Ada bermacam-macam kata untuk mengartikan nama dari “Galuh” ini, beberapa diantaranya antara lain berarti perak atau permata, dan batu mulia. Sedangkan secara kiasan “Galuh” dapat diartikan sebagai gadis. Pusat Kerajaan ini berada di sebuah lahan yang diapit oleh sungai Cimuntur dan sungai Citanduy (sekarang dikenal dengan Desa Karang Kamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis).
Istananya diduga berada di daerah Kawali. Hal ini bisa terlihat pada peninggalan -peninggalannya yang banyak ditemukan di sana hingga saat ini. Keratonnya disebut Keraton Surawisesa yang dijelaskan sebagai "Dalem sipawindu hurip" (keraton yang memberikan ketenangan hidup). Sedangkan lambang Kerajaan Galuh adalah Harimau Kumbang.
Pada awal pendiriannya, kerajaan Galuh merupakan kerajaan di bawah kekuasaan Tarumanagara. Berdirinya Kerajaan ini tidak lain merupakan kebijakan politik dari Tarumanagara yang mengizinkan daerah-daerah untuk mengurusi wilayahnya sendiri. Hal ini berdampak positif, karena setelah Galuh berdiri, daerah timur menjadi lebih berkembang.
Agama yang dianut kerajaan Galuh adalah agama Hindu aliran Siwa, yang menganggap Siwa sebagai dewa terbesar disamping dua dewa lainnya yaitu Brahma dan Wisnu.
Seperti halnya kerajaan besar di zaman saat itu, Galuh juga memiliki wilayah kekuasaan di sektar Priangan Timur dan membawahi kerajaan-kerajaan kecil di daerah tersebut.
Meskipun berada di wilayah Jawa Barat, namun adat dan tradisi Galuh berbeda dengan tradisi di daerah barat (Sunda / Pajajaran). Menurut Anwas Adiwijaya (1975) mengungkapkan bahwa :
Orang Galuh itu "orang air", sedang orang Sunda "Orang Gunung". Yang satu memiliki "mitos buaya", yang lain "mitos harimau".
Karena itulah menurut tradisi Galuh, mayat harus "dilarung" (dihanyutkan) di sungai dan tempatnya disebut Paneraban, sedangkan mayat bagi tradisi Sunda / Pajajaran harus “dikurebkeun” (dikubur ke dalam tanah).
Sedangkan menurut salah satu sumber menyebutkan bahwa bendera kebesaran Galuh berwarna putih bergambar Naga biru.
Berikut ini merupakan nama dari raja-raja Galuh yang tercatat dalam sejarah :
WRETIKANDAYUN (612 – 702)
Wretikandayun dilahirkan pada tahun 591. Pendiri Kerajaan Galuh ini dinobatkan sebagai raja Kerajaan Galuh setelah ayahnya (Kanidawan / raja Kerajaan Medang Jati) mengundurkan diri, tepatnya pada tanggal 23 Maret 612. Beliau mulai memegang kekuasaan Galuh saat berusia 21 tahun.
Di bawah kekuasaannya, Angkatan perang Kerajaan Galuh, semakin hari semakin kuat. Dengan demikian, saat itu Galuh menjadi suatu kekuatan yang diperhitungkan oleh kerajaan-kerajaan lain. Bahkan, Galuh juga telah membina hubungan kerjasama dengan kerajaan-kerajaan yang berada di Jawa bagian tengah dan timur.
Karena Wretikandayun, dianugerahi umur yang panjang, maka lamanya masa kekuasaan beliau sama dengan lama masa kekuasaan 6 orang raja di Tarumanagara. Dimana saat itu, Galuh masih merupakan bawahan dari Kerajaan Tarumanagara.
Pada tahun 670, Kerajaan Tarumanagara telah berganti nama menjadi Kerajaan Sunda di bawah kekuasaan Tarusbawa. Keadaan itu dijadikan alasan bagi Wretikandayun untuk memisahkan diri dari Tarumanagara / Sunda. Kebijakannya itu diambil dikarenakan Kerajaan Galuh selanjutnya tidak ingin diatur oleh generasi penerus Kerajaan Tarumanagara yang usianya lebih muda (saat itu usia Tarusbawa lebih muda 41 tahun dari usia Wretikandayun).
Untuk menjalankan rencana pemisahan diri itu, Wretikandayun mengirimkan surat kepada Tarusbawa, yang isinya adalah (dikutip langsung dari buku Sejarah Jawa Barat karya Drs. Yoseph Iskandar) :
“ Sejak sekarang, kami bersama semua kerajaan yang terletak dalam wilayah sebelah timur Citarum, tidak lagi tunduk di bawah kekuasaan Tarumanagara. Jadi, tidak lagi mengakui Tuan (pakanira) sebagai ratu. Akan tetapi, hubungan persahabatan di antara kita tidak perlu terputus, bahkan mudah-mudahan menjadi semakin akrab.
Karena itu, daerah-daerah di sebelah barat Citarum, tetap berada di bawah pemerintahan Tuan, sedangkan daerah-daerah di sebelah timur Citarum menjadi bawahan kami, dan sejak sekarang kami tidak mau lagi mempersembahkan upeti kepada Tuan. Kemudian, janganlah hendaknya angkatan perang Tuan menyerang kerajaan kami, Galuh Pakuan, sebab tindakan semacam itu percuma. Angkatan perang Kerajaan Galuh ada kira-kira tiga kali lipat angkatan perang Tuan dan sangat lengkap persenjataannya.
Di samping itu, banyak kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang bersahabat dengan kami dan mereka sanggup memberikan bantuan perlengkapan bagi angkatan perang kami. Hal ini Tuan maklumi. Nanti kami rukun bersahabat sama-sama menghendaki kesejahteraan negara kita dan kecukupan kehidupan rakyat kita serta bersama-sama menjauhkan malapetaka. Semoga Yang Mahakuasa memusnahkan siapapun yang berwatak lalim dan culas serta tidak mengenal perikemanusiaan (karunya ning cita ring samaya).”
Akhirnya Tarusbawa menerima tuntutannya dan kerajaan Galuh menjadi sejajar Kerajaan Sunda, dengan sungai Citarum sebagai batasnya.
