Wilayah ini sebenarnya bukan berbentuk kerajaan, namun hanya sebagai desa yang dipimpin oleh seorang Adipati. Sejarah daerah yang kemudian menjadi cikal bakal Kabupaten Indramayu ini , saya uraikan secara singkat di bawah ini.
Tokoh yang sangat terkenal di wilayah ini adalah Aria Wiralodra, putra seorang Adipati / Tumenggung dari Bagelen yang bernama Dalem Gagak Singalodra. Saat itu wilayah Bagelen (sekarang Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah) merupakan bawahan Demak yang tentunya beragama Islam.
Sejak usia 7 tahun, Aria Wiralodra sudah mempelajari ilmu Agama Islam. Kemudian untuk menambah ilmu lainnya, Aria Wiralodra masuk Padepokan Gunung Sumbing / Padepokan Ki Betara untuk belajar olah kanuragan, tirakat, dan bersemedi, layaknya untuk menjadi seorang ksatria yang adiluhung.
Sekitar tahun 1500, Aria Wiralodra (kira-kira berusia 17 tahun) lulus dari padepokan tersebut, beliau diberi senjata pusaka berupa sebuah cakra yang bernama Cakra Udaksana Kiai Tambu dan dua buah keris yang bernama Gagak Handaka dan Gagak Pernala. Senjata tersebut buatan Empu Warih (anak Empu Bondan) yang dibuat pada abad ke-12 (sekarang disimpan di Kabupaten Indramayu).
Suatu saat, setelah berbekal ilmu yang tinggi, Aria Wiralodra diberi tugas oleh Sultan Demak (Raden Fatah) untuk menjalankan misi rahasia yaitu menggerogoti kekuatan Pajajaran secara sembunyi-sembunyi, yaitu dengan cara mendirikan pemukiman di sekitar wilayah Galuh sebagai tambahan kekuatan Cirebon dan Demak di barat Jawa. Kesultanan Demak menunjuk sungai Cimanuk sebagai tempat pemukiman tersebut, karena wilayah itu dianggap strategis.
Setelah menghabiskan beberapa waktu, Aria Wiralodra yang didampingi oleh Ki Tinggil akhirnya tiba di tepian sungai Cimanuk melalui bimbingan Ki Buyut Sidum / Ki Purwakali atau terkenal juga dengan sebutan Kidang Pananjung (tokoh punakawan sakti yang mengabdi pada Prabu Siliwangi).
Pemukiman baru didirikan di tanah datar yang luas di sebelah barat sungai Cimanuk (sekarang termasuk Desa Sindang) dan tidak lama kemudian wilayah tersebut menjadi daerah pemukiman yang ramai dan tersusun rapi.
Untuk melegitimasi daerah tersebut, pada tahun 1510, Aria Wiralodra meminta izin pada Raja Galuh (saat itu wilayah Cimanuk merupakan wilayah Pajajaran yang secara administratif diserahkan pengurusannya kepada kerajaan bawahannya yaitu Galuh). Raja Galuh yang memerintah saat itu adalah Prabu Jayaningrat.
Raja Galuh menigizinkan wilayah Cimanuk menjadi kekuasaan Aria Wiralodra. Selain diangkat sebagai Adipati, Aria Wiralodra kemudian diberi gelar yaitu Aria Indrawijaya. Sebagai perwakilan Galuh di Cimanuk, Prabu Jayaningrat mengutus Aria Danujaya untuk menjabat sebagai Patih di Cimanuk.
Agar rencana rahasianya berjalan mulus, maka beberapa bulan setelah pelantikan, Aria Wiralodra memindah tugaskan Aria Danujaya dari Patih menjadi Juru Labuhan (syahbandar). Aria Danujaya tidak mempermasalahkan pemindahannya ini, dikarenakan jabatan Juru Labuhan lebih “basah” dibandingkan dengan penghasilan Patih, walaupun secara tugas posisi Patih adalah pemegang kunci pemerintahan.
