunisora kemudian mengirimkan utusan ke Majapahit untuk menjemput semua abu jenazah para pahalawan itu. abu jenazah itu kemudian dipusarakan di Sanghiyang Linggahiyang (sekarang menjadi tempat pemakaman Islam di Astana Gede Kawali, Ciamis).
Meskipun Prabu Bunisora telah berprinsip untuk tidak membalas dendam terhadap Majapahit, tetapi beliau juga merasa kurang yakin terhadap janji dari Hayam Wuruk. Karena itulah, Prabu Bunisora memerintahkan kepada angkatan perang dan angkatan laut Kerajaan Sunda untuk selalu bersiaga setiap saat. Angkatan Laut Sunda disiagakan di muara sungai Brebes (Cipamali), yang merupakan batas wilayah Sunda-Majapahit.
Ternyata, Hayam Wuruk memang menepati janjinya, ini terbukti ketika Majapahit akan mengadakan ekspedisi perang ke pulau Sumatera, raja Majapahit ini meminta izin kepada Kerajaan Sunda agar kapal-kapal perangnya diizinkan untuk melewati perairan Sunda.
Sebagai seorang resi yang ulung, tentunya Prabu Bunisora sangat mengharapkan agar rakyat Sunda tidak menaruh perasaan dendam kepada Majapahit. Pemikirannya ini, juga ditujukan kepada Prabu Anggalarang (calon raja Sunda selanjutnya) yang merasa sangat sedih melihat ayah dan kakaknya telah gugur. Prabu Anggalarang yang menjadi yatim piatu akhirnya diasuh oleh Prabu Bunisora dengan penuh nilai-nilai keagamaan, seperti terhadap anak kandungnya sendiri.
Prabu Bunisora memiliki permaisuri yang bernama Laksmiwati. Dari permaisurinya itu, beliau dikaruniai 4 orang anak, yaitu :
1. Giridewata / Ki Gedeng Kasmaya, kelak menjadi raja daerah di Kerajaan Cirebon Girang, dan keturunan beliau bernama Ki Gedeng Carbon Girang kemudian menjadi mertua dari Ki Danusela (kuwu Cirebon Larang).
2. Bratalegawa, merupakan seorang muslim yang berprofesi sebagai saudagar (pedagang). Ketertarikan pada Islam dikarenakan beliau banyak bergaul dengan para pedagang-pedagang Arab dan juga memiliki istri seorang muslimah dari Gujarat. Setelah memeluk agama Islam, beliau menjadi haji pertama di barat Jawa dan dijuluki Haji Purwa Galuh.
3. Banawati, kelak menjadi ratu di wilayah Galuh.
4. Mayangsari, kelak menikah dengan Prabu Anggalarang.
Prabu Bunisora meninggal dunia pada tahun 1371 dan dipusarakan di Gegeromas.
33. PRABU ANGGALARANG (1371 – 1475)
Sebelum menjadi raja Sunda ke-33, beliau merupakan yatim piatu yang diasuh oleh pamannya, selagi muda beliau sering berkelana dan mengembara hingga ke seberang lautan untuk berguru kepada orang-orang yang dianggap pintar. Salah satu guru beliau adalah Resi Susuk Lampung (seorang resi dari wilayah bagian selatan Sumatera). Selain belajar, Prabu Anggalarang (saat itu berusia 20 tahun) juga akhirnya menikahi puteri dari gurunya tersebut. Gadis yang saat itu berusia 19 tahun itu bernama Ratna Sarkati.
Pada saat berusia sekitar 23 tahun, beliau dinobatkan sebagai raja Sunda ke-33 yang bertahta di Kawali, dan diberi 2 gelar yaitu Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dan Praburesi Buana Tunggaldewata. Selain gelar resmi, beliau juga terkenal dengan sebutan Prabu Wangisutah.