Wretikandayun memiliki permaisuri yang bernama Manawati (puteri dari Resi Makandria / pendeta Hindu). Sebagai permaisuri, Manawati diberi gelar Candraresmi. Dari pernikahannya itu, mereka dikaruniai beberapa orang anak, antara lain :
1. Sempakwaja, lahir tahun 620 kemudian menjadi raja dan resiguru di Kerajaan Galunggung.
2. Jantaka, lahir tahun 622 kemudian menjadi raja dan resiguru di Kerajaan Denuh.
3. Amara, lahir tahun 624.
Untuk menggantikan kekuasaannya, Wretikandayun menunjuk Amara sebagai putera mahkota, hal ini terjadi karena anak sulungnya (Sempakwaja) tidak dapat mewarisi tahta Galuh karena ompong (menurut tradisi kerajaan, seorang raja tidak boleh memiliki cacat jasmani), begitu juga dengan anak keduanya (Jantaka) yang menderita hernia. Berbeda dengan kedua kakanya yang menjadi rajaresi (taat pada agama), Amara malahan tumbuh sebagai anak yang bersikap liar.
Wretikandayun yang telah membawa Kerajaan Galuh menjadi kerajaan yang kuat dan disegani, kebesarannya menjadi tercoreng akibat ulah putera bungsunya (Amara) yang sangat dimanja oleh Wretikandayun.
Peristiwa itu berawal pada saat malam purnama, Wretikandayun mengadakan pesta perjamuan yang dihadiri oleh para pembesar Galuh, tak lupa ketiga anaknya diundang. Tetapi Sempakwaja yang berada di Galunggung tidak dapat hadir karena sakit dan dirawat oleh anak-anaknya, akhirnya Sempakwaja mengutus istrinya yang bernama Pohaci Rababu untuk mewakili demi menghormati undangan sang ayah.
Pohaci Rababu yang berparas cantik membuat sang putera mahkota Galuh (Amara) terpesona. Berawal dari pesta itu, akhirnya Amara dan Pohaci Rababu semakin akrab. Amara yang terkenal perayu ulung telah membuat kakak iparnya itu terbuai dan melupakan suaminya. Pohaci Rababu tinggal di Keraton galuh selama 4 hari 4 malam dan terjadilah perbuatan skandal antara Amara dengan Pohaci Rababu.
Dari hubungan gelap itu akhirnya membuat Pohaci Rababu mengadung bayi dari Amara. Sementara itu, Sempakwaja mengetahui bahwa istrinya mengandung dari hasil hubungan gelap dengan adiknya. Namun, Sempakwaja terlalu mecintai istrinya itu, sehingga seburuk apapun yang telah dilakukan oleh istrinya, Sempakwaja tetap menerima Pohaci Rababu sebagai seorang istri. Akan tetapi, Sempakwaja meminta kepada istrinya itu, apabila bayinya telah lahir maka bayi tersebut harus diserahkan Amara.
Akhirnya pada tahun 661, Pohaci Rababu melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian dibawa ke Galuh untuk diserahkan kepada Amara. Setelah menyerahkan bayi tersebut, Pohaci Rababu segera pergi dari keraton Galuh dan berkumpul kembai bersama suami dan anak-anaknya di Galunggung. Bayi laki-laki tersebut kemudian oleh Amara diberi nama Bratasenawa (Sena).
Peristiwa memalukan yang dibuat oleh sang putra mahkota itu menggemparkan kalangan keluarga keraton Galuh. Wretikandayun sebagai seorang raja yang bijaksana kemudian meredakan pergunjingan ini, dengan jalan meminta Amara untuk pergi ke Kalingga (sekarang wilayah Jawa Tengah).
Di Kalingga, Amara dijodohkan dengan Dewi Parwati (puteri dari pasangan Kartikeyasinga - Maharani Sima / raja Kalingga). Dari pernikahannya ini, mereka dikaruniai anak perempuan yang bernama Sanaha.
Melalui pernikahan Galuh-Kalingga ini, maka Galuh mendapatkan dua keuntungan, pertama, citra buruk dari Amara dapat dipulihkan, dan yang kedua, Galuh mendapatkan sekutu yang kuat (Kalingga saat itu merupakan salah satu kerajaan terbesar di Nusantara).
Saat Kartikeyasinga wafat tahun 674, tahta Kalingga diserahkan pada istrinya yang bernama Maharani Sima. Di masa pemerintahan Maharani Sima, hubungan kerajaan Kalingga dengan kerajaan Sriwijaya memanas.
Maharani Sima wafat pada tahun 695 dan wilayah Kalingga dibagi 2 kepada anak-anaknya. Melalui pembagian itu Dewi Parwati memperoleh warisan bagian utara Kalingga, yang disebut Bumi Mataram. Dengan demikian, Amara selaku suami dari Dewi Parwati dinobatkan menjadi raja Bumi Mataram.
Di Galuh, Wretikandayun wafat pada tahun 702, dalam usia 111 tahun. Amara yang menjabat sebagai raja Bumi Mataram dipanggil pulang ke Galuh dan kemudian tahta Galuh dipegang oleh Amara.
AMARA / MANDIMINYAK (702 – 709)
Amara menjadi raja Galuh ke-2 dengan gelar Mandiminyak. Gelar itu diperoleh karena tubuh Amara selalu wangi dan bercahaya bagaikan dibubuhi minyak. Saat itu, beliau memerintah di Galuh sedangkan kekuasaannya di Bumi Mataram dipegang oleh Dewi Parwati (istrinya).
Amara memiliki 2 orang putera puteri dari kedua istrinya. Dari hubungan gelap dengan kakak iparnya (Pohaci Rababu), lahir Bratasenawa. Sedangkan dari permaisurinya yang syah (Dewi Parwati), Amara memiliki anak perempuan yang bernama Sanaha. Kedua anak yang se-ayah itu kemudian dijodohkan (perkawinan Manu) dan dari perkawinannya itu lahirlah Sanjaya (lahir tahun 683).
Pada tahun 703, Sanjaya menikah dengan Sekar Kencana (cucu dari Tarusbawa / raja Sunda peratama).
Perkawinan antar cucu dari 2 raja besar di barat Jawa tersebut, membuat kedudukan Amara menjadi semakin kuat walaupun kehadirannya di Galuh tidak disenangi oleh beberapa kalangan. Masa lalu Amara yang pernah membuat skandal, belum hilang di ingatan sebagaian kalangan keraton.
Amara akhirnya wafat pada tahun 709, kemudian kekuasaan Galuh diserahkan pada anaknya yang bernama Bratasenawa.
BRATASENAWA (709 - 716 )
Lebih dikenal sebagai Sena. Beliau merupakan Raja Galuh ketiga. Dia merupakan anak dari hubungan gelap antara Amara dan Pohaci Rababu.
