Riwayat kebesaran kesultanan Banten bertahan hingga tahun 1820. Jika dilihat dari awal berdirinya (1552), berarti Kesultanan Banten berdiri selama kurang lebih 268 tahun. Kesultanan Banten pulalah yang akhirnya memadamkan / menghancurkan Kerajaan Pajajaran.
Berikut ini merupakan urutan dari Sultan Banten :
SULTAN HASANUDDIN / PANGERAN SABAKINGKIN (1552 – 1570)
Saat penobatan sebagai sultan pertama, beliau diberi gelar Kanjeng Sinuhun Maulana Hasanuddin Panembahan Surasowan menjadi Sultan Banten pertama.
Di masa pemerintahannya, agama Islam benar-benar dijadikan landasan dalam segala sendi kehidupan di Banten. Kekuasaan dari Sultan Hasanuddin membawa berkah dan kejayaan bagi Kesultanan Banten.
Sultan Hasanuddin membangun sebuah kota baru sebagai simbol dimulainya era baru kesultanan. Dengan restu sang ayah (Sunan Gunung Jati) dibangunlah sebuah kota di desa Kroya (10 km dari kota Serang). yang letaknya tepat di mulut sungai Cibanten (sekarang terletak di Banten Lama).
Pemilihan kota di mulut sungai merupakan bukti kecerdasan Sultan Hasanuddin yang berniat untuk membangun sebuah pusat kerajaan yang sekaligus berperan sebagai pusat perdagangan. Dengan sungai yang melintas di tengah kota, arus tranportasi menjadi lebih mudah dan efisien, yang pada gilirannya mendukung aktivitas Banten sebagai sebuah pusat perdagangan. Pengaruh dari agama Islam terasa sangat kental dalam pembangunan kota Banten.
Secara umum, wilayah Kota Banten cukuplah luas. Berbentuk empat persegi panjang dengan sungai Cibanten melintas di tengahnya. Di tengah kota terdapat watu gilang yang merupakan simbol dari bangunan istana. Pembangunan kota Banten sangat memperhatikan rancang bangun yang tertata dengan apik. Hal Ini tampak dari pembagian distrik yang terstruktur dan tertata rapih, mulai dari wilayah untuk perdagangan, pemukiman hingga pertanian.
Hasanuddin membangun pusat kota Banten dengan mengacu kepada rancangan pembangunan kota tradisional Jawa. Wilayah Banten dibagi menjadi empat wilayah sesuai dengan arah mata angin, di mana pusatnya adalah istana. Istana tersebut bernama Keraton Surasowan (diambil dari nama kakeknya dari pihak ibu).
Istana tersebut dikelilingi beberapa bangunan penting. Di Selatan istana didirikan rumah pejabat pemerintahan Banten yang bertugas menjalankan seluruh aktivitas perdagangan dan pemerintahan. Di bagian barat istana dibangun mesjid utama yang megah dengan menara mesjid menjulang tinggi. Saking tinggi dan besarnya, para pelaut dapat melihat menara tersebut dari kejauhan. Tak heran menara tersebut juga berfungsi sebagai mercusuar. Mimbar masjid diberi hiasan ukiran yang diperkaya dengan warna cat merah dan kuning emas. Bagian puncaknya yang berbentuk lengkung, dihiasi dengan motif kaligrafi Arab. Kemudian beduk yang ada adalah sejenis gendang besar dan panjang terbuat dari pohon kayu pilihan dengan ukuran panjang 2 m atau lebih. Bentuknya silinder atau cembung simetris. Mulutnya ada yang ditutupi selembar membran pada satu sisi atau kedua sisinya dengan lembaran kulit. Sistem peregangan membrannya ada yang memakai kayu-kayu pasak dan ada pula dengan paku-paku berkepala besar. Bangunan Masjid Agung Banten dengan gaya tradisional beratap susun yang memperlihatkan adanya pengaruh budaya klasik (Hindu Jawa). Bangunan serambi Masjid Agung bergaya Jawa, penuh dengan pilar-pilar yang banyak miripnya dengan keraton-keraton di Jawa. Dalam lingkungan masjid, di sebelah utara, kelak dijadikan makam raja-raja Banten yang disebut "Pesarean Sedakingking".
