Wayang golek terdiri dari dua
kata, yaitu wayang dan golek. Pemisahan kata ini dimaksudkan untuk mengetahui
arti dari wayang, yang berarti wayang dan golek yang berarti mencari (dalam
artian verbal) atau boneka kayu (jika ditinjau dari jenis kata benda, golek
atau golekan). Wayang golek terbuat dari kayu dan termasuk satu jenis wayang
yang unik karena berbentuk 3 dimensi, berbeda dengan wayang kulit dan wayang
kinthil yang bentuknya lebih menyerupai gambar. Perbedaan lain yang membuatnya
semakin unik adalah pakaian (kain) yang dikenakan oleh tokoh pewayangan
tersebut. Persamaannya, ketiga wayang ini sama-sama digunakan untuk menyebarkan
ajaran sebuah agama dan atau menyiarkan cerita-cerita tradisional kuno yang
mengandung banyak ajaran moral dan spiritual.
Wayang golek mulai dikenal
masyarakat sunda sejak abad ke-17, dibawa oleh kerajaan Mataram. Khusus untuk
daerah pasundan, wayang golek yang banyak ditemukan adalah wayang golek purwa.
Seiring dengan perkembangan zaman, wayang golek ini telah mengalami modifikasi
namun tetap dan tidak meninggalkan inti dari wayang golek purwa. Untuk alur
cerita, selain Mahabarata dan Ramayana yang memang sudah melegenda, sunda juga
memiliki cerita lain untuk dipentaskan dengan wayang golek ini. Adalah
Walangsungsang dan Rara Santang yang menceritakan tentang penyebaran agama
islam.
Kemajuan wayang golek ini harus
mendapat apresiasi yang luar biasa. Bagaimana tidak? Seiring dengan era
modernisasi yang semakin mendesak kekayaan budaya tradisional, wayang golek
nyatanya bisa bertahan dan tetap mendapat posisi terbaik di hati masyarakat
dalam dan luar negeri. Keberadaannya yang bisa dikatakan lestari ini tidak
lepas dari perkembangan dan promosi yang telah dilakukan oleh para seniman
wayang. Sejumlah tokoh pewayangan seperti Cepot dan Semar
juga semakin dikenal dan dikagumi oleh masyarakat. Semua media ikut menayangkan
tradisi wayang golek yang selalu bergerak ke depan dan dinamis ini.
Memang, begitulah seharusnya
kebudayaan. Lebih baik dinamis tanpa meninggalkan nilai inti dan tetap lestari
dari pada statis namun kurang dicintai dan diminati, sehingga akhirnya
dilupakan. Cara pelestarian ini sebenarnya bisa diterapkan pada seni-seni
budaya lainnya. Kedinamisan akan budaya-budaya daerah lainnya perlu
ditingkatkan dan menjadi fokus dari negeri ini, khususnya daerah yang memiliki
budaya tersebut. Lagi pula, pesan moral yang dibawa dalam cerita pewayangan
sangat baik untuk diajarkan pada generasi muda, karena inti dari cerita
tersebut sangat mampu mengajarkan kebajikan dan tata karma dalam bersikap
secara individu kepada diri sendiri, Tuhan, dan sosial kemasyarakatan. (WJK News)
0 comments:
Post a Comment