Apabila kita bepergian menggunakan jalur jalan raya Sumedang-Bandung, pasti akan melewati daerah yang disebut Cadas Pangeran. Disana bisa kita lihat sebuah patung yang sedang bersalaman, dan salah satunya menggunakan tangan kiri. Patung tersebut merupakan Patung Kusumadinata IX, Bupati Sumedang periode 1791-1828 dengan Jendral Deandels. Yang berkuasa disaat tanah air ini dijajah oleh Belanda dan Inggris. Kusumadinata IX yang lebih populer dengan sebutan Pangeran Kornel.
Kata Kornel berasal dari kata Kolonel pangkat militer dari pemerintah Belanda. Oleh pemerintah kolonial, Pangeran Kornel dianggap sangat loyal, karena itu tak segan apabila Belanda menjadikan Kusumadinata IX dijadikan pemimpin militer para Bupati di tatar Sunda dengan gelar kolonel yang membawahi Mayor sampai Letnan Kolonel. Entah karena salah mendengar atau tidak terbiasa melafalkan kata Kolonel, masyarakat Sunda saat itu menyebut Kolonel dengan kata Kornel, akhirnya sampai sekarang Pangeran Kusumadinata IX dikenal dengan Pangeran Kornel.
Pangeran Kornel juga pernah diembani tugas untuk meredam pemberontakan Bagus Rangin. Pada masa kepemimpinan Pangeran Kornel, wilayah kekuasaan Sumedang hampir meliputi setengah wilayah Jawa Barat. Banyak kabupaten yang dibubarkan oleh pemerintah kolonial Belanda kemudian digabungkan dengan Sumedang.
Pada tahun 1816, daerah Sumedang meliputi 15 distrik, sehingga Pangeran Kornel membawa Sumedang mencapai puncak keemasannya. Beliau begitu dicintai rakyat, karena kearifannya juga menguasai ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu lainnya, tak heran apabila para pemimpin daerah di Jawa Barat yang lain menjadikan sosok ini sebagai panutan.
Kami (penulis artikel) berharap agar kisah dari Pangeran Konel ini tidak dibaca dari kacamata nasionalisme Indonesia. Pada masa itu gagasan tentang
nasionalisme belum lahir. Pangeran Kusumafinata IX lahir, besar dan berkuasa di alam kolonial Belanda, sehingga ia menjadi perpanjangan tangan Belanda. Ada hikmah yang bisa dijadikan pelajaran melalui tokoh ini, yaitu sikap berani, tegas, loyal, patuh, bertanggung jawab, jujur saat berkuasa, dekat dan mau membela masyarakat meskipun harus mempertaruhkan jabatannya.
Kita akan melihat sebuah persamaan sikap setia antara Pangeran Kusumadinata IX dengan Prabu Surawisesa yang merupakan pendahulunya (raja Pajajaran) dan para prajurit pemberani Pajajaran. Prabu Surawisesa yang bekerjasama dengan Portugis, ikut bahu membahu dengan orang-orang kulit putih untuk bertempur melawan pasukan Fatahillah dalam rangka mempertahankan Sunda Kalapa. Sekali lagi, ini bukanlah sikap anti nasionalisme, tapi ini adalah sikap ksatria seorang pemimpin yang memegang amanah demi memenuhi perjanjian dari jabatannya. (lebih lengkapnya, silahkan lihat Bab Kerajaan Pajajaran)
Masa Sebelum Diangkat Sebagai Bupati Sumedang
Sebelum menjabat sebagai bupati Sumedang, Pangeran Kusumadinata IX dikenal dengan
nama Aom Jamu atau Suranagara. Beliau memiliki garis keturunan
Sumedanglarang dari Ibu dan keturunan darah biru Limbangan dari garis
ayah. Ayahnya (Adipati Surianagara) adalah seorang bupati Sumedang yang wafat ketika Aom Jamu masih kecil, sehingga pemerintah kolonial Belanda mengangkat pamannya (Adpati Surialaga) jadi Bupati Sumedang (1765-1773). Pamannya juga menginggal sebelum Aom Jamu dewasa, pemerintah Belanda kemudian mengangkat Bupati sementara yang bukan keturunan bangsawan Sumedanglarang. Di zaman dahulu, jabatan bupati tak ubahnya seperti seorang raja, dimana keturunannya yang berhak meneruskan tampuk kekuasaan. Pemilihan Bupati pun berdasarkan apakah orang tersebut mau menjadi "perpanjangan tangan" Belanda atau tidak, jika tidak maka jangan harap diangkat menjadi Bupati.