Mulai saat itu, Cimanuk menjadi pemukiman yang seluruh penduduknya beragama Islam kecuali Aria Danujaya. Kemudian hari di Dusun tersebut banyak didirikan madrasah-madrasah sebagat pusat penyebaran agama Islam.
Beberapa waktu kemudian, Cimanuk kedatangan seorang tamu wanita misterius yang cantik jelita. Wanita itu bernama Nyai Endang Darma yang datang diiringi oleh pengasuhnya yang bernama Ki Tana dan Nini Tani.
Tanpa diketahui oleh warga Cimanuk, sebenarnya Nyai Endang Darma adalah lahir di Pasai (Aceh) dan memiliki nama asli yaitu Nyi Mas Ratna Gandasari (cucu dari Sunan Maulana Malik Ibrahim). Sebelum tiba dari Pasai ke Cimanuk, Nyai Endang Darma berguru pada Syarif Hidayatullah untuk belajar ilmu tenaga dalam yang berjumlah 13 jurus dan disebut Jurus Sunan. Kemudian berguru pada Walangsungsang (Putra Prabu Siliwangi yang menjadi raja Kerajaan Cirebon Larang) untuk menguasai jurus warisan Pajajaran yaitu Jurus “Nyi Pohaci Berpayung Emas”. Selain itu sebelumnya juga Nyai Endang Darma telah menguasai ilmu silat dan kanuragan sejak masih berada di Pasai. Sedangkan Ki Tana dan Nini Tani adalah dua orang utusan Walangsungsang yang bertugas untuk menjaga Nyai Endang Darma.
Nyai Endang Darma akhirnya bermukim di Cimanuk dan mengajarkan ilmu bela diri kepada penduduk setempat tanpa imbalan. Kehebatan ilmu bela diri yang dimiliki Nyai Endang Darma sebenarnya hanya ditujukan untuk para wali, raja, dan pangeran. Atas dasar itulah, Sultan Palembang yang bernama Pangeran Guru Aria Dila (ayah dari Raden Fatah / Sultan Demak) marah dan bermaksud menangkap Nyai Endang Darma. Namun dengan kehebatannya, melalui perkelahian yang seru akhirnya Sultan Palembang dan beberapa pengawalnya tewas.
Atas kejadian yang mengakibatkan tewasnya Sultan Palembang tersebut, Adipati Bagelen merasa malu kepada Kesultanan Demak khususnya Raden Fatah. Akhirnya pada tahun 1525, Aria Wiralodra dan kedua adiknya (Raden Tanujaya dan Raden Tanujiwa) yang didatangkan langsung dari Bagelen diperintahkan untuk menangkap Nyai Endang Darma dan akan diserahkan kepada Demak.
Tetapi lagi-lagi kehebatan ilmu dari Nyai Endang Darma tidak mampu ditandingi oleh dua adik dari Aria Wiralodra. Akhirnya, Aria Wiralodra harus turun tangan untuk menguji ilmu dari Nyai Endang Darma.
Setelah beradu ilmu bela diri yang cukup melelahkan, dari pusat Cimanuk hingga ke Bukit Marongge, akhirnya Aria Wiralodra berhasil mengalahkan Nyai Endang Darma. Namun sebelum bertempur sebenarnya kedua ksatria tersebut sudah saling menaruh hati, maka tak heran apabila akhirnya setelah pertempuran, Aria Wiralodra melamar Nyai Endang Darma di bukit Marongge dan mengurungkan diri untuk menyerahkannya kepada Demak.
Setelah lamaran Aria Wiralodra diterima, Nyai Endang Darma membuka identitas rahasianya kepada calon suaminya itu. Nyai Endang Darma juga menceritakan bahwa sebenarnya beliau sedang mengemban tugas dari Sultan Cirebon yaitu Syarif Hidayatullah untuk mencuri benda pusaka Kerajaan Galuh yang bernama Sarpa Kandaga (berupa patung ular yang terbuat dari emas). Maksud dari pencurian ini tidak lain adalah untuk melemahkan kepercayaan serta semangat para pembesar dan prajurit Galuh, karena benda pusaka ini sangat diagungkan oleh Kerajaan Galuh. Dengan hilangnya pusaka ini maka Galuh akan mudah ditaklukan oleh Kesultanan Cirebon. Untuk melancarkan misi yang berbahaya ini, Nyai Endang Darma meminta bantuan Aria Wiralodra yang sudah sejak dulu dikenalnya sebagai orang yang cakap bertempur.
