Kerajaan ini merupakan kerajaan yang cukup tua usianya. Namun tidak diketahui secara pasti tahun pada saat didirikannya. Yang pasti, pada awalnya kerajaan ini merupakan kerajaan bawahan dari Kerajaan Galunggung.
Beikut ini merupakan urutan raja-raja Kuningan yang tercatat sejarah :
PANDAWA / WIRAGATI (671 - 723)
Beliau memiliki seorang puteri yang bernama Sangkari. Puterinya ini kemudian menikah dengan Demunawan (putera kedua dari Batara Danghiyang Guru Sempakwaja / raja Kerajaan Galunggung pertama).
Sempakwaja, sebagai penguasa Galunggung yang berarti juga memiliki wewenang untuk mengatur pergantian kekuasaan di Kerajaan Kuningan, meminta Pandawa untuk menjadi rajaguru di daerah Layuwatang dan menyerahkan Kerajaan Kuningan kepada Demunawan.
DEMUNAWAN / SEUWEUKARMA (723 - 774)
Pada masa kekuasannya, Demunawan mendirikan ibukota baru untuk Kerajaan Kuningan, tepatnya di Arile atau Saung Galah. Dengan demikian pada periode ini, Kerajaan Kuningan dikenal juga dengan sebutan Kerajaan Saung Galah. Lokasi keraton Saung Galah berada di lereng Gunung Ciremai bagian selatan (sekarang Kampung Salia, Desa Ciherang, Kecamatan Kadugede, Kabupaten Kuningan). Dengan didirikan ibukota baru, Sempakwaja (raja Galunggung), menyerahkan wilayah Galunggung beserta kerajaan-kerajaan bawahannya kepada Demunawan dengan maksud untuk menandingi Kerajaan Galuh.
Demunawan juga dikenal dengan beberapa sebutan, yaitu Seuweukarma, dan Rahiyangtang Kuku / Sang Kuku.
Sebagai seorang Resiguru, Demunawan memiliki daerah pengaruh yang luas dan dapat dijadikan andalan kekuatan politik. Daerah kekuasaannya meliputi Layuwatang, Kajaron, Kalanggara, Pagerwesi, Rahasea, Kahauripan, Sumajajah, Pasugihan, Padurungan, Darongdong, Pagergunung, Muladarma, Batutihang, bahkan melakukan ekspansi dengan menyeberang sampai negeri Melayu.
Demunawan menganut ajaran "Dangiang Kuning" dan berpegang kepada "Sanghiyang Dharma" (ajaran Kitab Suci), serta "Sanghiyang Riksa" (sepuluh pedoman hidup).
Pada saat itu masyarakat Kuningan merasa hidup aman dan tenteram di bawah pimpinan Demunawan yang cukup lama berkuasa. Secara tidak langsung, kekuasaan besar Demunawan di Kuningan telah menandingi kebesaran Kerajaan Galuh (atas pengaruh kerajaan Sunda) yang saat itu dipegang oleh Premana Dikusuma.
Perang saudara (gotrayuddha) antara sesama keturunan Wretikandayun terjadi kembali pada tahun 739. Perang yang menelan banyak korban jiwa terjadi saat perebutan tahta Galuh antara Sanjaya dengan Manarah. Dalam keadaan yang mengenaskan, Demunawan turun dari Saung Galah untuk meredakan peperangan. Dengan wibawanya yang besar serta dihormati sebagai seorang sesepuh, Demunawan berhasil menghentikan pertempuran dengan jalan mengajak kedua belah pihak yang bertikai untuk berunding di keraton Galuh pada tahun 739.
Pada tahun 774, Resiguru Demunawan yang terkenal sebagai seorang yang sangat bijaksana akhirnya wafat pada usia 128 tahun.
Perkembangan Kerajaan Kuningan selanjutnya belum diketahui, tetapi yang pasti (walaupun belum diketahui alasannya) wilayah Kuningan atau tepatnya ibukota Saung Galah mulai dijadikan pusat pemerintahan oleh Kerajaan Sunda pada saat Prabu Sanghiyang Ageung (Raja Sunda ke-19) berkuasa pada tahun 1019.
Mulai periode tersebut, hubungan antara Kerajaan Sunda dengan Kuningan memang sangat erat, Raja yang memerintah di Sunda sebelumnya pernah menjabat sebagai Raja Kuningan.
Pada tahun 1163 riwayat Kerajaan Kuningan secara otonom, muncul kembali dalam data sejarah.
RAKEYAN DARMARIKSA (1163 -1175)
Beliau merupakan anak Raja Sunda ke-24 (Rakeyan Darmakusuma). Sedangkan kedudukannya sebagai raja di Kuningan dikarenakan beliau menikah dengan putri Raja Kuningan sebelumnya (tidak diketahui namanya). Dari pernikahannya itu, Rakeyan Darmasiksa dikaruniai seorang putra yang bernama Rajapurana, yang lahir pada tahun 1168.
Kerajaan Kuningan pada waktu Rakeyan Darmariksa berkuasa, sudah merupakan daerah otonom yang termasuk kedalam wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda. Kerajaan Kuningan merupakan kerajaan yang menganut agama Hindu.