Mengisi kekosongan kekuasaan dari keturunan Sumedang, akhirnya Belanda mengangkat Adipati Tanubaya, seorang bupati dari Parakanmuncang (1773-1775). Adipati Tanubaya juga menjadikan Aom Jamu sebagai menantunya. Walaupun Tanubaya berperan sebagai seorang mertua Aom Jamu, ia merasa tidak setuju kalau menantunya ini diangkat sebagai penerus Bupati Sumedang. Adipati Tanubaya malah menjadikan menantunya yang lain (Adipati Patrakusumah) sebagai Bupati Sumedang dari tahun 1775-1789. Sesepuh Sumedang saat itu sebenarnya menolak diangkatnya bupati ini sebagai penguasa Sumedang dan lebih memilih Aom Jamu yang jelas-jelas memiliki garis keturunan murni penguasa Sumedang. Namun pemerintah kolonial Belanda tetap bersikukuh menjadikan Patrakusumah sebagai Bupati.
Konon, Patrakusumah mulai saat itu akan menjadikan bupati-bupati penguasa Sumedang seterusnya berasal dari Parakanmuncang. Oleh sebab itu Adipati Patrakusumah bermaksud membunuh Aom Jamu agar tidak ada keturunan murni bangsawan Sumedang yang mempunyai hak sebagai bupati disana selanjutnya.
Aom Jamu mencium gelagat dari Patrakusumah, menyadari nyawanya terancam ia lalu menyelamatkan diri menuju Cianjur Selatan melalui jalur Malangbong. Aom Jamu tiba di perkampungan Kalapa Nunggal yang jauh dari keramaian. Selama disana ia menyamar menjadi rakyat biasa agar tidak diketahui oleh mata-mata Patrakusumah. Namun kecakapannya menunggangi kuda dan melafalkan ayat suci Al-Qur'an, membuat seorang mandor perkebunan kopi Kalapa Nunggal merasa curiga, bahwa Aom Jamu sebenarnya bukan orang sembarangan.
Aom Jamu kemudian ditanya dan akhirnya mengungkapkan jati diri yang sesungguhnya. Sang mandor pun menemui Bupati Wiratanudatar VI (Dalem Enoh) sebagai Bupati Cianjur, ia melaporkan bahwa di kampungnya terdapat seorang bangsawan Sumedang yang sedang bersembunyi dari pengejaran musuh yang mencoba membunuhnya. Mendengar berita tersebut, Bupati Cianjur tersebut segera mengutus orang kepercayaannya ke Kalapa Nunggal untuk menyelamatkan Aom Jamu. Selanjutnnya Aom Jamu dijodohkan kepada Nyimas Lenggang Kusumah, putri dari Rangga Gede (Wedana Cikalong Wetan -- wilayah adminstrarif Cianjur). Aom Jamu kemudian meneruskan jabatan Rangga Gede sebagai wedana Cikalong Wetan setelah mertuanya itu diangkat menjadi Bupati Bogor.
Selama di Cianjur, Aom Jamu belajar ilmu agama di pesantren dan juga berlatih beladiri Maenpo, sehingga baik ilmu agama maupun beladiri Aom Jamu semakin tinggi. Popularitas beliau selama memerintah di Cikalong Wetan sampai juga ke Sumedang dan diketahui oleh Bupati Patrakusumah di Sumedang, tetapi musuh Aom Jamu itu agak gentar menghadapi Bupati Cianjur yang melindungi Aom Jamu.
Ketika Sumedang sudah dirasakan lebih kondusif, Akhirnya Aom Jamu pulang dan menduduki kedudukan sebagai Patih Sumedang dengan pangkat Demang. Setelah dianggap cakap selama menjalankan jabatan Patih, maka pada tahun 1791, Aom Jamu pun resmi diangkat
sebagai Bupati Sumedang dengan gelar Tumenggung Surianagara.
Sebagai bupati dia membuat
kehidupan rakyat Sumedang menjadi sejahtera, beberapa daerah yang asalnya hutan belantara "disulap"
menjadi surga. Tumenggung Surianagara tidak pernah memanfaatkan jabatannya untuk mengumpulkan kekayaan pribadi, dia tetap sederhana dan tak jarang ia turun langsung ke masyarakat untuk melihat kondisi yang sesungguhnya.
Penggunaan nama Tumenggung Surianagara pun berganti ketika ia digelari gelar Pangeran, mulai saat itu semua orang menyebut dirinya dengan nama Pangeran Kusumadinata IX.
Pada tahun 1806, keberanian dan totalitas selama menjadi Bupati sangat tampak ketika ia
diberikan tugas untuk memadamkan pemberontakan Bagus Rangin. Bersama dengan bupati Karawang, Subang dan Cirebon, Pangeran Kusumadinata IX memimpin
pasukan menuju Jatitujuh.
