Pada mulanya, kerajaan ini hanya berupa sebuah padepokan yang mengajarkan agama Budha. Padepokan tersebut didirikan oleh Sudayosa. Tokoh ini merupakan anak dari Suryadewata (putera dari raja Sunda ke-29, yang bernama Prabu Ajiguna Linggawisesa).
Sudayosa merupakan penganut agama Budha aliran Sarwastiwada. Padepokan agama Budha tersebut terletak di daerah Gunung Bitung (sekitar Majalengka), oleh karena itu Sudayosa dikenal dengan julukan Batara Gunung Bitung.
Batara Gunung Bitung memimpin padepokan selama 2 windu. Dalam menjalankan padepokannya, Batara Gunung Bitung membangun pembangunan prasarana jalan perekonomian yang dibuat sepanjang kurang lebih 25 kilometer (tepatnya Talaga - Salawangi di daerah Cakrabuana). Bidang Pembangunan lainnya yaitu perbaikan pengairan di Cigowong yang meliputi saluran-saluran pengairan (semuanya di daerah Cikijing sekarang). Semakin hari padepokan itu semakin maju dan berkembang.
Batara Gunung Bitung memiliki 6 orang anak, yaitu Sunan Cungkilak, Sunan Benda, Sunan Gombang, Ratu Panggongsong Ramahiyang, Prabu Darmasuci, dan Ratu Mayang Karuna.
Kemajuan semakin terlihat, ketika padepokan Budha ini diteruskan kepemimpinannya oleh puteranya yang bernama Darmasuci. Saat itu penganut agama Budha semakin banyak, dan akhirnya Darmasuci mendirikan kerajaan yang bercorak Budha dengan nama Kerajaan Talaga, dan termasuk kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda saat itu dipimpin oleh Prabu Anggalarang.
Kerajaan yang berdiri sekitar abad ke-14 ini, memiliki daerah kekuasaan yang meliputi Talaga, Cikijing, Bantarujeg, Lemahsugih, Maja dan sebagian Selatan Majalengka, sedangkan pusat pemerintahannya diperkirakan di Desa Bobos (wilayah Majalengka sekarang).
Pada perkembangan selanjutnya, ketika kekuasaan Sunda dibagi dua, Talaga menjadi kekuasaan kerajaan Galuh. Saat di “pusat” terjadi penyatuan kekuasaan Sunda-Galuh kedalam satu nama yaitu Pajajaran, akhirnya Talaga kemudian menjadi bawahan Pajajaran.
Kemudian setelah dominasi Cirebon – Banten (dibantu oleh Demak) menguasai barat Jawa, Kerajaan Talaga yang berpaham Budha akhirnya menjadi Islam di bawah pengaruh Kesultanan Cirebon (mulai tahun 1528).
Dalam seni pantun banyak diceritakan tentang kunjungan tamu-tamu dari beberapa daerah seperti Jawa Tengah, Jayakarta, dan Pajajaran ke Talaga. Peninggalan dari kerajaan ini masih bisa disaksikan di sebuah rumah tua di dekat kantor Kecamatan Talaga. Peninggalan yang berupa perkakas dan hiasan keramik, gamelan, benda-benda atribut kerajaan seperti keris, harnas atau baju besi, tombak, pistol, senapan, meriam dan lainnya, serta catatan silsilah dari raja pertama hingga yang terakhir itu kini dirawat oleh keturunannya.
Berikut ini merupakan raja-raja dari Kerajaan Talaga :
1. DARMASUCI
Darmasuci merupakan raja Talaga pertama dengan gelar rajaguru. Beliau juga dikenal sebagai Pandita Perabu Darmasuci. Dalam pemerintahan raja ini, agama Budha berkembang dengan pesat. Kerajaan Talaga pun menjadi pusat agama Budha di barat Jawa dan sering dikunjungi oleh umat Budha yang berasal pulau Jawa dan Sumatera.
Beliau wafat dengan meninggalkan 2 orang putra yaitu Bagawan Garasiang dan Sunan Talagamanggung.