Kekuasaan Rakeyan Darmariksa sebagai Raja Kuningan berakhir, dikarenakan Sang Raja diangkat menjadi Raja Sunda ke-25 yang bertahta di Pakuan menggantikan ayahnya yang wafat.
PRABU RAGASUCI (1175 –1297)
Prabu Ragasuci merupakan anak dari Rakeyan Darmasiksa dari istrinya yang ke-2. ketika ayahnya menjadi Raja Sunda di Pakuan, Prabu Ragasuci ditugaskan untuk tetap berada di Saung Galah sambil menjaga kabuyutan.
Ketika ayahnya wafat, beliau diangkat menjadi raja Sunda tetapi tetap memilih Saung Galah sebagai pusat pemerintahan.
Kedekatan antara Kerajaan Sunda dengan Kuningan kemungkinan besar pada perkembangan selanjutnya menjadikan Kuningan dan Sunda melebur menjadi satu nama yaitu Kerajaan Sunda.
Baru pada sekitar abad ke-15, muncul lagi kisah yang menceritakan perkembangan wilayah ini secara otonom.
RATU SELAWATI (sekitar abad ke-15)
Ratu Selawati adalah cucu dari Prabu Jayadewata (raja Pajajaran yang sangat termahsyur). Pada masa kekuasaan Ratu Selawati, penduduk wilayah Kuningan sudah banyak yang masuk agama Islam. Keadaan ini merupakan pengaruh dari daerah tetangganya yaitu Cirebon. Selain itu, di wilayah Sidapurna (wilayah bawahan Kuningan) telah berdiri pondok pesantren Quro yang didirikan oleh Syekh Bayanullah.
Perkembangan Islam semakin pesat setelah Ratu Selawati di Islam-kan oleh Raden Walangsungsang. Setelah menjadi muslimah, beliau kemudian menikah dengan Maulana Arifin (putera dari Syekh Bayanullah).
Rantai sejarah kembali terputus hingga kembali diceritakan mengenai terbentuknya sebuah daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kota Kuningan.
MASA KEADIPATIAN
Syarif Hidayatullah (calon sultan Cirebon pertama) pernah berangkat ke daerah Luragung ( wilayah Cirebon Selatan) untuk menyebarkan agama Islam disana. Pada waktu berada disana datanglah Ratu Ong Tien dari Negeri Cina ke Luragung (diperkirakan, kedatangan ratu dari Cina bersama rombongannya membawa barang-barang khas Cina termasuk dawai yang kemudian menjadi cikal bakal alat musik kecapi di tanah Sunda). Ratu Ong Tien adalah istri dari Syarif Hidayatullah. Kemudian ketika masih berada di Luragung itulah Ratu Ong Tien melahirkan seorang putera yang tampan dan gagah yang diberi nama Suranggajaya / Pangeran Kuningan.
Syarif Hidayatullah menitipkan Pangeran Kuningan yang masih kecil kepada Ki Gedeng Luragung agar disusui oleh istri Ki Gedeng Luragung, karena waktu itu Ki Gedeng Luragung mempunyai putera yang sebaya dengan Pangeran Kuningan namanya Amung Gegetuning Ati.
Syarif Hidayatullah pada saat itu berkesempatan pula mengganti nama Amung Gegetuning Ati menjadi Pangeran Arya Kamuning serta beliau memberikan amanat bahwa kelak di mana Pangeran Kuningan sudah dewasa akan dinobatkan menjadi Adipati Kuningan.
Setelah Pangeran Kuningan dan Pangeran Arya Kamuning dewasa, Pangeran Kuningan menjabat sebagai Raja Kuningan sementara Pangeran Arya Kamuning sebagai Raja Luragung. Kedua daerah tersebut pada awalnya berada langsung di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran, namun seiring dengan dibentuknya Kerajaan Cirebon Larang di wilayah timur yang dipimpin oleh Prabu Walangsungsang, maka akhirnya kedua kerajaan tersebut diserahkan kepengurusannya kepada Kerajaan Cirebon Larang.
Tepatnya pada tanggal 1 September 1498 (akhirnya ditetapkan sebagai hari jadi Kota Kuningan), Kerajaan Kuningan dan Luragung disatukan dengan sistem pemerintahan yang bukan lagi kerajaan tetapi Keadipatian, dengan Pangeran Kuningan ditunjuk sebagai Kepala Pemerintahan Kuningan dengan gelar Pangeran Arya Adipati Kuningan dan dibantu oleh Arya Kamuning.
Pada perkembangan selanjutnya, setelah Kerajaan Cirebon Larang berubah sistem menjadi Kesultanan, maka Kuningan pun otomatis menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Cirebon.
Kuningan saat itu memiliki panglima perang yang tangguh bernama Dipati Ewangga / Dipati Cangkuang yang memiliki kuda sembrani gesit bernama Si Windu Aji (kuda ini diabadikan dalam lambang pemerintahan Indramayu sekarang). Ketangguhan Dipati Ewangga membuat dia selalu dipercaya oleh Kesultanan Cirebon untuk memimpin pasukan dalam menyerang musuh-musuhnya.
Tidak diketahui akhir masa pemerintahan Pangeran Kuningan ini, yang jelas masyarakat Kuningan mempercayai bahwa makam dari tokoh ini berada pada salah satu kompleks pemakaman di Kota Kuningan.
0 comments:
Post a Comment