Penduduk asli Banten mendiami rumah-rumah penduduk yang tertutup dan tertata rapi dan mengelilingi istana. Masyarakat Banten yang berprofesi sebagai nelayan dan pembuat kapal mendiami di tepi sungai Cibanten (Pelabuhan Karanghantu).
Bagi kaum pendatang dan para pedagang asing, Sultan Hasanuddin menyediakan lokasi di sebelah barat dan timur batas sebelah utara kota. Ini terkait dengan dua pelabuhan dagang yang dimiliki Banten, yakni pelabuhan di sebelah barat dan timur sungai Cibanten.
Untuk memudahkan aktivitas perdagangan maka didirikan pemukiman para pedagang di sekitar pelabuhan tersebut. Di sebelah barat sungai Cibanten, merupakan Pelabuhan Banten yang merupakan pelabuhan internasional terbesar ke-2 di Nusantara (setelah Malaka). Pelabuhan ini menghubungkan Banten dengan para pedagang asing. Di wilayah ini terdapat bangunan-bangunan semi permanen milik pedagang Eropa dari banyak negara. Mulai dari Belanda, Prancis, Denmark bahkan Portugis. Masing masing utusan dari berbagai negara tersebut mempunyai Kantor Dagang sendiri, untuk memudahkan transaksi dagang dengan masyarakat Banten.
Di sebelah timur sungai Cibanten (Pelabuhan Karanghantu), selain dijadikan pelabuhan untuk kepentingan perdagangan regional, juga berfungsi sebagai pusat perbelanjaan. Di sepanjang jalan menuju pusat kota berdiri toko-toko yang dikelola oleh bangsa Cina dan pedagang Islam dari Asia Kecil.
Di saat ini, Kesultanan Banten hanya memfokuskan pada pelabuhan yang berada di wilayahnya, sedangkan pelabuhan miliknya yang lain yaitu Pelabuhan Kalapa diserahkan kepengurusannya kepada penguasa daerah yang berkuasa di Keraton Jayakarta. Keadaan itu menimbulkan Kalapa, yang tadinya merupakan pelabuhan yang sangat ramai menjadi terbengkalai dan di “anak tiri” kan.
Masyarakat Cina yang berada di wilayah Banten memiliki catatan unik. Orang Cina ternyata telah berlayar dan berdagang pada kira-kira tahun 1407 dan kemudian menetap di wilayah Banten untuk melakukan transaksi dagang. (lihat Kerajaan Pajajaran, sub- Prabu Anggalarang). Tidak mengherankan, apabila masyarakat keturunan Cina di Banten mempunyai tempat khusus yang diaktualkan dengan wilayah atau kampung khusus masyarakat Cina, misalnya Kampung Teluk Naga di sebelah timur sungai Cisadane, Kampung Pecinan / Cinatown di sebelah Barat wilayah Banten dan hingga sekarang sisa-sisa bangunannya masih ada. Masyarakat Cina keturunan juga kemudian banyak yang memeluk agama Islam. Buktinya, beberapa mesjid yang dibangun di dalam wilayah Pecinan tersebut mempunyai gaya arsitektur Cina.
Di sepanjang sungai Cibanten ke arah selatan dipakai sebagai lahan pertanian oleh masyarakat Banten. Lewat petani inilah, kebutuhan sayuran segar untuk istana dapat disediakan.
Transportasi perdagangan menggunakan rakit dalam kanal-kanal buatan melintas di tengah-tengah kota. Banten pada saat itu sudah maju dan berkembang pesat seperti layaknya beberapa kota di Eropa. Karena ramainya kegiatan niaga di wilayah Kesultanan Banten tersebut, tak heran apabila di zaman tersebut Banten merupakan kota terbesar di Asia Tenggara. Penduduknya mencapai kurang lebih 100.000 jiwa.
Rempah-rempah asal Banten saat itu juga telah dikenal oleh pedagang Cina yang memasarkan ke Eropa sejak abad 16. Lokasi perkebunan rempah-rempah (lada, merica dan kayu manis) milik Banten dipusatkan di daerah Sumatera Selatan, wilayah bekas Kerajaan Tulang Bawang (meliputi Jambi sampai Lampung sekarang). Kerajaan Tulang Bawang yang lemah kemudian dikuasai oleh Banten dan wilayah itu dijadikan pusat perkebunan rempah rempah. Salah satu bukti yang memperlihatkan keberadaan produk unggulan rempah rempah ini buat ekonomi Banten adalah terdapatnya sebuah kampung Pamarican (kampung tempat pengelolaan merica).