Bratasenawa memiliki putera yang bernama Sanjaya. Dari pernikahan Sanjaya dengan cucu Tarusbawa, maka Bratasenawa dikenal sebagai sahabat baik dari Tarusbawa.
Sikap yang dimiliki Bratasenawa berbeda dengan sikap ayahnya yang masa mudanya terkenal liar. Bratasenawa merupakan raja yang taat beragama dan bijaksana. Tapi sikap baiknya itu tetap tidak dapat diterima oleh sebagian pembesar Galuh, mengingat Bratasenawa adalah anak hasil dari hubungan gelap.
Banyak orang yang membenci keberadaan Bratasenawa sebagai raja Galuh, tetapi hanya 2 orang yang sangat-sangat membenci Bratasenawa. Dua orang tersebut adalah Purbasora dan Demunawan, mereka tak lain adalah putera pasangan Sempakwaja dengan Pohaci Rababu. Dengan demikian mereka berdua adalah saudara se-ibu dari Bratasenawa. Kedua orang itu sangat membenci Bratasenawa dikarenakan mereka merasa lebih berhak untuk meneruskan tahta Galuh daripada “anak hasil skandal ibunya” tersebut. Karena asal-usul Bratasenawa yang kurang baik itulah yang membuat Purbasora menginginkan merebut tahta Galuh.
Pada tahun 716, dengan dukungan dari mertua Purbasora (Resi Padmahariwangsa / raja Indraprahasta), mertua Demunawan (Wiraganti / raja Kuningan), dan Bimaraksa atau lebih dikenal dengan sebutan Ki Balagantrang (putra dari Resiguru Jantaka / putera kedua Wretikandayun yang telah menjadi raja Kerajaan Denuh), Purbasora menyiapkan pasukan untuk melakukan kudeta di Galuh. Namun, sebelumnya rencana Purbasora itu telah diketahui oleh Bratasenawa. Untuk mengatasi masalah ini, Bratasenawa segera meminta bantuan pada Kerajaan Sunda. Dikarenakan jarak Galuh – Pakuan itu sangat jauh, maka kedatangan pasukan bantuan dari Kerajaan Sunda tidak berpengaruh pada perubahan situasi politik di Galuh. Prajurit Sunda datang setelah Purbasora berhasil merebut tahta dari Bratasenawa dengan secepat kilat.
Sebelum Purbasora berhasil merebut tahta Galuh, Bratasenawa sudah memperhitungkan itu dan melarikan diri ke Bumi Mataram yang saat itu masih dipegang oleh ibu tirinya / ibu mertuanya (Dewi Parwati). Di Bumi Mataram ini, Bratasenawa pun tercatat sebagai putera mahkota kerajaan.
Purbasora yang begitu benci pada Bratasenawa, akhirnya hanya menyingkirkan para pengikut-pengikut dari Bratasenawa saja. Beberapa kalangan Galuh yang lain, banyak yang mendukung Purbasora. Bahkan di saat Purbasora melakukan penyerbuan, prajurit-prajurit Galuh seakan “sengaja mengalah” dalam menghadapi pasukan Purbasora.
Pasukan Sunda yang datang setelah Galuh berganti kekuasaan, tidak mengetahui ketika yang menyambut di alun-alun adalah pasukan dari Purbasora. Duta kerajaan Sunda yang berada di Galuh kemudian memberitahukan keadaan terakhir yang terjadi di Galuh kepada panglima pasukan Sunda. Pihak Galuh intinya tidak mau melakukan peperangan dengan pihak Sunda.
Pasukan Sunda yang datang dengan maksud membantu Bratasenawa (selaku besan dari Tarusbawa), tentunya merasa terkejut dengan pemberitahuan ini. Akan tetapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena keadaan sudah berlalu dan Bratasenawa pun dikabarkan selamat tiba di Bumi Mataram.
PURBASORA (716 – 726)
Purbasora akhirnya menjadi Raja Galuh ke-4, sedangkan Bimaraksa (selaku pimpinan penyerangan saat kudeta) diangkat menjadi senapati membawahi pasukan-pasukan tangguh yang diambil dari kerajaan Indraprahasta.
Purbasora memiliki permaisuri yang bernama Citra Kirana (puteri sulung raja Indraprahasta). Dari perkawinannya tersebut, pasangan Purbasora dan Citra Kirana memiliki putera sulung yang bernama Wijayakusuma dan diangkat menjadi putera mahkota Galuh. Sedangkan puteri lainnya dari Purbasora, dinikahkan dengan Bimaraksa (putera sulung Jantaka / raja Kerajaan Denuh).
Pada masa kepemimpinannya, langkah pertama yang diambil adalah mengadakan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Sunda. Tarusbawa sebagai raja Sunda tetap menerima permintaan hubungan baik itu, meskipun kini Galuh telah diperintah oleh seorang yang telah mengusir besannya.
Dalam menjalani kekuasaannya, Purbasora berada dalam hati penuh ketegangan dan kewaspadaan. Beliau takut apabila Bratasenawa melancarkan serangan balasan yang tentunya akan didukung oleh Kerajaan Bumi Mataram. Yang pasti akibat peristiwa kudeta Galuh, hubungan antara Galuh dan Bumi Mataram menjadi renggang dan bermusuhan. Padahal di masa pemerintahan Wretikandayun, Galuh dengan Kalingga (cikal bakal Kerajaan Bumi Mataram dan Kerajaan Bumi Sembara) sangat bersahabat.
Meskipun dalam taraf kesiagaan penuh, namun Galuh tidak menyangka bahwa pasukan dari Bumi Mataram dan Bumi Sembara dibawah pimpinan Sanjaya (anak Bratasenawa) telah memasuki wilayah barat Jawa dan menghimpun kekuatan di kaki Gunung Sawal.
Pada tahun 723, raja Sunda (Tarusbawa) wafat. Sanjaya yang juga merupakan cucu (dari istrinya) Tarusbawa, dinobatkan menjadi raja Sunda. Penobatan itu berlangsung ketika Sanjaya sedang giat melatih pasukannya di kaki Gunung Sawal untuk menyerang Galuh. Dengan posisinya sebagai raja Sunda, maka Sanjaya juga melibatkan pasukan Sunda untuk melakukan penyerangan (padahal, di masa Tarusbawa berkuasa, Kerajaan Sunda terikat hubungan diplomatik dengan Galuh). Dengan demikian, Kerajaan Sunda memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Galuh secara sepihak (tanpa sepengetahuan Galuh).