Karena Prabu Anggalarang tetap melanjutkan pusat pemerintahannya di Kawali, maka kota Pakuan saat itu hanya dipimpin oleh raja daerah yang bernama Prabu Surendrabuanaloka (putera Prabu Linggatunggal / raja daerah sebelumnya).
Di saat penobatannya itu pula, beliau menikah lagi dengan Mayangsari (puteri bungsu Prabu Bunisora). Dari kedua istrinya itu, Prabu Anggalarang memiliki beberapa orang anak, antara lain :
1. Haliwungan (setelah menjadi raja Sunda bergelar Prabu Susuktunggal), merupakan anak dari pernikahannya dengan Ratna Sarkati.
2. Ningrat Kencana (setelah menjadi penguasa Galuh bergelar Prabu Dewa Niskala), merupakan anak dari pernikahannya dengan Mayangsari.
3. Ki Gedeng Sindangkasih (kemudian menjadi raja daerah di Kerajaan Surantaka), merupakan anak dari pernikahannya dengan Mayangsari.
4. Surawijaya Sakti / Ki Gedeng Singapura (kemudian menjadi raja daerah di Kerajaan Sing Apura), merupakan anak dari pernikahannya dengan Mayangsari.
5. Ki Gedeng Tapa (kemudian menjadi raja daerah di Kerajaan Sing Apura menggantikan Ki Gedeng Singapura), masih merupakan anak dari pernikahannya dengan Mayangsari.
Sebagai raja yang telah dibimbing oleh pamannya dengan nilai-nilai keagamaan, Prabu Anggalarang tumbuh menjadi pribadi yang cinta damai serta memerintah dengan adil dan bijaksana. Beliau berhasil membawa Kerajaan Sunda pada zaman keemasan, karena itulah raja ini digelari dengan sebutan Prabu Wangi. Gaya pemerintahan dari Prabu Anggalarang ini digambarkan oleh penulis Carita Parahyangan, sebagai berikut :
“jangankan manusia, apah (air), teja (cahaya), bayu (angin), akasa (langit), serta bu (eter) merasa betah berada di bawah pemerintahannya”.
Gambaran lain yang menyebutkan kondisi yang terjadi di masa kekuasaan Prabu Anggalarang adalah sang rama dapat tenteram mengurusi bahan pangan, sang resi dapat tenteram melaksanakan tugas kependetaannya dan menjalankan kebiasaan leluhur, sang disti dapat tenteram meramu obat-obatan, raja melaksanakan hukum-hukum kemanusiaan, sang tarahan dapat tenteram berlayar memenuhi peraturan raja, sang wiku tenteram menunaikan undang-undang dewa.
Walaupun beliau masih berusia muda, namun dari tindakannya yang bijaksana tersebut, maka beliau dianggap telah memenuhi tingkatan satmata (tingkat kebatinan level 5 dari total keseluruhan 7 tingkatan, menurut ajaran agama saat itu). Tingkat satmata tersebut, merupakan tingkatan maksimum bagi seseorang yang masih ingin mencampuri urusan duniawi.
Disaat kekuasaannya, diceritakan bahwa dari kebijaksanaan beliau sebagai penguasa seluruh dataran Sunda, akhirnya para pendatang dari Negeri Tionghoa diizinkan menghuni di wilayah tatar Sunda sekitar tahun 1407. Pada awalnya rombongan Tionghoa yang dipimpin oleh Ten Tjie Lung tersebut bertujuan untuk mendarat di wilayah kota Jayakerta (kota dalam Kerajaan Tanjung Jaya / bawahan Sunda). Namun perahu rombongan mereka terdampar dan mengalami kerusakan di wilayah Tangerang (sekarang). Akhirnya rombongan tersebut mendarat di muara sungai Cisadane (sekarang diberi nama Teluk Naga) dan menghadap Prabu Anggalarang (Prabu Niskala Wastukancana) untuk meminta pertolongan. Rombongan dari Tionghoa ini membawa tujuh kepala keluarga dan diantaranya terdapat sembilan orang gadis dan anak-anak kecil. Karena gadis-gadis yang ikut dalam rombongan itu cantik-cantik, maka beberapa kalangan dari Istana mempersunting sembilan gadis itu. Sebagai kompensasinya, rombongan Ten Tjie Lung diberi sebidang tanah pantai utara Jawa di sebelah timur sungai Cisadane (sekarang disebut Kampung Teluk Naga).