Ada kegalauan di hati Aria Wiralodra, di satu sisi dia ingin menolong calon istrinya tersebut, namun di sisi lain dia pun belum tuntas menyelesaikan misinya. Aria Wiralodra berfikir bahwa sebelum Demak dan Cirebon menyerang Pajajaran melalui Galuh sesuai dengan rencana awalnya, maka dia harus “berpura-pura” tunduk pada penguasa Galuh. Maka hal yang mustahil apabila sekarang Aria Wiralodra harus ikut dalam tugas pencurian benda pusaka ke Galuh, karena bagaimanapun saat ini Galuh masih menjadi “atasannya”. Kegalauan yang lain yaitu mengenai status Nyai Endang Darma yang saat itu dianggap “buronan” oleh ayahnya di Bagelen, namun cinta Aria Wiralodra begitu besar sehingga telah membelokan perintah dari ayahnya itu.
Akhirnya sambil memikirkan jalan keluar dari 2 masalah tersebut, Aria Wiralodra mengajak Nyai Endang Darma untuk meresmikan terlebih dahulu pernikahannya di Pegaden. Setelah pulang dari acara pernikahan yang dilangsungkan tanpa pesta, Aria Wiralodra dan Nyi Endang Darma kembali ke Bukit Marongge, disanalah tercetus ide bahwa untuk masalah pencurian benda pusaka, Nyai Endang Darma diusulkan untuk mencari seorang ksatria tangguh dari wilayah Cirebon yang sebelumnya harus disaring melalui sayembara. Sedangkan untuk masalah status istrinya yang menjadi “buronan” pihak ayahnya, Aria Wiralodra mengarang cerita bahwa Nyai Endang Darma dikabarkan hilang di Sungai Cimanuk saat pertempuran berlangsung.
Dari Bukit Marongge, kemudian Nyai Endang Darma seorang diri menuju desa Panguragan (wilayah Cirebon) disusul oleh Ki Tana dan Nini Tani yang sebelumnya telah diberitahu oleh Aria Wiralodra untuk menyusulnya. Di desa itulah Nyai Endang Darma mengadakan sayembara dengan dibantu oleh seorang wiku setempat yang bernama Ki Selapandan. Untuk menarik para kontestan, sayembara tersebut diadakan dengan dalih untuk memperebutkan Nyai Endang Darma, dengan aturan main yaitu barangsiapa yang berhasil mengalahkan Nyai Endang Darma melalui pertarungan, maka sang pemenang berhak menikah dengan Nyai Endang Darma.
Banyak kontestan yang turut serta, namun hanya satu yang agak sanggup menandingi kehebatan ilmu Nyai Endang Darma. Orang tersebut adalah Pangeran Remagelung atau Jaka Soka (pendatang dari Negeri Siam). Sebenarnya Nyai Endang Darma dan Jaka Soka adalah sama-sama murid dari Syarif Hidayatullah, namun Jaka Soka baru belajar di Cirebon setelah Nyai Endang Darma lulus atau dengan kata lain Jaka Soka adalah “adik kelas” dari Nyai Endang Darma.
Setelah Jaka Soka dianggap tepat untuk dijadikan “partner” dalam misi pencurian, maka Nyai Endang Darma pura-pura kalah dalam sayembara. Sang wiku Ki Selapandan akhirnya memutuskan Jaka Soka sebagai pemenang, dan walaupun “kalah” Nyai Endang Darma telah menarik simpati penduduk sehingga diberi gelar Nyi Mas Ratu Panguragan. Tiba-tiba di barisan penonton, Ki Tana dan Nini Tani sengaja berbuat keonaran untuk mengalihkan perhatian sehingga Nyai Endang Darma berhasil melarikan diri menuju Keraton Pakungwati untuk menghadap Sang Sultan, Syarif Hidayatullah. Jaka Soka yang mengetahui Nyai Endang Darma kabur kemudian mengejarnya hingga akhirnya mereka bertemu dengan Syarif Hidayatullah.