Pada masa Sultan Hasanuddin berkuasa, kesenian debus mulai digunakan sebagai seni untuk memikat masyarakat Banten yang masih memeluk agama Hindu dan Budha dalam rangka penyebaran Agama Islam.
Di masa pemerintahannya, Sultan Hasanuddin kembali menggempur Pakuan (ibukota Pajajaran). Serangan ini berhasil membuat Nilakendra (raja Pajajaran saat itu) melarikan diri meninggalkan Pakuan. Tetapi, kemenangan atas Pajajaran belum sepenuhnya berhasil karena Pajajaran meskipun sudah semakin lemah namun masih bisa memberikan perlawanan yang gigih.
Sultan Hasanuddin memiliki permaisuri yang berasal dari daerah Indrapura. Dari pernikahannya itu beliau memperoleh putera yang bernama Maulana Yusuf (kelak menggantikan posisi Sultan Hasanuddin).
Dari istri kedua yang bernama Ratna Ayu Kirana (puteri sulung Raden Patah / Sultan Demak), beliau memiliki beberapa orang anak, yaitu :
1. Ratu Winahon, kelak menikah dengan Tubagus Angke (bupati Jayakarta).
2. Pangeran Arya, kemudian dikenal sebagai Pangeran Japara.
Sultan Hasanuddin wafat pada tahun 1570, dan tahtanya digantikan oleh Maulana Yusuf.
SULTAN MAULANA YUSUF / PANEMBAHAN YUSUF (1570 -1580)
Pada masa kekuasaannya, beliau mempersiapkan serangan pada Pajajaran lebih matang daripada yang telah dilakukan oleh ayahnya. Pada waktu itu, Pajajaran sudah memindahkan ibukotanya ke Pulasari, Pandeglang. Tetapi dalam rangka membersihkan sebersih-bersihnya, pasukan Maulana Yusuf menghancurkan terlebih dahulu Pakuan dengan cara berkomplot dengan pengawal gerbang Pakuan. Setelah berhasil meluluh lantakan tanpa sisa, pasukan Maulana Yusuf bergerak menuju Pulasari Pandeglang dan menewaskan raja Pajajaran terakhir (Ragamulya Suryakancana).
Kemenangan atas Pajajaran ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana (tempat duduk saat penobatan raja-raja Pajajaran) ke keraton Surasowan. Dengan diambilnya benda paling berharga milik Pajajaran itu, maka Pajajaran sudah benar-benar habis dan tidak mungkin lagi ada raja baru di Pajajaran.
Untuk pembangunan di Banten, Sultan Maulana Yusuf membangun dua pintu masuk menuju keraton Surasowan di pusat kota. Pintu masuk utama terletak di bagian utara dengan gerbang yang berbentuk lengkung Persia, sedangkan pintu kedua terdapat di bagian timur istana. Selain itu, beliau juga membangun dinding / tembok yang tinggi dan kokoh sebagai benteng di bagian luar wilayah kota, dimana hanya penduduk asli Banten yang dapat tinggal di balik dinding bagian dalam kota Banten tersebut. Benteng diperkuat dengan batu karang dan batu merah. Di sekeliling benteng digali parit-parit. Di dalam istana dibangun kolam mandi. Kolam ini disebut pemandian Loro Denok, dan sisa bangunan ini sampai sekarang masih bisa terlihat.
Sultan Maulana Yusuf kemudian merenovasi bangunan Masjid Banten dengan gaya artsitektur Timur Tengah. Sisi kiri kanan mesjid terdapat serambi yang menjadi ciri khas tersendiri. Model tangga pada mesjid itu menyerupai goa, yang menurut sejarah pembangunannya dilakukan atas bantuan seorang arsitektur asal Mongolia bernama Cek Ban Cut.
Panembahan Yusuf wafat pada tahun 1580 dan kemudian tahtanya digantikan oleh putranya yang bernama Maulana Muhammad.