2. BAGAWAN GARASIANG
Saat raja ini berkuasa, pusat pemerintahan berpindah dari Talaga ke daerah Cihaur Maja.
Karena beliau sangat mementingkan kehidupan Kepercayaan sehingga akhirnya tak lama kemudian tahta diserahkan kepada adiknya Sunan Talagamanggung.
3. SUNAN TALAGAMANGGUNG
Sunan Talagamanggung merupakan raja yang sangat terkenal bagi rakyat Talaga. Masa kekuasaannya sezaman dengan Prabu Dewa Niskala (raja Galuh).
Dalam memerintah, sikap beliau sangat adil dan bijaksana serta sangat memperhatikan terhadap perkembangan agama Budha, pertanian, pengairan, kerajinan serta kesenian rakyat.
Saat Sunan Talagamanggung berkuasa, Kerajaan Talaga menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan tetangga hingga kerajaan yang besar, seperti misalnya Kerajaan Majapahit, Kerajaan Pajajaran, maupun Kerajaan Sriwijaya.
Sunan Talaga Manggung memiliki dua orang anak, yaitu Raden Pangrurah (kemudian menjadi bikshu) dan Ratu Simbarkancana.
Ratu Simbarkancana merupakan puteri yang sangat cantik, sehingga diibaratkan sebagai bidadari yang bermukim di negeri Talaga. Karena kecantikannya itu Ratu Simbarkancana banyak yang meminang. Akhirnya Sunan Talagamanggung mengadakan sayembara untuk mendapatkan puterinya. Sayembara tersebut diadakan selama 3 hari dengan mempertandingkan adu senjata (tombak, gada, keris) sambil menunggang kuda, lomba keterampilan dalam jumlah menangkap harimau dan babi hutan liar di dalam hutan, dan terakhir dipertandingkan lomba memanah bunglon yang ekornya digantung.
Sayembara tersebut akhirnya dimenangkan oleh Sakyawira (Menteri Urusan Laut Kerajaan Palembang). Sakyawira pun berhak untuk menikahi Ratu Simbarkancana dan diangkat sebagai Patih Utama Kerajaan Talaga.
Sebagai seorang yang berasal dari daerah yang berbeda tradisi, Sakyawira sering terlihat tidak menampakan etika budaya yang religius di Talaga. Kegemarannya berburu, rupanya mempengaruhi pada perilakunya sehari-hari yang kejam dan tak bisa mengontrol nafsu. Ditopang dengan jabatan sebagai Patih Utama, Sakyawira banyak melampiaskan nafsunya kepada gadis-gadis baik dari kalangan rakyat biasa maupun anak dari penghulu desa di sekitar Talaga.
Pembesar kerajaan Talaga sebenarnya telah mengetahui perangai buruk dari Sakyawira, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena segan pada mertua Sakyawira yang bertindak sebagai penguasa Talaga.
Ketamakan Sakyawira kemudian merembet pada urusan kekuasaan, dia ingin sekali menjadi raja Talaga. Dia tidak tahan menunggu lama untuk menerima warisan kepemimpinan dari mertuanya, karena itu dia bekerjasama dengan Patih Citrasinga untuk menyingkirkan Sunan Talagamanggung.
Seorang Bhayangkara (pasukan pengawal raja) yang bernama Centrabentang diperintahkan untuk membunuh sang raja. Centrabentang berhasil menjalankan tugasnya dari Sakyawira dengan baik. Sunan Talagamanggung tewas dengan tombak yang tertikam di dadanya. Centrabentang kemudian melarikan diri ke dalam hutan belantara setelah lolos dari sergapan prajurit Bhayangkara lainnya.
Dibalik kemahsyuran Sunan Talagamanggung, beliau harus turun tahta dengan sangat tragis. Dengan upacara resmi keagamaan, jenazah Sunan Talagamanggung dikremasi dan dihadiri oleh para pembesar kerajaan tetangga dan ribuan umat Budha di Kerajaan Talaga.
4. SAKYAWIRA
Sakyawira akhirnya berhasil mewujudkan ambisinya untuk menduduki jabatan tertinggi di Kerajaan Talaga. Kaki tangannya, yaitu Citrasinga kemudian diangkat sebagai Patih Utama.