Pemberontakan Bagus Rangin meletus karena rakyat daerah Cirebon tidak
tahan lagi diperas oleh orang-orang Cina yang memiliki hak istimewa dari pemerintah kolonial untuk menyewa desa-desa sebagai tanah
partikelir. Selain itu konflik di Kesultanan Cirebon yang berujung Belanda melakukan penggantian Sultan Kanoman oleh Pangeran Surantaka. Sementara sang Putra Mahkota yaitu Pangeran
Surianagara
tersingkir dari istana. Simpati rakyat Cirebon mengalir kepada putra mahkota yang tersingkir itu, akhirnya untuk meredam gejolak yang terjadi di masyarakat, di tahun 1805, Belanda mengundang Pangeran Surianagara untuk berunding di Batavia. Tetapi ketika tiba di
sana, dia ditangkap dan diasingkan ke Ambon. Bagus
Rangin pun muncul sebagai bentuk perlawanan atas ketidak adilan pemerintah kolonial terkait masalah tadi.
Pasukan Bagus Rangin dikepung dari segala arah, akhirnya dapat
dikalahkan. Tetapi Belanda melunak untuk mengembalikan Pangeran Surianagara dari
pengasingannya di Ambon dan mengangkatnya sebagai sultan, sedangkan orang-orang Cina
tidak diperkenankan lagi tinggal di daerah pedalaman.
Pangeran Kusumadinata IX yang terkenal dekat dengan masyarkat menyadari bahwa peran sertanya menumpas pemberontakan Bagus Rangin sebenarnya bukan karena ia tidak mendengarkan suara hati rakyat. Tapi beliau melihat kekacauan sudah terlalu besar hingga merembet ke wilayahnya. Setelah pemberontakan dipadamkan, ia pun kemudian mengkritik pemerintah Belanda yang notabene atasan beliau. Ia memang menemukan bentuk ketidak adilan disana.
Sikap yang berani menentang Pemerintah Belanda, semakin terlihat ketika pembuatan jalan raya Anyer-Banyuwangi. Proyek yang terkenal kekejamannya dengan sistem kerja rodi itu dibuat atas perintah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Pada saat proyek sampai ke wilayah Sumedang, Daendels marah besar karena pengerjaannya berjalan lambat. Bagaimana tidak, medan yang digunakan untuk pembangunan jalan di Sumedang itu merupakan bukit cadas yang sangat keras. Masyarakat yang dipaksa bekerja hanya dibekali peralatan yang sangat sederhana,
seperti linggis dan cangkul. Berbulan‑bulan sudah dikerjakan, namun
hasilnya hampir tidak ada.
Jenderal Deandels pun terpaksa datang langsung ke Sumedang, Pangeran Kusumadinata IX yang merasa berhak melindungi warganya sudah bersiap menyambut Deandels di lokasi proyek. Gubernur Jenderal Daendels yang
terkenal galak dan pemarah, ditambah dengan jabatannya yang mentereng
sebagai Gubernur Jenderal tidak serta merta membuat Pangeran
Kusumadinata IX ciut nyalinya. Sampai akhirnya Daendels tiba, terjadilah suatu peristiwa yang hingga kini selalu dikenang oleh masyarakat Sumedang, Pangeran Kusumadinata IX menyambut Deandels tidak layaknya seperti seremonial yang biasa ketika terjadi pertemuan antara bawahan dengan atasan.
Pangeran Kusumadinata IX dengan tatapan mata tajam menyambut "tamu agungnya" itu dengan tangan kanan yang memegang hulu keris yang sudah
dipindahkannya ke depan (biasanya keris diselipkan di belakang). Deandels merasa terperanjat dengan sikap bawahannya itu, akhirnya ia mendahului menyodorkan tangan untuk
bersalaman, tetapi tangan kanan Pangeran Kusumadinata IX tetap memegang erat keris dan ia "hanya" menyodorkan tangan kiri untuk menyambut jabatan tangan Deandels.
Melihat sikap tak lazim dari Pangeran Kusumadinata IX itu membuat Daendels gentar dan tidak menegur soal keterlambatan
pekerjaan membuat jalan.Yang terjadi saat itu hanyalah percakapan biasa dimana akhirnya sang bupati pemberani itu mengungkapkan alasan keterlambatan pengerjaan proyek itu. Jenderal
Daendels pun maklum dan tidak ada nada marah seperti yang biasanya ia perlihatkan ketika menemukan ketidak seusaian dengan rencananya. Deandels pun mengirimkan pasukan zeni, untuk menolong menghancurkan batu cadas dengan dinamit karena
tidak mungkin dikerjakan oleh rakyat hanya dengan pacul dan linggis.
Kini, titik pertemuan antara Pangeran Kusumahdinata
IX dengan Gubernur Jenderal Daendels itu diabadikan dengan sebuah patung. Wilayah pengerjaan proyek tersebut kemudian dikenal dengan
nama “Cadas Pangeran” sebagai bentuk penghormatan akan keberanian seorang Pangeran dalam membela rakyatnya. (WJK Profil Tokoh Sunda)
0 comments:
Post a Comment