Pada masa kekuasaannya juga, agama Islam mulai masuk ke tatar Sunda. Haji Purwa Galuh / Bratalegawa (sepupu sekaligus kakak ipar Prabu Anggalarang) yang baru pulang dari tanah suci Mekkah mengajak saudara-saudaranya untuk masuk Islam, termasuk mengajak pada Prabu Anggalarang. Meskipun raja ini tidak menerima ajakan itu, namun beliau dengan sikap terbuka dan bijaksana tetap mengizinkan Haji Purwa untuk tinggal di daerah Cirebon Girang (masih merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda) serta membebaskannya untuk menyebarkan agama Islam di wilayah itu. Meskipun Bratalegawa dan keluarganya berbeda agama, tetapi Prabu Anggalarang tidak pernah memusuhinya sehingga hubungan harmonis antar keluarga mereka tetap terjaga.
Pelabuhan Cirebon mulai dijadikan andalan pemasukan kekayaan bagi Kerajaan Sunda. Prabu Anggalarang menempatkan anaknya yaitu Ki Gedeng Tapa, raja dari Kerajaan Sing Apura (Kerajaan bawahan Sunda) sebagai administratur Pelabuhan Cirebon yang waktu itu disebut sebagai Pelabuhan Muara Jati.
Pada tahun 1416, sebanyak 63 buah armada angkatan laut Kerajaan Cina mengadakan pelayaran keliling atas perintah Kaisar Cheng Tu / Kaisar Yunglo (dari Dinasti Ming yang ke-3) untuk menjalin hubungan kerjasama dengan raja-raja sahabat Cina di seberang lautan. Rombongan Cina yang berjumlah sekitar 27.800 orang tersebut, dipimpin oleh seorang muslim yang bernama Laksamana Cheng Ho / Sam Po Tay Kam. Rombongan tersebut bermaksud ke Majapahit, dan sementara beristirahat selama 1 minggu di wilayah Kerajaan Sing Apura. Sebagai tanda persahabatan antara Kekaisaran Cina dan Kerajaan Sunda, akhirnya Laksamana Cheng Ho mendirikan sebuah mercu suar di puncak bukit di pantai Muara Jati. Sedangkan sebagai perwakilan dagang Cina di tanah Sunda, Laksamana Cheng Ho menginstruksikan Ma Huang (kemudian dikenal dengan sebutan Ki Dampu Awang) sebagai duta dari Cina.
Satu bukti lain dari keterbukaan Prabu Anggalarang terhadap penyebaran agama Islam di wilayahnya, yaitu dengan diizinkan berdirinya sebuah pesantren Pondok Quro, Pura Dalem Karawang pada tahun 1418 (tercatat sebagai pesantren pertama di Jawa Barat). Pesantren itu didirikan oleh Syekh Hasanudin bin Yusuf Sidik / Syekh Quro (ulama Cina dari negeri Campa / Indocina).
Kemudian pada tahun 1420, Kerajaan Sunda kedatangan Ulama dari Baghdad yang bernama Syekh Datuk Kahfi / Syekh Idlofi / Syekh Nurul Jati bersama pengiringnya yang berjumlah 12 orang (10 pria dan 2 wanita). Ulama tersebut kemudian mendirikan pondok pesantren di kampung Pesambangan (sekitar pelabuhan Muara Jati).