Suatu malam di tahun 726, serangan kilat yang tidak diduga dari pasukan Sanjaya benar-benar terwujud. Seluruh keluarga Purbasora gugur, bahkan Purbasora sendiri tewas ditangan Sanjaya. Bimaraksa / Ki Balagantrang selaku senapati Galuh dibiarkan lolos oleh Sanjaya dan bersembunyi di daerah Geger Sunten (sekarang Kampung Sodong, Desa Tambaksari, Kecamatan Rancah, Kabupaten Ciamis). Hal ini terjadi dikarenakan Sanjaya hanya dendam pada Purbasora dan keluarganya.
Setelah Sanjaya berhasil menguasai Galuh, akhirnya Galuh kembali menjadi kerajaan dibawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Sanjaya sendiri tidak berniat untuk mengambil alih tahta Galuh (penyerangannya itu hanya dikarenakan untuk membalaskan dendam ayahnya). Dengan alasan itulah, Sanjaya meminta Demunawan (adik Purbasora) sebagai penerus tahta Galuh.
Tetapi permintaan itu ditolak oleh Danghiyang Guru Sempakwaja (ayah dari Purbasora dan Demunawan yang saat itu sudah berusia 103 tahun dan menjabat sebagai penguasa Kerajaan Galunggung). Sempakwaja jelas merasa sakit hati atas perlakuan Sanjaya terhadap Purbasora, dan beliau tidak mau Demunawan (anak ke-2 nya) menjadi raja bawahan dari seseorang yang telah membunuh anak sulungnya. Lagi pula saat itu Demunawan telah menjadi raja di Kerajaan Kuningan.
Tetapi sebagai pemuka agama yang bijak, Sempakwaja tidak secara terang-terangan menyampaikan isi hatinya itu. Melalui sebuah sindiran dia mengutarakan maksud hatinya kepada Sanjaya, sindiran itu mengatakan bahwa kekuasaan Sanjaya dan keluarganya di Kalingga masih terlalu kecil untuk menjadi “atasan” dari Resiguru Demunawan. Untuk membuktikan hal itu, Sempakwaja mempersilakan kepada Sanjaya untuk mengalahkan dulu “tritunggal” andalannya. “Tritunggal” itu terdiri dari Wiragati (raja Kuningan), Wulan (raja Kajaron), dan Tumanggal (raja Kalanggara). Mereka bertiga adalah raja-raja tangguh dari kerajaan bawahan Galunggung. Apabila Sanjaya berhasil mengalahkan mereka bertiga, maka Sanjaya boleh menjadikan Demunawan sebagai raja bawahannya. Tetapi apabila gagal mengalahkan mereka, maka kekuasaan Galuh ditunjuk sesuai kehendak dari Sempakwaja.
Merasa terbakar atas sindiran itu, akhirnya Sanjaya menyanggupi permintaan tersebut. Dengan emosi yang tersulut, Sanjaya langsung menyerang Kuningan. Tetapi Sanjaya akhirnya harus mengakui kehebatan dari “tritunggal” dalam pertempuran di dekat Cikuningan. Sanjaya bersama pasukannya dikejar-kejar dan terpaksa mundur kembali ke Galuh.
Dengan kekalahan ini, Sanjaya harus menuruti perintah dari Sempakwaja. Akhirnya Sempakwaja menunjuk Premana Dikusuma (cucu Purbasora dari anaknya yang bernama Wijayakusuma) sebagai penerus tahta Galuh.
Dengan ditunjuknya Premana Dikusuma sebagai raja Galuh, bukan berarti Sanjaya tidak memiliki wewenang sepenuhnya atas Galuh. Sanjaya tetap mempunyai wewenang untuk menunjuk Tamperan Barmawijaya (puteranya) sebagai patih. Kehadiran Tamperan Barmawijaya sebagai patih sekaligus wakil Kerajaan Sunda, dilengkapi oleh beberapa pasukan yang didatangkan langsung dari Kerajaan Sunda untuk melindunginya.
PRABU ADI MULYA SANGHIYANG CIPTA PREMANA DIKUSUMA
(726 - 732)
Beliau dilahirkan pada tahun 683 tahun, dan sejak tahun 703 beliau telah menjadi raja daerah di bawah kepemimpinan Amara, di masa itu beliau dijuluki dengan Ajar Sukaresi.
Premana Dikusuma pertama kali menikah dengan Naganingrum (cucu dari Bimaraksa / Ki Balagantrang), dan mereka memiliki putera bernama Surotama atau dikenal dengan nama Manarah yang lahir pada tahun 718.
Pada saat beliau dinobatkan sebgai Raja Galuh, ketika berusia 43 tahun, Premana Dikusuma telah dikenal sebagai rajaresi karena ketekunannya mendalami agama dan bertapa sejak muda. Ia dijuluki Bagawat Sajala-jala.
Untuk mengikat kesetiaan Premana Dikusumah terhadap pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya menjodohkan raja daerah Galuh ini dengan Dewi Pangreyep (puteri dari Anggada, Patih Kerajaan Sunda). Selain itu Sanjaya menunjuk puteranya (Tamperan Barmawijaya) sebagai Patih Galuh sekaligus memimpin "garnizun" Sunda di Galuh.
Kedudukan Premana Dikusuma serba sulit, ia bertindak sebagai raja daerah Galuh menjadi bawahan Raja Sunda yang berarti harus tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh Kakeknya. Sebenarnya Premana Dikusumah menerima kedudukan Raja Galuh karena terpaksa keadaan, karena beliau tidak berani menolak perintah Sempakwaja yang bijak serta dituakan di lingkungan Galuh. Penunjukkan Premana Dikusuma sebagai raja daerah Galuh oleh Sempakwaja cukup beralasan karena ia masih merupakan cucu dari Purbasora.
Keterpaksaannya lebih sulit lagi ketika beliau menyadari bahwa sebenarnya patih Tamperan Barmawijaya lah yang sebenarnya berkuasa dalam menjalankan pemerintahannya sehari-hari. Premana Dikusumah hanya dijadikan simbol dari kekuasaan Galuh.
Karena kemelut seperti itu, maka ia lebih memilih meninggalkan istana untuk bertapa di dekat perbatasan Sunda sebelah timur Citarum dan sekaligus juga meninggalkan istrinya (Dewi Pangreyep). Urusan pemerintahan diserahkan pada Tamperan Barmawijaya.