Walaupun asalnya Jaka Soka menagih janji dari Nyai Endang Darma untuk bersedia dinikahinya, namun setelah mendengar penjelasan dari Syarif Hidayatullah, akhirnya Jaka Soka mengerti dan memohon maaf telah berbuat lancang karena dia tidak tahu bahwa Nyai Endang Darma adalah kakak seperguruan yang menurut peraturan disana dilarang untuk dinikahi.
Setelah dari Cirebon, Nyai Endang Darma, Ki Tana, Nini Tani, dan Jaka Soka kembali dulu ke Cimanuk. Saat itu Aria Wiralodra telah merubah nama Cimanuk menjadi Darma Ayu sebagai tanda cinta kepada istrinya itu, nama itu diambil dari kata Darma Ayu (artinya Darma yang cantik). Perubahan nama ini, dilakukan oleh Raden Aria Wiralodra pada Jumat Kliwon 1 Muharram 934 Hijriah atau 1 Sura 1449, yang bertepatan dengan tanggal 7 Oktober 1527. Diperkirakan nama Darma Ayu tersebut, menjadi cikal bakal nama Indramayu yang sekarang dikenal oleh kita dan tanggal peristiwa itu. kemudian secara resmi dijadikan sebagai hari jadi Kabupaten Indramayu.
Setelah tahun 1527, Daerah Darma Ayu terbagi dalam tiga propinsi meliputi:
1. Propinsi Singapura, meliputi sebelah timur sampai Sungai Kamal.
2. Propinsi Rajagaluh, meliputi daerah tengah sampai Jati tujuh.
3. Propinsi Sumedang, meliputi bagian barat sampai Kandanghaur.
Misi mencuri benda pusaka Kerajaan Galuh akhirnya dimulai, Nyai Endang Darma diiringi oleh Jaka Soka yang memimpin sekitar 24 pasukan dari Darma Ayu menuju ke pusat Kerajaan Galuh. Setibanya disana Nyai Endang Darma memperkenalkan diri sebagai istri dari Aria Wiralodra dan disambut dengan hangat oleh Sang Raja Prabu Jayaningrat. Kemudian Nyai Endang Darma memberi keterangan palsu bahwa dia diutus oleh Aria Wiralodra untuk mengabarkan bahwa saat ini di Kesultanan Cirebon telah siap siaga pasukan dari Demak untuk membalas kekalahan Kuningan (Kerajaan bawahan Kesultanan Cirebon) tempo hari / pada tahun 1528. Aria Wiralodra tidak dapat datang ke Galuh dikarenakan takut ketahuan oleh pihak Cirebon, tetapi saat ini utusan dari Aria Wiralodra telah menjadi mata-mata di seluruh pelosok Cirebon untuk mengawasi keadaan. Apabila pasukan Demak telah bergerak untuk menyerang Galuh, maka pasukan dari Aria Wiralodra akan siap untuk menyerang dari belakang.
Mendengar laporan penting tersebut, Prabu Jayaningrat sangat senang dan bangga atas kesetiaan serta pengabdian Aria Wiralodra terhadap Kerajaan Galuh. Semakin ramah pula lah para pembesar Galuh terhadap rombongan kecil pimpinan Nyai Endang Darma ini, saat itu Prabu Jayaningrat menyiapkan jamuan malam lengkap dengan makanan dan minuman yang lezat.