MAULANA MUHAMMAD / KANJENG RATU BANTEN (1580 – 1596)
Saat berkuasa, beliau melakukan ekspansi ke Palembang dan Lampung, sehingga Kesultanan Banten sudah berpengaruh di sana. Tetapi, Maulana Muhammad wafat pada tahun 1596 dalam peperangan saat memperebutkan Palembang dan digantikan sementara oleh Ranamenggala dikarenakan putra mahkotanya yang bernama Abdul Mufakir masih terlalu kecil (5 tahun) untuk menjadi sultan.
RANAMENGGALA (1596 – 1605)
Memangku jabatan sebagai wali raja (sultan sementara). Ranamenggala meneruskan kejayaan Banten sebagai pusat perdagangan. Bahkan saat itu Banten mulai dikenal sebagai pusat perdagangan lada dari Lampung serta cengkeh dan pala dari Maluku. Banyak pedagang dari Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman.
SULTAN ABDUL MUFAKIR MAHMUD ABDUL QADIR (1605 – 1651)
Naik tahta pada saat berusia 14 tahun, namun dibalik usia mudanya, beliau mampu membawa Banten menuju puncak popularitas. Kerjaama antar nagara / kerajaan dilakukannya, antara lain dengan Turki, Cina, India, dan kerajaan Islam di luar Jawa.
Tetapi dibalik keberhasilannya dalam memerintah Kesultanan Banten, pada tahun 1605 dan 1607 (menurut Paulus Van Solt), benteng keraton sempat mengalami kebakaran.Sedangkan pada tahun 1619, keraton Jayakarta (didirikan oleh Fatahillah, beberapa saat setelah merebut wilayah Jakarta sekarang) mengalami kehancuran akibat serangan dari VOC. Keraton Jayakarta yang secara administratif merupakan wilayah dari bawahan Banten, memang sejak bertahun-tahun kurang mendapat perhatian pusat, bahkan diantara Banten dan Jayakarta kerap terjadi konflik. Sehingga Adipati yang diperintahkan mengatur pemerintahan disana, berbuat sekehendak hatinya tanpa ada kontrol sama sekali. Puncaknya terjadi pada tahun 1619, saat Jayakarta dipimpin oleh Achmad Jaketra. Penguasa ini kurang disenangi oleh rakyatnya, ditambah lagi konfliknya dengan penguasa Kesultanan Banten. Sehingga ketika VOC datang, maka dia tidak memiliki dukungan kekuatan sama sekali. Akhirnya Keraton Jayakarta jatuh dengan mudah.
Pada tahun 1619, di Kesultanan Banten mulai terjadi pemberontakan yang dipicu oleh Abdul Kohar Nasar / Sultan Haji atas bantuan Belanda. Sultan Haji ini merupakan anak dari Sultan Ageng Tirtayasa (cucu Abdul Mufakir). Sultan Agung Tirtayasa yang merasa malu akibat perlakuan putranya tersebut, akhirnya dengan terpaksa memerangi anaknya itu. Pertempuran antara ayah dan anak pun tak terelakan, dan terjadi dua pertempuran besar di Benteng Speelwijk pada tahun 1619 dan 1633.
Pada masa kekuasaan Sultan Abdul Mufakir, tepatnya pada tahun 1620, Masjid Banten mendapat bangunan tambahan berupa menara yang dirancang oleh seorang Indo-Belanda yang masuk Islam, yaitu Hendrik Lucas Cardeel.
Bangunan menara ini kental dengan nuansa Belanda, karena sang arsitek adalah awak kapal berdarah Belanda. Menara Masjid Agung Banten sendiri menggambarkan prototype mercusuar : berbentuk prisma segi delapan, yang makin mengecil ke bagian atasnya dengan tinggi 30 meter. Bagian atasnya bertingkat dua dengan masing-masing berbentuk setengah bola yang dibatasi oleh pelipit dan pagar.
Di halaman selatan masjid ditambahkan juga bangunan Tiamah, yang juga memiliki gaya Eropa (Belanda). Dahulu, gedung Tiamah ini digunakan sebagai majelis taklim serta tempat para ulama dan umara Banten mendiskusikan soal-soal agama. Kini gedung tersebut digunakan sebagai tempat penyimpanan benda-benda purbakala.