Dewi Pangreyep yang berasal dari Kerajaan Sunda merasa kesepian berada di Keraton Galuh sejak suaminya menjadi pertapa. Keberadaan Dewi Pangreyep juga banyak yang tidak menyukai, terutama dari pembesar-pembesar Galuh yang anti Sunda.
Keadaan asing itulah yang membuat sang ratu akhirnya dekat dengan sang patih (Tamperan Barmawijaya), yang sama-sama berasal dari Kerajaan Sunda dan sama-sama merupakan cicit dari Tarusbawa. Tamperan Barmawijaya senantiasa melindungi keselamatan sang ratu selama berada di Galuh.
Karena kedekatannya yang terlalu jauh, maka lahirlah Kamarasa atau Banga dari hasil hubungan gelap Dewi Pangreyep dan Tamperan Barmawijaya. Untuk menghapus jejak skandal ini, Tamperan Barmawijaya mengupah seseorang untuk membunuh Premana Dikusuma yang sedang bertapa di hutan Gunung Padang (sebelah timur Citarum / termasuk wilayah Galuh barat).
Berita pembunuhan sang raja itu segera menyebar ke ibu kota Galuh, dan dibumbui oleh berita bahwa Tamperan Barmawijaya telah menangkap dan menewaskan pembunuhnya. Kejadian itu membuat Tamperan Barmawijaya mendapatkan pujian dari kerabat keraton Galuh, kemudian Dewi Pangreyep serta Naganingrum (janda Premana Dikusuma) akhirnya dijadikan permaisuri oleh Tamperan Barmawijaya.
Pada tahun 732, Sanjaya mengadakan konfrensi antar Raja seluruh pulau Jawa, yang salah satu dari hasil konfrensi tersebut mengisyaratkan bahwa Tamperan Barmawijaya menjadi penguasa Sunda sekaligus Galuh. Hasil dari konfrensi itu harus dijunjung tinggi oleh siapapun, sehingga pembesar Galuh pun tidak bisa berbuat banyak dalam mensikapi hasil konfrensi yang kelihatan tidak adil tersebut.
TAMPERAN BARMAWIJAYA (732 - 739)
Selama periode ini, Kerajaan Galuh disatukan dengan Kerajaan Sunda dibawah kekuasaan Tamperan Barmawijaya, namun raja ini tetap memilih Galuh sebagai pusat dari kekuasaannya.
Di saat kekuasaannya ini pula, rahasia skandal yang dulu pernah dilakukan mengenai hubungan gelap dengan Dewi Pangreyep serta pembunuhan atas Premana Dikusuma terbongkar oleh Bimaraksa yang saat itu sembunyi dan menyamar sebagai penjala ikan di Geger Sunten. Sebelumnya Bimaraksa telah diam-diam menghimpun kekuatan anti keturunan Sanjaya dengan didukung oleh sekitar 799 orang. Untuk membongkar rahasia skandal Tamperan Barmawijaya, Bimaraksa secara sembunyi-sembunyi menghubungi Manarah (anak Premana Dikusuma dari Naganingrum). Salah seorang pengikut Bimaraksa yang bernama Ki Anjali ditugaskan untuk menyamar sebagai pandai besi di ibu kota Galuh.
Manarah yang sebelumnya telah menganggap ayah pada Tamperan Barmawijaya, menjadi balik membencinya dan bertekad untuk membalas kematian ayah kandungnya itu.
Pada tahun 739, Manarah secara diam-diam menyiapkan rencana untuk membalas dendam kematian ayahnya serta untuk mengembalikan tahta Galuh dari Kerajaan Sunda yang dulu telah direbut oleh Sanjaya. Dengan bimbingan Bimaraksa, Manarah melakukan penyerangan mendadak. Sesuai dengan rencana Bimaraksa, penyerbuan ke Galuh dilakukan siang hari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir, termasuk Banga (sang putra mahkota). Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang berpura-pura sebagai penyabung ayam. Bimaraksa memimpin pasukan Geger Sunten menyerang keraton. Kudeta itu berhasil dalam waktu singkat. Tamperan Barmawijaya dan permaisurinya Dewi Pangreyep serta Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam.
Tetapi Banga kemudian dibiarkan bebas. Pada malam harinya Banga berhasil membebaskan ayah dan ibunya dari tahanan. Akan tetapi hal itu diketahui oleh pasukan pengawal yang segera memberitahukannya kepada Manarah. Terjadilah pertarungan antara Banga dan Manarah yang berakhir dengan kekalahan Banga. Sementara itu pasukan yang mengejar raja Tamperan Barmawijaya dan sang permaisuri Dewi Pangreyep, melepaskan panah-panahnya di dalam kegelapan sehingga menewaskan Tamperan Barmawijaya dan Dewi Pangreyep.
Berita kematian Tamperan Barmawijaya didengar oleh Sanjaya yang ketika itu telah memerintah di Bumi Mataram, dan kemudian dengan pasukan besarnya, Sanjaya menyerang Galuh. Namun Manarah telah menduga serangan itu, sehingga ia telah menyiapkan pasukan yang juga didukung oleh raja di daerah Kuningan yang dulu pernah ditaklukan Sanjaya.
Perang saudara (gotrayuddha) antara sesama keturunan Wretikandayun terjadi selama beberapa hari tanpa ada yang menang maupun yang kalah. Banyak korban yang gugur dalam peperangan besar itu. Dalam keadaan yang mengenaskan, Demunawan turun dari Saung Galah untuk meredakan peperangan. Dengan wibawanya yang besar serta dihormati sebagai seorang sesepuh, Demunawan berhasil menghentikan pertempuran dengan jalan mengajak kedua belah pihak yang bertikai untuk berunding di keraton Galuh pada tahun 739. Salah satu isi dari perundingan itu dicapai kesepakatan bahwa :
1. Negeri Sunda dengan wilayah dari Citarum ke barat dirajai oleh Kamarasa atau Banga.
2. Negeri Galuh dengan wilayah dari Citarum ke timur dirajai oleh Surotama atau Manarah.
3. Demunawan menguasai negeri Saung Galah (Kuningan) dan bekas kawasan Kerajaan Galunggung.
4. Sanjaya memerintah di Bumi Mataram.
MANARAH / SUROTAMA (739 - 783)
Manarah sebagai anak dari Premana Dikusuma (dikenal juga sebagai Ciung Wanara dalam cerita tradisional Sunda), menjadi penguasa Galuh setelah dia berhasil menyerang Kerajaan Sunda, keadaan itu membuat Galuh kembali menjadi kerajaan yang merdeka. Beliau dinobatkan sebagai raja Galuh dengan gelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana.