Untuk menutupi aibnya, Sakyawira mengutus Citrasinga untuk mencari dan membunuh Centrabentang agar rahasia busuknya tetap terjaga. Tetapi tempat persembunyian Centrabentang tidak ditemukan. Setelah Citrasinga tidak berhasil, Sakyawira akhirnya harus turun tangan sendiri dalam mencari tempat persembunyian itu, namun usaha kerasnya tetap tidak membuahkan hasil.
Di lain pihak, berita tewasnya Sunan Talagamanggung telah sampai ke Galuh. Untuk melindungi kerajaan bawahannya, Prabu Dewa Niskala sebagai penguasa Galuh menugaskan Kusumalaya / Ajar Kutamangu untuk mencari si pembunuh.
Berbeda dengan usaha Sakyawira, kecermatan dari Kusumalaya berhasil menemukan Centrabentang. Ketika diinterogasi, Centrabentang mengaku telah membunuh Sunan Talagamanggung atas perintah Sakyawira. Centrabentang merasa kecewa tehadapa Sakyawira yang tidak menepati janjinya untuk memberikan pangkat dan harta baginya.
Karena Kusumalaya merasa tidak berhak untuk memberikan putusan bagi si pembunuh, akhirnya Centrabentang secara sembunyi-sembunyi dibawanya untuk dipertemukan dengan Ratu Simbarkancana (isteri Sakyawira).
Di hadapan Ratu Simbarkancana, dengan rasa penuh penyesalan Centrabentang membocorkan kebusukan dari Sakyawira dan ia pun rela untuk dihukum mati.
Tidak beberapa lama kemudian, Ratu Simbarkancana yang merasa sangat kesal terhadap perlakuan suaminuya, akhirnya membunuh Sakyawira dengan tusuk konde sewaktu tidur. Tusuk konde tersebut dihunjamkan sebanyak 3 kali ke arah tenggorokan Sakyawira, dan Sakyawira pun tewas seketika.
Dengan tewasnya Sakyawira, kemudian Ratu Simbarkancana menikah dengan Kusumalaya, yang telah banyak berjasa terhadap mengungkap misteri pembunuhan ayahnya.
5. RATU SIMBARKANCANA
Beliau memerintah sekitar awal abad XIV Masehi. Dalam tampuk pemerintahannya, agama Islam menyebar ke daerah-daerah kekuasaannya yang dibawa oleh para Santri dari Cirebon.
Ratu Simbarkenacana juga memindahkan tahta pemerintahan waktu itu ke suatu daerah disebelah utara Talaga bernama Walangsuji dekat kampung Buniasih.
Dari pernikahannya terdahulu dengan Sakyawira, beliau tidak dikaruniai anak, sedangkan melalui pernikahan keduanya dengan Kusumalaya, Ratu Simbarkancana melahirkan 8 orang anak. Anak sulung mereka bernama Sunan Parung, sedangkan anak laki-laki lainnya adalah Batara Sakawayana / Sunan Corenda yang kemudian menikah dengan ratu yang bernama Nyi Mas Ratu Patuakan (penguasa Kerajaan Geger Hanjuang).
Setelah Ratu Simbarkancana wafat, tahtanya kemudian digantikan oleh Sunan Parung.
6. SUNAN PARUNG
Hal yang penting pada masa pemerintahannya adalah sudah adanya Perwakilan Pemerintahan yang disebut Dalem, antara lain ditempatkan di daerah Kulur, Sindangkasih, dan Jerokaso Maja.
Pemerintahan Sunan Parung tidak lama, hanya beberapa tahun saja. Sunan Parung mempunyai puteri tunggal bernama Ratu Sunyalarang / Ratu Parung.
7. RATU SUNYALARANG / RATU PARUNG
Sebagai puteri tunggal beliau naik tahta menggantikan ayahnya. Ratu Sunyalarang ini kemudian menikah dengan Raden Rangga Mantri / Prabu Pucuk Umum (cicit Prabu Jayadewata / Prabu Siliwangi).