Sultan Abdul Mufakir adalah Sultan Banten pertama yang mendapat gelar kehormatan dari penguasa negeri Mekkah, tepatnya pada tahun 1636.
Peristiwa menarik terjadi ketika di sekitar tahun 1630-an, Kerajaan Mataram mulai melakukan ekspansi ke barat Jawa dengan maksud menghalau VOC. Kesultanan Banten yang merupakan Kesultanan yang memiliki hak penuh atas wilayah barat Jawa (sepeninggal Pajajaran) merasa terusik oleh kehadiran Mataram. Tetapi persahabatan yang pernah terjalin antara Banten, Cirebon, dan Demak (setelah jatuh kemudian dilanjutkan dengan Pajang, kemudian Mataram) pada waktu dulu membuat Banten tidak bisa berbuat apa-apa demi menjaga keharmonisan.
SULTAN AGENG TIRTAYASA (1651 –1682)
Beliau merupakan cucu dari Sultan Abdul Mufakir. Puncak kejayaan Kesultanan Banten terjadi pada masa pemerintahan ini. Saat itu, Sultan Ageng didampingi ulama asal Makassar Syekh Yusuf. Tokoh ini berperan besar dalam perlawanan Kerajaan Gowa (Makassar) di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin terhadap VOC. Sultan Ageng Tirtayasa yang menganggap kompeni menyulitkan perdagangan Banten, memboikot para pedagang Belanda. Walau demikian, orang Banten tetap berniaga dengan para pedagang asing selain Belanda, seperti dari Inggris, Denmark, Cina, Vietnam, India, Persia, Filipina, dan Jepang.
Sebagai salah satu kota pelabuhan besar di Asia Tenggara di saat itu, Banten disebut sebut sebagai salah satu kota pelabuhan paling strategis dan sebagai pusat aktivitas perdagangan yang menghubungkan para pedagang bangsa Asia dengan bangsa Eropa.
Pelabuhan yang dimiliki Banten tidak hanya besar dan teratur, tetapi juga lengkap dengan prasarana pelabuhan lainnya seperti, dermaga yang panjang menjorok ke laut, dok kapal, hingga gudang-gudang penyimpanan. Sepanjang pelabuhan bersandar kapal kapal dagang asing berlayar tinggi berjajar dan merapat di sana.
Selain mengandalkan aktivitas perdagangan melalui dua pelabuhannya, Banten juga mempunyai modal lain di bidang ekonomi yaitu perkebunan. Sedangkan jenis tanaman yang ditanam dan menjadi andalan ekonomi Banten adalah gula dan rempah rempah (merica, lada dan kayu manis).
Untuk perkebunan gula di pusatkan pada sebuah wilayah yang disebut Kelapa Dua (saat ini berada di wilayah Serang) sekitar 20 km disebelah selatan pusat kota Banten. Menurut beberapa peninggalan sejarah berupa prasasti dan data tertulis, perkebunan Kelapa Dua dapat menghasilkan sedikitnya 50 ton setiap kali panen. Bahkan kota ini kemudian berkembang menjadi salah satu kota penghasil minuman Arak (minuman khas beralhohol asal Indonesia).
Raja Mataram yang saat itu dijabat oleh Sunan Amangkurat I mulai terusik hatinya untuk menguasai barat Jawa. Sunan Amangkurat I memiliki pemikiran bahwa hanya dengan menguasai Jawa Barat, VOC yang mulai merajalela bisa terkalahkan. Berawal dari pandangan itulah Mataram akhirnya menguasai semua kabupaten di barat Jawa.
Karena perlakukan Raja Mataram itu, Sultan Ageng Tirtayasa tidak tinggal diam. Atas bantuan Trunojoyo dari Madura, Banten menyerang wilayah Cirebon yang saat itu mulai diduduki Mataram, tahun 1667. Akhirnya Mataram menyerah dan pergi meninggalkan Cirebon, bahkan Trunojoyo menyerang ke Mataram langsung yang membuat Mataram kalang kabut. Mulai saat itu, Kesultanan Cirebon dibawah bimbingan dari Kesultanan Banten, demikian juga masalah penobatan sultan disana. Kejadian terseut berlangsung hingga stabilitas Cirebon bisa pulih kembali.
