Sisingaan merupakan budaya Sunda yang
biasanya dilakukan saat acara khitan. Sesuai dengan namanya, sisingaan, diambil
dari kata singa, kesenian yang satu ini juga menampilkan singa sebagai tokoh
utamanya. Adalah penampilan 2 patung singa yang digotong oleh 4 orang untuk
masing-masing patung singa. Sementara pemilik acara, anak yang dikhitan dan
atau tokoh masyarakat naik di atas singa tersebut, ikut digotong. Karena cukup
berat, para penggotong singa ini umumnya orang-orang dewasa. Dengan iringan
musik yang khas dan diawali dengan sambutan dari ketua pertunjukan, maka
pertunjukan sisingaan ini semakin
semarak dan sarat akan nilai budaya Sunda.
Asal Usul Sisingaan
Sedikitnya ada dua pendapat
mengenai asal usul dari sisingaan ini. Pertama, merupakan bentuk perlawanan
rakyat terhadap penjajah Belanda yang diwujudkan dalam singa kembar. Kala itu, masyarakat
mengungkapkan kekecewaan,
ketidaksukaan, dan perjuangan serta rasa ingin memberontak mereka melalui
sebuah kesenian yang tak lain adalah sisingaan. Kedua, merupakan semangat
kesenian yang sedang ditunjukkan pada tahun 70-an di Anjungan Jawa Barat, kala
itu yang menjabat Bupati Subang adalah Pak Atju. Pada saat itu, penampilan
sisingaan masih sangat sederhana. Karena antusiasme yang luar biasa dari
masyarakat, maka sisingaan semakin dikenal. Jadi, jika dilihat dari tahun kelahirannya, bisa jadi
sisingaan lahir pada tahun 70-an, bisa juga pada abad ke-18 (pada masa
pemerintahan Belanda), jika
disesuaikan dengan dua pendapat ini.
Makna dan Nilai Budaya
Selain mampu memberikan hiburan
secara visual, sisingaan memiliki nilai budaya yang sangat kental. Adalah kerja
sama, kekompakan, kerukunan antara warga, dan kepercayaan yang menjadi pesan
yang sedang disampaikan saat pertunjukan ini digelar. Kerja sama, kekompakan,
dan kerukunan mereka tercermin jelas saat memainkan babak demi babak dari
sisingaan. Kekompakan, kerja sama, dan kerukunan ini tak hanya dapat dilihat
dari penampil (penggotong singa) saja, melainkan keseluruhan pemain (termasuk
pengiring musik, penyanyi lagu, dan lain-lain) yang memainkan harmonisasi
dengan sangat indah. Kepercayaannya dapat dilihat dari keberanian anak yang
dikhitan dan tokoh masyarakat untuk menaiki singa yang digotong tersebut tanpa
takut jatuh.
Untuk makna spiritual yang
terkandung dalam permainan ini adalah makna syukur dan doa keselamatan. Hal ini
sudah dipercaya oleh masyarakat sekitar sehingga menempatkan sisingaan di
acara-acara penting, salah satunya khitanan untuk putra Sunda. (WJK News)
0 comments:
Post a Comment