Tidak hanya toleran terhadap Islam, di masa pemerintahannya, Prabu Anggalarang mengizinkan berdirinya sebuah padepokan beraliran Budha yang kemudian berkembang menjadi Kerajaan Talaga. Berkat restu serta dukungan Prabu Anggalarang, Kerajaan Talaga yang dipimpin oleh Darmasuci kemudian tumbuh menjadi pusat agama Budha di barat Jawa, serta banyak dikunjungi oleh umat Budha dari pulau Jawa dan Sumatera.
Saat Prabu Anggalarang bertahta, raja ini membuat dua buah prasasti yang ditulis pada batu alam dengan menggunakan aksara dan bahasa Sunda
(kuno) yang tersimpan di Astana Gede, Kawali. Teks dari prasasti tersebut berbunyi :
00 Nihan tapa kawa-
li nu siya mulia tapa bha-
gya parebu raja wastu
mangadeg di kuta kawa-
li nu mahayu na kadatuan
surawisésa nu marigi sa-
kuliling dayeuh nu najur sagala
désa aya ma nu pa (n) deuri pakena
gawé rahhayu pakeun heubeul ja
ya dina buana
“inilah peninggalan mulia, sungguh peninggalan Prabu Raja Wastu yang bertakhta di Kota Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa, yang membuat parit pertahanan sekeliling ibukota, yang menyejahterakan seluruh negeri. Semoga ada yang datang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia”.
Sedangkan isi dari Prasasti Kawali II berbunyi :
Aya ma
nu ngeusi bha-
gya kawali ba-
ri pakena kere-
ta bener
pakeun na(n) jeur
na juritan
“semoga ada (mereka) yang kemudian mengisi (negeri) Kawali ini dengan kebahagiaan sambil membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati agar tetap unggul dalam perang”.
Prasasti peninggalan dari Prabu Anggalarang ini berbeda dengan prasasti yang pernah ditemukan, biasanya sebuah prasasti hanya menuliskan cerita kejayaan ataupun pujian seorang raja yang berkuasa terhadap dirinya sendiri. Tetapi prasasti Kawali ini lebih menitik beratkan pada petuah-petuah bijak kepada semua orang yang membacanya.
Menjelang akhir dari kekuasaannya, Prabu Anggalarang menitipkan amanat kepada raja-raja penerusnya. Isi amanat ini kemudian diabadikan kedalam bentuk prasasti di Kebantenan oleh Prabu Jayadewata (cucunya setelah menjadi raja Pajajaran). Terjemahan dari isi prasasti itu sebagai berikut :
“Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa.
Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa", "calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang".
Selama masa pemerintahannya, Prabu Anggalarang selalu mengantisipasi kebesaran dari Kerajaan Majapahit. Antisipasinya itu tidak ditunjukan melalui cara peperangan, melainkan dengan jalan mengutamakan kesentosaan negara dan kesejahteraan rakyatnya. Cara itu rupanya berhasil dan sangat ampuh, karena Kerajaan Sunda akhirnya tumbuh menjadi bangsa yang besar dan damai, sedangkan Majapahit saat itu sedang dilanda kerusuhan dalam rangka perebutan kekuasaan. Kekejaman penguasa Kerajaan Majapahit yang dahulu pernah membunuh ayahnya dan saudaranya itu akhirnya terbalas sudah tanpa harus mengangkat senjata.
Untuk mewariskan tahtanya secara adil dan bijaksana, sebelum wafat Prabu Anggalarang mengamanatkan kepada putera-puteranya untuk membagi kerajaan ke dalam 2 bagian yang kedudukannya sederajat, yaitu :
· Kerajaan Sunda dipimpin oleh Haliwungan, dengan batasnya adalah Sungai Citarum ke bagian barat.
· Kerajaan Galuh dipimpin oleh Ningrat Kencana, dengan batasnya adalah Sungai Citarum ke bagian timur.
Prabu Anggalarang wafat di usia 127 tahun dengan meninggalkan kerajaannya dalam keadaan damai dan sejahtera. Beliau dipusarakan di Nusalarang.