Manarah memperistri Kancanawangi (cicit Resiguru Demunawan). Kancanawangi merupakan kakak dari istri Rakeyan Banga. Dari permaisuri ini, Manarah memperoleh puteri yang bernama Puspasari.
Pada tahun 783, Manarah melakukan "Manurajasuniya" (mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa sampai akhir hayat) dan baru wafat pada tahun 798 dalam usia 80 tahun.
MANISRI (783 - 799)
Beliau merupakan menantu dari Manarah, melalui pernikahannya dengan Puspasari. Ketika dinobatkan sebagai raja Galuh, beliau diberi gelar Prabu Darmasakti Wirajayeswara.
Beliau memiliki dua orang putera, antara lain :
1. Tariwulan, kemudian menjadi penerus tahta Galuh.
2. Rakeyan Hujungkulon, kemudian menikah dengan Dewi Samatha (puteri Rakeyan Medang / raja Sunda ke-5). Dari ikatan pernikahannya ini, beliau akhirnya menjadi raja Sunda ke-6.
TARIWULAN (799 – 806)
Tariwulan adalah anak dari Manisri, beliau bergelar Prabu Kretayasa Dewakusaleswara.
Tariwulan memiliki permaisuri yang bernama DewiSaraswati (dari Kerajaan Saung Galah / Kuningan, keturunan Demunawan).
WELENGAN (806 – 813)
Beliau merupakan anak dari Tariwulan, beliau bergelar Prabu Brajanagara Jayabuana.
Beliau memiliki dua orang anak, antara lain :
1. Prabu Linggabumi, kemudian menjadi penerus Kerajaan Galuh.
2. Dewi Kirana, kemudian menikah dengan Rakeyan Wuwus (raja Sunda ke-8).
PRABU LINGGABUMI (813 – 852)
Prabu Linggabumi merupakan putera dari Welengan sekaligus keturunan Manarah yang terakhir (cicit dari Manarah). Ketika beliau wafat, dia tidak memiliki keturunan untuk meneruskan tahta Galuh. Sehingga tahta Galuh jatuh kepada suami adiknya yang bernama Rakeyan Wuwus (Raja Sunda ke-8).
Dengan peristiwa itu, maka Kerajaan Galuh posisinya berada dibawah kekuasaan Kerajaan Sunda yang dipimpin oleh Rakeyan Wuwus. Kemudian ketika Rakeyan Wuwus telah memiliki putera yang cukup umur, maka Galuh kembali memiliki raja yang sifatnya hanya sebagai raja daerah.
BATARA DANGHIYANG GURUWISUDA (852 – 916)
Beliau merupakan putera sulung dari Rakeyan Wuwus, dan hanya sebagai raja daerah saja.
Batara Danghiyang Guruwisuda memiliki seorang puteri yang bernama Dewi Sundara. Puteri ini kemudian menikah dengan Rakeyan Kamuning Gading (raja Sunda), dan akhirnya lahir 2 orang putera, antara lain :
1. Rakeyan Jayadrata, yang kelak akan menjadi raja Galuh serta membebaskan diri dari Kerajaan Sunda.
2. Rakeyan Limbur Kancana, kelak akan menjadi raja Sunda.
RAKEYAN JAYADRATA (916 – 949)
Pada masa kekuasaanya, di Kerajaan Sunda tengah terjadi kudeta yang dilakukan oleh Rakeyan Jayagiri. Kerajaan Galuh yang merupakan kerajaan bawahan dari Sunda, terlebih lagi Rakeyan Jayadrata adalah putera sulung dari Rakeyan Kamuning Gading (raja Sunda yang tergusur posisinya), maka mulai saat itu Galuh tidak mau mengakui kekuasaan dari Rakeyan Jayagiri.
Karena dianggap membangkang, maka Kerajaan Sunda mengerahkan pasukannya untuk menyerang Galuh sebanyak 2 kali serangan. Namun, Rakeyan Jayadrata yang langsung memimpin prajurit Galuh, berhasil menghancurkan serangan itu.
Setelah kejadian penyerangan yang dimenangkan oleh Galuh, maka Kerajaan Galuh memerdekakan diri dari kekuasaan Kerajaan Sunda. Dengan demikian, Kerajaan Galuh tampil kembali menjadi kerajaan yang merdeka dengan batas wilayahnya adalah sebelah timur Citarum barat Jawa.
Kebencian Rakeyan Jayadrata terhadap Rakeyan Jayagiri, terus berlanjut hingga raja Galuh tersebut mengutus adiknya yang bernama Rakeyan Limbur Kancana untuk membunuh Rakeyan Jayagiri.
RAKEYAN HARIMURTI (949 – 988)
Beliau merupakan putera dari Rakeyan Jayadrata, dan menjadi penerus tahta Galuh yang sudah merdeka.
Setelah kekuasaan Sunda berada pada Rakeyan Limbur Kancana, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda menjadi damai kembali.
PRABU LINGGASAKTI JAYAWIGUNA (988 – 1012)
Ketika beliau wafat, tahta Kerajaan Galuh dikuasai oleh kakak iparnya (Prabu Dewa Sanghiyang / raja Sunda). Sedangkan anaknya dari permaisuri Dewi Rukmawati yang bernama Prabu Resiguru Darmasatyadewa, hanya dinobatkan sebagai raja daerah Galuh sebagai wakil dari kekuasaan Keajaan Sunda di Pakuan.
Dengan demikian, Kerajaan Galuh kembali menjadi kerajaan bawahan Sunda.
PRABU RESIGURU DARMASATYADEWA (1012 - 1027)
Beliau hanya berkuasa sebagai raja daerah atau wakil dari pemerintahan Kerajaan Sunda di Pakuan.
DEWI SUMBADRA (1027 - 1065)
Beliau merupakan adik dari istrinya Prabu Sanghiyang Ageung (raja Sunda ke-19). Jika dilihat dari permaisuri Prabu Sanghiyang Ageung yang berasal dari Kerajaan Sriwijaya, maka kemungkinan besar Dewi Sumbadra pun sama-sama berasal dari kerajaan terbesar di pulau Sumatera itu.
Seperti juga raja Galuh sebelumnya, Dewi Sumbadra pun hanya berkuasa sebagai raja daerah atau wakil dari pemerintahan Kerajaan Sunda di Pakuan.