Pada masa pemerintahannya agama Islam sudah berkembang sangat pesat. Banyak rakyat Talaga yang memeluk agama tersebut hingga akhirnya Islam berpengaruh besar ke daerah-daerah kekuasaannya antara lain Maja, Rajagaluh dan Majalengka.
Saat itu hubungan antara pemerintahan Talaga dengan Kesultanan Cirebon maupun Kerajaan Pajajaran sangat baik sekali. Sebagaimana diketahui Prabu Pucuk Umum adalah cicit dari Prabu Siliwangi karena dalam hal ini ayah beliau yang bernama Raden Munding Sari Ageng merupakan cucu dari Prabu Jayadewata (Prabu Siliwangi).
Hal terpenting pada masa pemerintahan Ratu Sunyalarang adalah Talaga menjadi pusat perdagangan di bagian Selatan.
8. RADEN RANGGA MANTRI / PRABU PUCUK UMUM TALAGA
Di masa kekuasaannya penduduk Talaga dan wilayah sekitarnya (semuanya termasuk wilayah Majalengka sekarang), hampir sebagian besar telah beragama Islam.
Menurut sumber lain, diceritakan bahwa Raden Rangga Mantri / Prabu Pucuk Umum ini masa kekuasaannya sejaman dengan Prabu Jayaningrat di Galuh dan Prabu Surawisesa di Pakuan. Pada saat kekuasaan Kerajaan Galuh dijatuhkan oleh Kesultanan Cirebon pada tahun 1528, Prabu Jayaningrat dan beberapa pembesarnya melarikan diri ke Kerajaan Talaga. Pada tahun itu juga, Kesultanan Cirebon kemudian mengalihkan serangannya ke Talaga sebagai benteng terakhir Kerajaan Pajajaran, akhirnya melalui pertempuran sengit, wilayah Talaga jatuh ke tangan Kesultanan Cirebon. Diceritakan Prabu Jayaningrat tewas dalam pertempuran, sedangkan Raden Rangga Mantri melarikan diri ke hutan di lereng gunung Ciremai.
Dari pernikahan Raden Rangga Mantri dengan Ratu Sunyalarang, mereka dikaruniai 5 orang putera yaitu Prabu Haurkuning, Aria Kikis / Sunan Wanaperih, Dalem Lumaju Agung, Dalem Panuntun, dan Dalem Panaekan.
Sebelum Prabu Pucuk Umum wafat, beliau telah menunjuk putra-putranya untuk memerintah (setingkat bupati) di daerah-daerah kekuasaannya, antara lain :
· Prabu Haurkuning, hanya sebentar meneruskan tampuk kekuasaan Talaga, kemudian beliau pindah ke Ciamis dan kelak keturunan beliau banyak yang menjabat sebagai Bupati.
· Aria Kikis / Sunan Wanaperih memegang tampuk pemerintahan Kerajaan Talaga di Walangsuji ;
· Dalem Lumaju Agung di kawasan Maja ;
· Dalem Panuntun di Majalengka ;
· Dalem Panaekan di Walangsuji kemudian berpindah-pindah menuju Riung Gunung, Sukamenak, Nunuk Cibodas dan Kulur.
Prabu Pucuk Umum wafat dan dimakamkan di dekat Situ Sangiang, Kecamatan Talaga.
9. ARIA KIKIS / SUNAN WANAPERIH
Pada masa pemerintahannya, seluruh rakyat di Talaga telah memeluk Agama Islam. Pusat pemerintahannya di Walangsuji.
Sunan Wanaperih memiliki 6 orang anak, yaitu Dalem Cageur, Dalem Kulanata, Apun Surawijaya / Sunan Kidul, Ratu Radeya, Ratu Putri, dan Dalem Wangsa Goparana.
Diceritakan bahwa Ratu Radeya menikah dengan Arya Salingsingan. Sedangkan Ratu Putri menikah dengan Sayid Ibrahim Cipager (putra Syech Abu Muchyi dari Pamijahan).
Sedangkan putranya yang bernama Dalem Wangsa Goparana pindah ke Sagalaherang Cianjur. dan merupakan penyebar agama Islam di Subang.