34. HALIWUNGAN (1475 – 1482)
Sebelum menjadi raja Sunda, beliau sempat menjabat sebagai raja daerah di wilayah Pakuan (karena saat itu pusat Kerajaan Sunda berada di Kawali). Beliau menjadi raja daerah sejak berusia 13 tahun, karena usianya yang masih sangat muda maka kakek dari pihak ibunya (Resi Susuk Lampung) ikut serta mendampingi membantu tugas pemerintahan.
Karena dipecahnya kekuasaan Sunda, berdampak pada pindahnya pusat pemerintahan Sunda ke Pakuan, sedangkan Kawali dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Galuh di bawah pimpinan Ningrat Kencana (Dewa Niskala). Antara Kerajaan Sunda dan Galuh berada pada posisi yang sederajat.
Prabu Susuktunggal memiliki permaisuri yang bernama Baramuci Larang (puteri dari Surendrabuanaloka / raja daerah yang pernah bertahta di Pakuan), dari pernikahannya ini mereka dikaruniai beberapa orang anak, diantaranya :
1. Surabima / Pangeran Amuk Marugul (kemudian menjadi raja di Kerajaan Japura dengan gelar Ratu Japura).
2. Kentring Manik Mayang Sunda, Puterinya ini kemudian dinikahkan dengan Jayadewata (anak dari Dewa Niskala), setelah pernikahannya, Prabu Jayadewata menjabat sebagai Prabu Anom..
3. Dipati Kranda (kelak menjadi bupati di Kalapa).
Selain menikahi Baramuci Larang, Prabu Susuktunggal juga menikah lagi dengan seorang puteri yang tidak diketahui namanya. Yang pasti, dari pernikahan keduanya ini, lahirlah beberapa orang anak, yaitu :
1. Wudubasu, (kelak menjadi raja daerah di wilayah Tanjung).
2. Pulunggana, (kelak menjadi raja daerah di wilayah Gunung Batu).
Haliwungan yang dilahirkan pada tahun 1369, dinobatkan sebagai raja Sunda ke-34 di saat usianya menginjak 104 tahun, dengan diberi gelar nobat Prabu Susuktunggal. Beliau memempati keraton Sri Bima di Pakuan. Karena usianya yang sudah sangat tua, maka kemungkinan peranan Prabu Jayadewata sebagai Prabu Anom lebih dominan di pemerintahan Kerajaan Sunda.
Pada sekitar tahun awal 1480-an, Dewa Niskala sebagai Raja Galuh melanggar dua peraturan yang selama ini ditabukan oleh kerabat kerajaan. Dua pelanggaran itu adalah menikahi kerabat Majapahit (setelah tragedi bubat) dan menikahi perempuan yang telah bertunangan.
Prabu Susuktunggal merasa gusar kepada kelakuan saudara se-ayahnya itu dan mengancam akan memutuskan hubungan dengan Galuh. Untung saja perselisihan antara dua kerajaan yang bersaudara itu tidak berlanjut setelah pada tahun 1482 keduanya mengadakan perundingan yang intinya demi menyelamatkan persaudaraan antara Kerajaan Sunda dengan Kerajaan Galuh maka kekuasaan disatukan berada di tangan Jayadewata (anak Dewa Niskala sekaligus sebagai menantu Prabu Susuktunggal).
Akhirnya Prabu Susuktunggal dengan bijaksana mengundurkan diri dan menyerahkan hadiah kepada menantunya (Jayadewata) berupa Palangka Sriman Sriwacana (tempat duduk saat penobatan tahta kerajaan) dan lima buah keraton peninggalan Maharaja Tarusbawa yaitu Sri Bima, Punta, Narayana, Madura, Suradipati di Pakuan.
Prabu Susuktunggal wafat pada tahun 1482, saat menginjak usia 113 tahun.
0 comments:
Post a Comment