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng, banyak di antara para pegawainya berasal dari berbagai suku bangsa, seperti Prancis, Belanda, Denmark bahkan Spanyol. Bahkan pada tahun 1671 bangsa Prancis dan Denmark membangun komunitas sendiri di kewilayahan Banten.
Seperti yang pernah ditulis pada bagian sebelumnya mengenai pemberontakan Abdul Kohar Nasar / Sultan Haji. Akhirnya pada tahun 1676, Sultan Haji diangkat menjadi sultan muda setelah beliau baru pulang berhaji. Sultan Haji yang lebih suka berhubungan dengan kompeni, kemudian memberi keleluasaan pada Belanda untuk berdagang di Banten. Seorang arsitek bangsa Belanda yang banyak berjasa pada pembangunan Banten, bernama Hendrik Lucas Cardeel Cardeel akhirnya diberi gelar Pangeran Wiraguna oleh Sultan Haji.
Sultan Ageng Tirtayasa tak senang dengan beberapa kebijakan anaknya itu yang terlalu dekat dengan Belanda. Akhirnya, pasukan Sultan Ageng Tirtayasa kemudian menyerang Istana Surosowan pada 27 Februari 1682. Sultan Haji pun minta bantuan dari Belanda. Armada Belanda (yang baru mengalahkan Trunojoyo di Jawa Timur) dikerahkan untuk menggempur Sultan Ageng Tirtayasa, perang ayah dan anak kembali berkecamuk. Pada tahun 1682, Banten jatuh ke tangan Belanda. Perkebunan gula Kalapa Dua akhirnya dimonopoli dan dikelola oleh pemerintah Belanda.
Para pengikut Sultan Ageng Tirtayasa pun menyebar ke berbagai daerah untuk berdakwah. Syekh Yusuf lalu dibuang ke Sri Lanka (tempat ia memimpin gerakan perlawanan lagi), sebelum dibuang ke Afrika Selatan. Di tempat inilah Syekh Yusuf menyebarkan Islam. Sedangkan Banten jatuh menjadi boneka Belanda.
Pada masa tahun 1682 sampai dengan tahun 1803, Penyusun belum menemukan data mengenai sultan (ada 13 sultan), yang memimpin pemerintahan di Kesultanan Banten.
SULTAN ALIUDDIN II (1803 – 1812)
Beliau adalah Sultan Banten ke-19. Pada akhir kekuasaannya ditandai dengan terbakarnya kota Banten oleh Belanda. Pada tanggal 21 Nopember 1808, Daendels (yang membangun jalan raya Anyer-Panarukan) beserta pasukan Kompeninya menghancurkan dan membakar habis Keraton Surosowan, kemudian dia memindahkan pusat kekuasaan Banten ke Serang.
Meskipun keraton yang menyimpan sejarah kerajaan kasultanan Banten itu sudah melebur dengan tanah, namun tanda-tanda kejayaan kerajaan Banten saat itu masih nampak dan terus dikenang bukan saja masyarakat Banten tapi juga umat Islam di seluruh Nusantara.
SULTAN MUHAMMAD RAFI’UDDIN (1813 – 1820)
Sultan Muhammad Rafi'uddin, merupakan sultan Banten ke-20 sekaligus yang terakhir. Setelah Banten dikuasai oleh Belanda, pusat perdagangan yang tadinya berada di Banten berpindah ke Batavia (Jakarta). Begitu juga dengan perkebunan rempah-rempah sebagai komoditi unggulan dari Banten, akhirnya dikuasai Belanda. Saat itu Belanda berhasil mengekspor bahan rempah rempah asal Lampung dan Jambi (asalnya merupakan wilayah kekuasaan Banten) ini menjadi sebuah produk unggulan bahkan dapat memenuhi 75% kebutuhan rampah-rempah dunia.
.
Akhirnya Kesultanan Banten berakhir setelah dihapus oleh Gubernur Jenderal Belanda yang bernama Thomas Stamford Rafles.
1820, kerajaan Sunda, habis sudah. Coba belajar dari sejarah.....
ReplyDeleteleres lur.... salah satu faktor utama yg membuat sejarah sunda selalu diwarnai dengan pertikaian adalah "teu akur jeung dulur"... mugia generasi ayeuna sareng nu kapayun tiasa ngeunteung tina eta sejarah. Cag!
ReplyDelete