Anak dari Dalem Wangsa Goparana yang bernama Jayasasana, adalah Bupati Cianjur pertama (1640 – 1686) dengan gelar Aria Wiratanu I. Beliau sebelum tiba di Cianjur, hanya merupakan seorang sentana dari Kerajaan Talaga yang menimba ilmu agama Islam selama delapan tahun di Kesultanan Cirebon. Setelah menimba ilmu, beliau diembani tugas oleh penguasa Cirebon saat itu untuk membuka wilayah Cianjur (sebagai bupati utusan Kesultanan Cirebon) sekaligus menyebarkan agama Islam.
Konon di kalangan dunia supranatural, berkembang cerita bahwa Aria Wiratanu I menikah dengan Dewi Arum Sari yang merupakan putri Jin dari Kerajaan Jin Tengger Agung. Pernikahan ini terjadi karena Raja Jin yang bernama Syekh Jubaidi merasa takjub dengan ketakwaan Aria Wiratanu I tersebut. Dari pernikahan dengan bangsa jin itu, konon Aria Wiratanu memperoleh 3 orang keturunan yaitu Raden Suryakancana (penguasa Gunung Gede, Cianjur), Indang Kancana ( menemani ibunya untuk menguasai Gunung Ciremai, Kuningan), dan Andaka Wirusajagat (penguasa Gunung Kumbang, Karawang). Ketiga anaknya itu akhirnya kembali ke dunia jin ketika mereka masih anak-anak beserta ibunya. Mereka masing-masing diberi daerah kekuasaan oleh Syekh Jubaidi. Wallahu’alam.
Aria Wiratanu I yang setelah wafat terkenal dengan sebutan Dalem Cikundul (karena makamnya terletak dekat sungai Cikundul), mewariskan kekuasaannya sebagai bupati Cianjur kepada anaknya yang bernama Raden Wiramanggala / Aria Wiratanu II (anaknya dari istri manusia).
10. APUN SURAWIJAYA / SUNAN KIDUL
Saat memerintah, Apun Surawijaya kembali memindahkan pusat pemerintahannya ke Talaga.
Apun Surawijaya memiliki putra yang bernama Pangeran Ciburuy / Sunan Ciburuy / Pangeran Surawijaya menikah dengan putri Cirebon bernama Ratu Raja Kertadiningrat saudara dari Sultan Sepuh III Cirebon.
11. PANGERAN SURAWIJAYA / PANGERAN CIBURUY
Pangeran Surawijaya dianungrahi 6 orang anak yaitu Dipati Suwarga, Mangunjaya, Jaya Wirya, Dipati Kusumayuda, Mangun Nagara, dan Ratu Tilarnagara.
Ratu Tilarnagara menikah dengan Bupati Panjalu yang bernama Pangeran Arya Secanata (keturunan Prabu Haur Kuning).
12. DIPATI SUWARGA
Dipati Suwarga menikah dengan Putri Nunuk dan dikaruniai 2 orang putra yaitu Pangeran Dipati Wiranata dan Pangeran Secadilaga / Pangeran Raji.
Setelah Dipati Suwarga wafat, kekuasaan digantikan oleh anaknya yang bernama Pangeran Dipati Wiranata.
13. PANGERAN DIPATI WIRANATA
Memiliki putra yang bernama Pangeran Secanata.
14. PANGERAN SECANATA / ARYA SECANATA
Saat Arya Secanata memerintah, pengaruh VOC sudah terasa sekali.
15. EYANG RAGA SARI
Eyang Raga Sari yang menikah dengan Ratu Cirebon mengantikan Pangeran Secanata.
Sampurasun,
ReplyDeleteManawi kersa urang ngaguar PANCAKAKI kanggo ngaraketkeun kawargian, silsilah Prabu Haur Kuning, kawargian sunda, dsb. di www.silsilah.sanghyangkunning.com
rampes,
Deletereu'eus pami urang Sunda sadayana ngamumule jati dirina nyalira. Koreksi kanggo alamat web diluhur (langkung teuing rupina "n"-na) janten ru leres : www.silsilah.sanghyangkuning.com
cag!