Pada malam hari seusai jamuan malam, Prabu Jayaningrat dan pembesar Galuh rupanya kelelahan dan minuman yang dihidangkan telah membuat mereka mabuk, akhirnya Nyai Endang Darma yang tidak meminum arak tanpa kesulitan menyelinap ke tempat penyimpanan benda pusaka Sarpa Kandaga dan berhasil mencurinya. Sebenarnya para penjaga istana sempat menghadang mereka, namun berkat kegesitan dan keterampilan berbela diri, pasukan kecil dari Darma Ayu tersebut dengan cepat melarikan diri ke Cirebon untuk menyerahkan Sarpa Kandaga pada “pemesannya” yaitu Syarif Hidayatullah. Sebelum melarikan diri Nyi Endang Darma menculik seorang prajurit Galuh, kemudian pada tawanan tersebut Nyi Endang Darma mengatakan bahwa sebenarnya dia bernama Gandasari murid Syarif Hidayatullah bukan merupakan istri dari Aria Wiralodra, lalu tawanan itu dilepaskan agar keterangan tersebut dilaporkan pada Prabu Jayaningrat. Sebuah siasat yang cerdik, karena dengan demikian, “nama baik” Aria Wiralodra di mata Kerajaan Galuh kembali pulih dan seakan-akan Aria Wiralodra tetap sebagai pengabdi setia untuk Galuh.
Dugaan mengenai hilangnya kepercayaan diri dari para prajurit Galuh seusai peristiwa hilangnya pusaka Sarpa Kandaga ternyata benar terbukti. Pasukan Cirebon yang dipimpin langsung oleh tokoh kharismatik yaitu Raden Walangsungsang serta dibantu oleh Dipati Ewangga (panglima perang dari Kuningan) berhasil menerobos benteng pertahanan Galuh di daerah lembah Bukit Girinata. Peran dari hilangnya Sarpa Kandaga mungkin saja benar, tetapi hal lain yang mengakibatkan kekalahan Galuh kali ini adalah karena Cirebon tidak sendiri, tetapi dibantu oleh Demak (lengkap dengan senjata api dan meriam) kemudian ditambah juga pasukan dari Kuningan, yang apabila dijumlah seluruhnya, terdiri dari sekitar 700 pasukan.
Sebenarnya di medan pertempuran, tampak pula pasukan dari Darma Ayu yang dipimpin oleh Aria Wiralodra dan Nyai Endang Darma. Namun melihat anak-anak panah yang dilepaskan prajurit Galuh dibalas dengan dentuman meriam pasukan gabungan Cirebon membuat Aria Wiralodra miris hatinya, beliau tidak tega akan berlangsungnya pembantaian massal ini walaupun sebenarnya dia berada di pihak Cirebon.
Melihat kejadian tersebut, Aria Wiralodra kemudian menyamar sebagai petani tua lalu mengeluarkan ilmu peringan tubuh dan segera melesat untuk menghancurkan beberapa meriam Demak, setelah itu kemudian melesat ke atas bukit Girinata (tempat Prabu Jayaningrat memerintahkan pasukannya) untuk menyarankan agar pasukan Galuh lebih baik mundur.
Prabu Jayaningrat yang mengenal “petani tua” ini sebagai Aria Wiralodra kemudian mematuhi anjuran tersebut. Aria Wiralodra lalu menjejakan kakinya ke tanah sehingga terjadilah longsor yang membuat pasukan gabungan Cirebon yang berada di lereng bukit sempat terhalang dalam usaha pengejarannya. Sementara itu jembatan yang melintasi sungai menuju istana Galuh, sengaja dihancurkan agar pihak Cirebon tidak dapat memasuki istana (Istana Galuh tepat berada diantara 2 aliran sungai yang cukup deras).
Prabu Jayaningrat dan beberapa pembesar Galuh serta Aria Wiralodra masuk ke istana Galuh untuk menyelamatkan permaisuri dan barang-barang berharga kerajaan yang akan mengungsi ke Talaga (sama-sama kerajaan bawahan Pajajaran). Pasukan dari Aria Wiralodra juga turut membantu usaha pelarian ini yaitu dengan membantu menyeberangkan mereka melewati sungai yang deras.