Setelah memerintah selama kurang lebih 38 tahun, Dewi Sumbadra digantikan posisinya oleh puteranya yang bernama Prabu Arya Tunggalningrat.
PRABU ARYA TUNGGALNINGRAT (1065 - 1091)
Masa kekuasaan beliau seangkatan dengan masa kekuasaan Prabu Langlangbumi (raja Sunda ke-22).
Periode tahun 1091 hingga 1152 tidak diketahui nama Raja Daerah yang menjabat di Galuh.
Pada tahun 1152, kekuasaan Galuh bersatu dengan Kerajaan Galunggung dalam rangka mengimbangi kekuatan Kerajaan Sunda. Pada saat itu Galuh kembali menjadi Kerajaan yang merrdeka, dan diangkat sebagai rajanya adalah seorang ratu penguasa Kerajaan Galunggung yang bernama Dewi Citrawati / Batari Hiyang Janapati.
DEWI CITRAWATI (1152 - 1157)
Akibat hasil dari perundingan damai antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galunggung, maka beliau berkuasa di 2 kerajaan yang bersatu yaitu Kerajaan Galuh dan Kerajaan Galunggung. Pada masa kekuasaannya, ibukota Galuh dipindahkan ke pusat Kerajaan Galunggung.
Dewi Citrawati mempunyai putera yang bernama Batara Danghiyang Guru Darmawiyasa, puteranya ini kemudian ditugaskan untuk menjabat sebagai raja daerah di Galunggung. Dari Batara Danghiyang Guru Darmawiyasa ini, Dewi Citrawati mempunyai cucu yang bernama Prabu Darmakusuma, cucunya inilah kemudian menjadi penerus kerajaan Sunda setelah menikah dengan Ratna Wisesa (puteri Prabu Menakluhur / raja Sunda ke-23).
Setelah Prabu Darmakusuma dinobatkan sebagai raja Sunda pada tahun 1157, maka kekuasaan Galuh dan Galunggung kembali berada di bawah kekuasaan Sunda.
Pada tahun 1475, Kerajaan Sunda kembali dipecah menjadi 2 bagian, karena itu Kerajaan Galuh kembali muncul sebagai kerajaan yang berdiri sendiri.
NINGRAT KANCANA (1475 – 1482)
Sebelum menjadi raja Galuh, pada usia 23 tahun Ningrat Kancana ditunjuk oleh Prabu Anggalarang (ayahnya) sebagai raja daerah di wilayah Galuh. Saat itu, untuk menjalankan pemerintahannya sehari-hari, beliau langsung berada dibawah bimbingan ayahnya.
Pada saat dinobatkan sebagai raja Galuh, beliau diberi gelar Prabu Rahiyang Dewa Niskala. Saat itu, antara Kerajaan Galuh dengan Kerajaan Sunda (yang dipimpin oleh Prabu Susuktunggal) berada dalam kedudukan sederajat / setingkat.
Beliau memiliki 3 orang istri, tapi tidak diketahui namanya. Dari beberapa pernikahannya itu, lahirlah beberapa orang anak, antara lain :
1. Pamanahrasa / Jayadewata (anak dari istri pertama) lahir tahun 1401, kelak beliau akan menjadi raja Pajajaran yang paling terkenal dengan sebutan Prabu Siliwangi.
2. Ningratwangi (anak dari istri pertama)
3. Banyakcatra / Kamandaka (anak dari istri kedua), kelak menjadi raja daerah (bawahan Galuh) di daerah Pasir Luhur.
4. Banyakngampar (anak dari istri kedua), kelak menjadi raja daerah (bawahan Galuh) di daerah Dayeuh Luhur.
5. Ratna Ayu Kirana (anak dari istri kedua)
6. Kusumalaya / Ajar Kutamangu (anak dari istri kedua)
7. Surayana (anak dari istri ketiga)
Terjadinya kejatuhan Prabu Kertabumi / Brawijaya V (Raja Majapahit) akibat serangan Demak sekitar tahun 1478, telah mempengaruhi jalan sejarah di barat Jawa. Rombongan pengungsi dari kerabat keraton Majapahit akhirnya ada juga yang sampai di wilayah Kerajaan Galuh. Salah seorang diantaranya ialah Raden Baribin (saudara seayah Prabu Kertabumi). Ia diterima dengan baik oleh Prabu Dewa Niskala bahkan kemudian dijodohkan dengan putrinya yang bernama Ratna Ayu Kirana. Disamping itu Dewa Niskala sendiri menikahi salah seorang dari wanita pengungsi yang kebetulan telah bertunangan.
Sejak peristiwa Bubat, kerabat Kerajaan Galuh maupun Kerajaan Sunda ditabukan untuk berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit. Selain itu, menurut "perundang-undangan" waktu itu, seorang wanita yang bertunangan tidak boleh menikah dengan laki-laki lain kecuali bila tunangannya meninggal dunia atau membatalkan pertunangan. Dengan demikian, Dewa Niskala telah melanggar dua peraturan sekaligus dan dianggap berdosa besar sebagai raja.
Kekalutan pun tak terelakkan. Prabu Susuktunggal (Raja Sunda yang juga besan Dewa Niskala setelah puteri Prabu Susuktunggal yang bernama Kentring Manik Mayang Sunda dijodohkan dengan Prabu Jayadewata), mengancam untuk memutuskan hubungan dengan Kerajaan Galuh. Begitu juga dengan anggapan dari Dewa Niskala yang menganggap kakaknya terlalu ikut campur urusan intern Kerajaan Galuh.
Namun, kericuhan dapat dicegah dengan keputusan di tahun 1482, bahwa kedua raja yang berselisih itu bersama-sama mengundurkan diri. Akhirnya Prabu Dewa Niskala menyerahkan tahta Kerajaan Galuh kepada puteranya yang bernama Jayadewata. Demikian pula dengan Prabu Susuktungal yang menyerahkan tahta Kerajaan Sunda kepada menantunya ini (Jayadewata).
Dengan peristiwa yang terjadi itu, kerajaan di tatar Sunda berada dalam satu tangan. Di bawah panji Kerajaan Pajajaran.
Prabu Dewa Niskala wafat di Guna Tiga.
Setelah peristiwa penyatuan kekuasaan menjadi satu Kerajaan besar Pajajaran, wilayah priangan timur (bekas kekuasaan Galuh) terbagi menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Kemungkinan besar hal ini terjadi akibat terkonsentrasinya kerajaan Pajajaran untuk pengembangan wilayah di barat (Pakuan).
