Kerajaan ini disebut juga Kerajaan Medang Gana. Lokasinya terletak di daerah segitiga Bandung – Sumedang – Ciamis (sekarang), yang pada abad ke 17 dikenal dengan nama Medang Sasigar dan kemudian menjadi nama Sumedang.
Seperti halnya Kendan, kerajaan ini juga bersifat keagamaan. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang Rajaresi, yaitu jabatan raja yang selain menangani masalah pemerintahan, juga menangani masalah keagamaan.
Berikut ini merupakan raja-raja yang berkuasa di kerajaan Medang Jati :
KANDIAWAN (597 – 612)
Setelah menjadi penguasa Medang Jati, beliau dinobatkan dengan gelar Rajaresi Dewaraja. Sebutan lainnya untuk Kandiawan adalah Rahiyangta ri Medangjati. Dilihat dari silsilahnya, Kandiawan ini masih merupakan cucu dari Resiguru Manikmaya (pendiri Kerajaan Kendan) dan cicit dari Suryawarman (Raja Tarumanagara ke-7).
Kandiawan merupakan seorang ahli yang membuat, mengajarkan, dan melaksanakan Sanghiyang Watangageung. Dimana, Sanghiyang Watangageung tersebut diyakini sebagai Undang-undang pemerintahan pertama di tanah Sunda yang merupakan himpunan peraturan yang mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat, juga mencakup pengaturan kehidupan beragama, antara lain tentang kehidupan para wiku (ulama / cendekiawan)
Dari pengembangan Sanghiyang Watangageung, lahirlah Sanghiyang Siksa Kanda ng Karesian dan Séwaka Darma, yang kelak kemudian menjadi sumber hukum Kerajaan Pajajaran.
Kandiawan memiliki 5 orang putra, antara lain :
1. Mangukuhan, penguasa daerah Kuli-Kuli.
2. Karungkalah, penguasa daerah Surawulan.
3. Katungmaralah, penguasa daerah Peles Awi.
4. Sandangreba, penguasa daerah Rawung Langit.
5. Wretikandayun, penguasa daerah sekaligus rajaresi di daerah Menir.
Kandiawan mengundurkan diri sebagai raja, dan kemudian menjadi petapa di Layungwatang (daerah Kuningan). Sebagai pengganti kekuasaannya, beliau menunjuk Wretikandayun (putera bungsunya).
Raja yang berasal dari putera bungsu, merupakan suatu kejanggalan untuk tradisi di saat itu (biasanya putera sulung dipilih menjadi penerus tahta). Namun, Kandiawan telah mempertimbangkan matang-matang keputusan itu. Pemilihan itu berdasarkan sikap yang dimiliki Wretikandayun yang dianggap lebih baik daripada keempat kakaknya. Wretikandayun yang menjabat sebagai rajaresi di Menir, dilihat oleh ayahnya sebagai orang yang tidak terlalu mementingkan urusan duniawi. Jabatan rangkap (raja dan rajaresi), telah merupakan tradisi di keluarga tersebut sejak masa periode pemerintahan buyutnya di Kendan (Resiguru Manikmaya).
Setelah Wretikandayun naik tahta, pusat kerajaannya berpindah ke ibu kota baru yang dinamakan Galuh. Mulai periode ini, nama Kerajaan Medang Jati telah berubah menjadi Kerajaan Galuh.
0 comments:
Post a Comment