Pasukan Dipati Ewangga kemudian tiba di seberang tembok istana dan melihat beberapa orang “Galuh” yang dengan mudahnya menyebrangi sungai tersebut sambil membawa barang-barang seperti peti yang besar. Dipati Ewangga mencoba masuk kompleks istana namun tidak sanggup karena air sungai terlalu deras.
Tidak lama kemudian Nyai Endang Darma dan beberapa pasukan sisanya tiba juga di seberang tembok istana. Dipati Ewangga kemudian meminta bantuan kepada Nyai Endang Darma untuk mengikatkan beberapa utas ujung tali di seberang sungai untuk pegangan dia dan pasukannya menyebrangi sungai. Dengan mudah Nyai Endang Darma dan pasukannya menuruti perintah itu. Dipati Ewangga memperhatikan cara Nyai Endang Darma dan pasukannya saat melewati sungai dan kini dia merasa yakin bahwa “orang Galuh” yang tadi menyebrang sungai adalah pihak Aria Wiralodra dan Nyai Endang Darma yang telah berhianat dengan membantu para pembesar Galuh melarikan diri, karena “teknik menyebrang sungainya” sama.
Saat itu Dipati Ewangga hanya menyindir Nyai Endang Darma bahwa telah ada kawan yang berkhianat, kemudian langsung masuk kompleks istana. Sementara Nyai Endang Darma hanya melihat melalui menara di gerbang istana, dan menatap dengan sedih terhadap pemandangan bahwa telah terjadi penjarahan harta penduduk Galuh oleh pihak Cirebon.
Setelah selesai perang, Aria Wiralodra, istrinya, dan pasukannya kembali ke Darma Ayu dan mengadakan syukuran atas berhasilnya misi dari Nyai Endang Darma dalam mencuri benda pusaka Galuh. Melalui keberhasilannya ini Aria Wiralodra memberi gelar kepada istrnya yaitu Nyi Mas Ratna Gumilang, sedangkan dari para hadirin Nyai Endang Darma menerima gelar Ratu Saketi Hutama.
Pada saat syukuran berlangsung, Dipati Ewangga dan beberapa pasukannya tiba di seberang sungai Cimanuk dan mendirikan tenda disana. Maksud kedatangannya ke wilayah Darma Ayu adalah untuk membereskan Aria Wiralodra yang dianggap berkhianat. Dipati Ewangga kemudian mengutus utusannya kepada Aria Wiralodra dan diperintahkan untuk menghadap kepadanya di sebuah tenda. Ketegangan pun terjadi, walaupun Aria Wiralodra telah menjelaskan maksud dari “pengkhianatannya” yaitu untuk mencegah jatuhnya banyak korban jiwa, namun Dipati Ewangga tidak mau tahu, dan terjadilah perkelahian antara Aria Wiralodra dan Dipati Ewangga di dalam tenda.
Walaupun dalam pertarungan tersebut Dipati Ewangga kalah, namun dia tetap bersikukuh dengan memerintahkan pasukannya untuk tetap menyerang Darma Ayu di seberang sungai Cimanuk. Akan tetapi Aria Wiralodra telah mengeluarkan jimat “Oyong Mingmang” sehingga pasukan Kuningan dan Dipati Ewangga menjadi berputar-putar kebingungan, lalu berbalik kembali ke arah Cirebon. Aria Kamuning merasa dirinya telah sampai ke alun alun Darma Ayu tapi sebenarnya dia berada di alun-alun Cirebon.
Atas kejadian itu, Aria Wiralodra menghadap pada Syarif Hidayatullah menceritakan tentang perilaku Dipati Ewangga. Kemudian Syarif Hidayatullah menegur Dipati Ewangga untuk lebih bersikap dewasa.
Aria Wiralodra dan Nyai Endang Darma wafat dalam usia lanjut, namun hingga saat ini belum ada yang mengetahui tahun di saat kepergiannya. Yang pasti mereka berdua dimakamkan di Pemakaman Dalem Setana Bojong, Indramayu.
0 comments:
Post a Comment