PRABU NINGRATWANGI
Beliau menjadi raja daerah di bawah kekuasaan besar Pajajaran (yang dipimpin oleh kakaknya / Jayadewata). Prabu Ningratwangi ditugaskan untuk mengurusi wilayah Galuh. Pada saat menjalankan pemerintahannya, beliau dibantu oleh beberapa orang untuk memonitor wilayah barat Jawa bagian timur. Salah satu diantaranya adalah Adipati Arya Kiban yang mengurusi pemerintahan di Palimanan (mencakup wilayah Cirebon).
Prabu Ningratwangi memiliki putera yang bernama Prabu Jayaningrat yang kemudian meneruskan tahta Galuh.
PRABU JAYANINGRAT
Saat beliau berkuasa, pamor Pajajaran (kerajaan induk dari Galuh) tengah mengalami penurunan. Pajajaran yang dipimpin oleh Prabu Surawisesa terdesak oleh munculnya Kesultanan Cirebon. Keadaan itu dijadikan kesempatan bagi Prabu Jayaningrat, untuk menunjukan kesetiaan Galuh pada Pajajaran.
Untuk mengembalikan kewibawaan Pajajaran, Prabu Jayaningrat mengirim surat kepada Syarif Hidayatullah (Sultan Cirebon pertama). Surat tersebut berisi agar Cirebon mengirimkan upeti kepada atasannya (Pajajaran), apabila perintah ini tidak dituruti, maka pasukan Galuh akan menggempur Cirebon.
Dikarenakan Cirebon tetap bersikukuh tidak mau memberi upeti, maka ancaman Galuh menjadi kenyataan. Pasukan besar disiapkan langsung dibawah komando Prabu Jayaningrat dibantu oleh sang Patih bernama Adipati Arya Kiban untuk menyerang Cirebon pada tahun 1528.
Di perbatasan Galuh – Cirebon tepatnya di dekat bukit Gundul, Palimanan, serangan pasukan Galuh berhadapan sengit dengan pasukan Cirebon yang diwakili oleh Laskar Kuningan (Kerajaan sekutu bawahan Cirebon) pimpinan Dipati Ewangga. Pasukan Galuh berhasil memukul mundur pasukan Dipati Ewangga.
Adipati Arya Kiban yang saat itu menunggang seekor gajah bernama Si Liman Bango, tidak melanjutkan pengejaran kepada Pasukan Kuningan hingga ke jantung kota Cirebon karena mendengar kabar bahwa di Cirebon telah siap 700 pasukan Demak lengkap dengan senjata api dan meriam. Tetapi kabar tersebut ternyata tidak lengkap, karena sebenarnya pasukan besar Demak (sekutu Cirebon) tersebut telah diberangkatkan untuk menyerang Pajajaran di daerah Banten Girang.
Tetapi selang beberapa waktu, kekhawatiran akan armada besar Demak menjadi kenyataan. Sekitar 700 pasukan bantuan dari Demak didatangkan untuk menghadang pasukan Galuh. Pasukan Demak dipimpin oleh Fatahillah bergabung dengan pasukan Cirebon yang dipimpin oleh tokoh kharismatik Raden Walangsungsang serta Dipati Ewangga dari Kuningan.
Pertempuran kedua berlangsung lebih sengit, tetapi kali ini kemenangan berada di pihak Cirebon dan Demak. Bantuan pasukan meriam Demak membuat Galuh kewalahan. Laskar Galuh tidak berdaya menghadapi “panah besi besar yang bersuara seperti guntur serta memuntahkan logam panas”. Tombak dan anak panah merekapun lumpuh karena meriam, maka jatuhlah Kerajaan Galuh, sedangkan Prabu Jayaningrat berhasil meloloskan diri ke kerajaan Talaga (sama-sama kerajaan bawahan Pajajaran). Dikisahkan wilayah dan Istana Galuh dibumi hanguskan oleh rakyatnya yang setia karena mereka tidak sudi menjadi bawahan dari Cirebon. Riwayat Prabu Jayaningrat sendiri dikabarkan tewas setelah Cirebon menyerang Talaga.
Menurut sumber lain mengatakan, kekalahan Galuh ini diakibatkan oleh hilangnya benda pusaka Kerajaan Galuh yaitu Sarpa Kandaga yang telah dicuri sebelumnya oleh Nyai Endang Darma (istri Aria Wiralodra, seorang Adipati Cimanuk / Darma Ayu) atas perintah Syarif Hidayatullah (Sultan Cirebon), sehingga membuat Prajurit Galuh kehilangan kepercayaan diri dan merosotnya mental bertempur (lihat Bagian Wilayah Darma Ayu).
PERKEMBANGAN SELANJUTNYA WILAYAH GALUH
Dengan peristiwa di tahun 1528 tersebut, akhirnya wilayah Galuh jatuh pengawasannya dalam kekuasaan Kesultanan Cirebon. Kemudian ketika Cirebon berada di bawah kekuasaan Mataram, otomatis Galuh masuk menjadi wilayah dibawah kekuasaan Mataram. Raja-raja yang berkuasa di Galuh akhirnya diganti oleh penguasa (setingkat bupati) yang ditunjuk oleh Mataram.
Keberadaan Kabupaten Karawang saat ini, tidak terlepas dari peran Galuh. Seperti diceritakan, saat Mataram bermaksud untuk menghambat perluasan wilayah kekuasaan kompeni (VOC), Sultan Mataram mengutus penguasa Galuh bernama R.A.A. Wirasuta (bergelar Adipati Panatayuda / Adipati Kertabumi III) untuk menduduki wilayah Rangkas Sumedang (Sebelah Timur Citarum). Selain itu, beliau mendirikan benteng pertahanan di Tanjungpura, Adiarsa, Parakansapi dan Kuta Tandingan. Setelah mendirikan benteng tersebut Adipati Kertabumi III kemudian kembali ke Galuh dan wafat. Nama Rangkas Sumedang itu sendiri akhirnya berubah menjadi Karawang karena kondisi daerahnya yang berawa-rawa (Sunda: "Karawaan").
Pada tahun 1656, Sultan Agung Mataram kemudian mengangkat putra dari Adipati Kertabumi III, yakni Adipati Kertabumi IV menjadi Dalem (Bupati) di Karawang dengan ibu kota di Udug-udug. Adipati Kertabumi IV ini juga dikenal sebagai Panembahan Singaperbangsa atau Eyang Manggung.
0 comments:
Post a Comment